Kamis, 02 Agustus 2018

7 Hikmah dan Keutamaan Qurban ‘Idul Adha


7 Hikmah dan Keutamaan Qurban ‘Idul Adha
Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu istimewa, Hari Raya ‘Idul Adha, dimana di hari itu dan hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan qurba. Jika Anda belum memutuskan untuk berkurban tahun ini, ada baiknya Anda menyimak hikmah dan keutamaan qurban pada hari-hari tersebut:
1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban
عَنْ أَبِى دَاوُدَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الأَضَاحِىُّ قَالَ « سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ». قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ ». قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ حَسَنَةٌ ».
Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad dan ibn Majah]
2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا »
Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]
4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa
“Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR. Muslim]
5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar : 2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162]
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…”
6. Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Qur’an Surat Al Hajj : 34]
7. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 - 107]



Asep Hidayat,S.Ag

Minggu, 14 Januari 2018

PEMIMPIN ISTIQOMAH


Kebesaran seorang pemimpin atau seseorang tidaklah ditentukan oleh apa yang di yakini, atau ideologinya, bahkan agamanya, tapi bagaimana ia konsisten atau Istiqomah dengan segala ajaran kebaikan yang bersumber dari apa yang di anut dan diyakininya itu. Makanya kita bisa melihat adanya orang-orang besar dari semua keyakinan, ideologi dan agama. Dari sudut pandang kemanusiaan, nilai orang besar terletak pada penghargaannya pada segala keterbatasan manusia, derita dan masalahnya, harapan dan ketakutannya. Sehingga sikap dan tindakannya akan bernada kasih dan toleran tak memaksakan kehendak. Tak menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk memperkuda sesama manusia. Harus punya Goodwill atau niat baik, tak menjadikan manusia sebagai instrumen demi kepentingan dan ambisi pribadinya seperti yang diteorikan Immanuel Kant. Dalam Islam seorang pemimpin harus Ikhlas, jujur dan amanah.

Pemimpin serupa Hitler atau Stalin boleh jadi punya kemampuan dan kekuasaan yang besar, namun terbukti telah dianggap sosok-sosok berjiwa kerdil karena ia telah banyak membunuh anak manusia dan memperkosa sejarah kemanusiaan. Karena ia telah melawan dan berperang terhadap kemanusiaan yang adil dan beradab, maka setiap kemenangan yang diklaimnya sejatinya adalah ‘kekalahan besar’ di depan mahkamah kemanusiaan. Kemenangan besar Otto von Bismarck atas Napoleon pada perang franco- Prusia 1871 bukannya disyukuri oleh Bismarck dengan berkhidmat, malahan telah membuatnya lupa diri. Ia kemudian menjadi seorang diktator juga dengan membungkam kebebasan bersuara bangsanya sendiri. Kemenangan besar Bismarck ini disebut Nietzsche ‘Kemenangan yang berbahaya” tentu saja bahaya buat kemanusiaan. Ein Groszer Sieg ist eine grosze Gefahr ( Kemenangan besar adalah bahaya besar ).

Apakah Harry Truman bisa disebut orang besar dalam sejarah kemanusiaan? Boleh jadi ia pahlawan besar bagi bangsanya, tapi di depan altar sejarah kemanusiaan, Truman jelas bukan orang besar. Dengan keputusannya untuk menjatuhkan bom atom di daratan Hiroshima dan Nagasaki yang membunuh ratusan ribu orang tak berdosa, yang membuat Jepang menyerah pada sekutu, maka ia pantas disebut ‘manusia yang berjiwa kerdil. Kendati dari sudut pandang rasional ia dibenarkan, tapi menurut nurani manusia ia harus dipersalahkan. Pertimbangannya untuk segera mengakhiri perang dan mencegah korban lebih banyak dari serdadunya jika Amerika harus mengivasi Jepang, telah membunuh hati nuraninya dan jiwa kemanusiannya. Apakah orang besar bisa menari diatas kehancuran dan penderitaan panjang pihak lain?

Mahatma Gandhi adalah teladan manusia berjiwa besar yang demi mendamaikan dua agama yang senantiasa berseteru – Islam dan Hindu, telah rela menempuh segalanya, bahkan kematian. Bahkan kepada penjajah bangsanya ia tak hendak melakukan kekerasan, namun toch sang jiwa besar berhasil mengantarkan kemerdekaan bagi India yang dicintainya sampai ketulang sumsum. Begitu juga Nelson Mandela, demi perjuangannya rela mendekam dipenjara berpuluh tahun. Dan setelah bebas tak mau menggunkaan kekuasaannya untuk melakukan ‘Revenge’ terhadap lawan-lawannya yang telah membuat diri dan bangsanya menderita beratus tahun.

Seorang pemimpin mestinya punya apa yang disebut Immanuel Kant ‘Goodwil{ atau niat baik yang penuh keikhlasan dan tak menjadikan manusia sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, dan istiqomah dengan niat baiknya itu, dengan kata lain seorang pemimpin dituntut untuk senantiasa punya Integritas moral yang mumpuni, satunya kata dan perbuatan. Dan ini berlaku mutlak untuk semua level kepemimpinan. Menurut Vaclav Havel, moral yang terkontaminasi adalah ketika seorang mengatakan sesuatu lain dengan yang dipikirkannya, mementingkan diri sendiri dan melecehkan dan memperkuda orang lain. Jadi seorang pemimpin tidak boleh menipu dirinya sendiri demi kepuasan pengikutnya atau tidak boleh menipu masyaraktnya demi kepentingan dan ambisinya sendiri.

Hanya saja dalam sejarah tidak banyak pemimpin yang mau Istiqomah dengan niat baik yang ada dalam dirinya dan yang dibawanya sejak lahir. Godaan kekuasaan dan untuk melanggengkan kekuasaan telah mengantarkannya untuk menteror bangsanya dan bangsa lain. Inilah yang telah terjadi pada diri seorang Roberspiere atau Lenin. Menurut Arnold Toynbee, keduanya adalah orang yang tidak mementingkan diri sendiri yang telah mengabdikan diri mereka dengan tulus dan sepenuh demi kesejahteraan ummat manusia. Tapi demi tujuan yang mereka anggap terbaik, keduanya karam dalam tujuan menghalalkan cara dengan teror dan kekuasaan.

Dalam konteks Indonesia, tentu kita tentu menaruh harapan dan kepercayaan pada Presiden Jokowi untuk tetap konsisten dan istiqomah dengan goodwill yang telah ditunjukkan untuk membangun bangsa ini. Salah satu janjinya adalah untuk tidak menjadi diktator ba’da disahkannya Undang-undang keormasan. Diktator adalah pemimpin yang kerap berbuat semaunya tanpa perduli pada kemauan rakyat dan menyepelekan hukum. Bagi diktator, kebaikan hanya ada pada dirinya, dan semua harus mengikuti apa yang telah didiktekan dan diputuskannya. Apakah Gubernur Anis Baswedan telah berlagak menjadi seorang diktator ketika memutuskan untuk membatalkan semua perjanjian dan aturan terkait reklamasi Teluk Jakarta?.

Jika keputusannya itu berlandaskan niat baik untuk membela kepentingan kaum nelayan dan membenahi lingkungan hidup yang terancam dengan adanya proyek reklamasi itu, dan istiqomah dengan niatnya itu hingga kapanpun, dan bukan sekedar untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya, maka tak pantaslah beliau disebut seorang diktator. Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah diskusi, bahwa keputusan Anis itu berpotensi melanggar hak para investor swasta karana keputusannya yang sepihak dan tak mengindahkan prinsip-prinsip hukum yang benar. Dalam hal ini kita harus melihat kepentingan yang lebih besar dan yang punya dampak jangka panjang.

Apakah hak para pemilik modal dan orang kaya raya mesti selalu dimenanglan atas hak kaum miskin yang tak punya sandaran dan pegangan hidup pasti? Apakah hukum yang katanya rasional harus selalu mengalahkan hati rurani manusia yang terenyuh dan nelongso melihat sesamanya yang hanya menganga bengong dibuldozer oleh tangan-tangan kekuasaan yang super cerdas. Apakah kelaparan hari ini bisa dihibur oleh mimpi tentang kemakmuran hari esok... Apakah gedung-gedung besar dan mewah lebih berharga dari lestarinya alam yang indah dan asri? Dan apakah yang bung Yusril yang pernah katakan bahwa 70 persen tanah di republik ini telah dikuasai oleh golongan tertentu. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan benar oleh pemimpin yang Istiqomah.







Selasa, 09 Januari 2018

PENGAMEN DI KOTA TUA


Hari senen kemaren, 7 Januari, saya bermaksud datang lagi ke Museum Keramik dan Seni Rupa di Kota Tua. Saya mau mempelajari dan menikmati lukisan-lukisan indah dari para maestro dari berbagai jaman dan aliran di Indonesia. Tapi malang nasibku, semua museum yang ada di sana tutup . Konon katanya, hari senin adalah hari bersih-bersih museum dan lingkungannya, entah apa maksudnya. Akhirnya aku hanya melihat apa yang bisa dilihat, dicatat dan dipotret di pelataran museum. Ada banyak pengunjung, turis lokal maupun manca yang duduk2 di sekitar museum-museum yang saling berhadapan dan berdekatan ; museum Fatahillah, museum Wayang dan museum Keramik dan Seni rupa. Di sela-sela keramaian dan kerumunan ada beberapa kelompok pengamen dan pengasong yang mencoba mengais rejeki, ditingkah nyanyian burung-burung kecil yang terbang rendah.

Setelah menikmati eksotisnya gedung-gedung tua yang menyimpan banyak cerita suka-duka tentang semangat penjajahan dan pembebasan yang berselang-seling, silih-berganti, akhirnya aku mampir di Prasasti Sejarah Trem Jakarta. Di paruh terakhir abad 19 hingga menjelang berakhirnya paruh pertama abad 20, moda transportasi di Jakarta atau Batavia adalah berupa kereta kuda, trem uap dan trem listrik. Tapi penanda abadi era ini adalah istilah jaman “ Kuda Gigit Besi”. Yang menarik dari informasi di Prasasti ini adalah ia mencatat adanya segregsi atau diskriminasli ala kolonial. Ternyata kereta yang ada dibagi dalam tiga kelas ; kelas satu, dua dan tiga. Kelas terakhir yang diperuntukkan untuk kaum pribumi, disebut juga ‘ Pikolan’. Di sini kereta atau gerbongnya adalah bak terbuka yang juga buat mengangkut hewan,ikan,sayuran,dan buah-buahan.

Sedang asyik merekam segala sesuatu yang menarik pada Prasasti Sejarah Trem di Jakarta, lamat-lamat kudengar dari arah belakangku seorang memainkan Air on The G Stringnya Johann Sebastian Bach dengan biola. Spontan aku menengok kebelakang, ternyata dimainkan oleh seorang anak muda berambut gimbal yang duduk di atas sebuah batu bundar. Seorang temannya yang juga berambut gimbal tidur-tiduran di hadapannya. Mereka berdua adalah para pengamen yang beroperasi disekitar kota tua.

Ada perasaan aneh dan hairan yang memprovokasi rasa penasarannku akan fenomena tersebut. Akhirnya aku datangi mereka untuk membayar itu semua. Waktu kutanyakan pada si rambut gimbal yang masih sedang asyik bermain biola apakah betul tadi memainkan nada-nada indah dari Bach, ia hanya mengangguk dan tersenyum polos dan setengah tersanjung. Temannya yang sedang tidur-tidur ayam malah balik bertanya padaku apakah aku dari kasta penikmat musik klasik. Aku jawab bahwa aku hanya sekedar tahu. Tersebab aku ingin menggali lebih banyak dari mereka tentang hal ihwal musik dan pernak-pernik kehidupan mereka sebagai pengamen.

Cerita punya cerita, ternyata anak muda berambut gimbal yang bernama Ovan, yang tadi hanya tiduran itu adalah yang lebih faham musik klasiek. Karena ia pernah kuliah pada sebuah akademi musik di Bandung milik maestro musik Harry Rusli. Dulu mayornya adalah piano, kini ngamen dengan biola yang dipelajarinya baru sekitar 8 bulanan. Setelah kupancing ia mau juga menceramahi aku dengan pengetahuannya yang lumayan tentang sejarah perkembangan musik klasik serta hal-hal yang pribadi dari para komposer yang disebut dan dikaguminya. Dengan bersemangat ia mulai dengan periodisasi musik klasik yang katanya di awali oleh masa musik Gregorian lalu masuk ke zaman Barok dan Rokoko dimana JS. Bach adalah tokoh besarnya. Kemudian datanglah era klasiek dan romantisme tonggaknya adalah Mozart dan Bethoven. Hanya dari seluruh penuturannya ada semacam missing link karena ia langsung melompat ke era musik modern yang katanya dimotori oleh Jimmi Hendrik. Dan juga tak menyebut musikYunani dan musik abad pertengahan yang menjadi dasar perkembangan musik klasik barat.

Tentu saja kekurang lengkapan data dan fakta ceramahnya itu tak mengurangi simpatiku pada Ovan yang ternyata juga punya filosofi hidup yang lumayan. Ketika kutanya apakah prinsip hidup Ovan yang terkesan menyukai hidup bebas dan bohemian. Ovan berkata “ Jangan mimpi bisa membebaskan bangsamu jika kau sendiri tidak bebas” busyet. Ovan bukan hanya mau bebas tapi seperti cuek pada sekitar dan masyarakanya. Itu ditandai dengan rambut gimbalnya dan beberapa tatoo di bagian-bagian tubuhnya. Untuk membuktikan kecintaannya pada musik klasiek, ia menunjukkan tatoo bergambar wajah Bethoven di kaki kirinya dan Paganini di kaki kanannya yang tersembunyi di balik celananya yang agak lusuh.

Bagiku tak penting lagi keakuratan wawasan sejarah musiknya atau apakah dia kenal Anton Rubinstein atau tidak, apakah paham pada teori emansipasi musiknya Arnold Schonberg atau belum. Aku melihat mereka sejenis makhluk langka di jaman ‘Now’ ini. Di jaman ketika nyaris semua anak muda, termasuk teman-teman seprofesinya di lingkungan Kota Tua berlomba-lomba mempelajari dan menghafal lagu-lagu teranyar yang lagi trendy dan booming, seperti Havana, Perfect, atau Anywherenya Rita Ora, mereka berdua seperti ingin mengatakan ‘Ora ‘pada semua itu. Mungkin juga pada lagu Virgoun atau Armada yang lagi meledak di blantika musik pop Indonesia.

Berbeda dengan pengamen lain yang seperti asal bermusik dan bersikap, mereka berdua,Ovan dan Bob tahu pasti apa yang mereka lakukan. Mereka mengkaitkan kebebasan versi mereka yang ingin diraih dengan kewajiban pada hal yang lebih dari sekedar menyambung hidup sebagai pengamen jalanan. Entah apa definisi atau makna kebebasan bagi Ovan dan Bob, satu yang pasti usia mereka sudah melewati batas dimana anak muda rata-rata mengalami periode Sturm und Drang yang ekstrem. Artinya mereka tidak lagi sekedar memberontak dari tatanan sosial mapan yang dirasa membelenggu segala hasrat,keinginan serta ekspresi mereka. Atau sekedar melakukan sesuatu yang aneh hanya untuk menaraik perhatian orang.

Agaknya mereka sudah sampai pada kesadaran yang lebih sublim seperti yang Goethe tulis dalam sebuah sajaknya ‘Freudvoll und Leidvoll ( Gembira dan Sedih) yang terjemahannya berbunyi :
Gembira, gembira sekali
Sedih, sedih abadi;
Bahagia hanyalah
Jiwa yang kasih
Sebagaimana diketahui bahwa Goethe adalah salah satu eksponen gerakan Sturm und Drang di abad ke 18. Namun ia tak larut demi pembrontakan itu sendiri atau mengejar kebebasan untuk dirinya. Karna Ia juga pernah mengatakan “ Und das Gezet nur, Kann uns Freihet geben” ( Dan hanya hukum yang dapat memberikan kebebasan kepada kita ).

Namun nasib rata-rata para pengamen jalanan seperti mereka di jaman now ini masih mengenaskan, karena masih dianggap sebelah mata oleh banyak orang. Dibeberapa tempat, mereka diperlakukan seperti anjing geladak. Pada sebuah rumah makan yang lumayan ramai dan laris, ada sebuah peringatan “ Pengamen dilarang masuk”. Dibanyak kesempatan mereka lebih dianggap pembuat keributan katimbang pemberi hiburan murah. Apalagi di daerah gedongan, mungkin senyum anjing pudel sang pemilik rumah yang disatroni pengamen lebih berharga dari senyum manis sang pengamen. Harus dibedakan antara pengamen beneran dengan pengamen palsu. Yang terakhir ini adalah mereka yang naik ke bus-bus atau angkutan umum lainnya hanya menepuk-nepuk tangan lalu membuat narasi bernada ancaman. Yang begini memang meresahkan warga kota. Karena masalah inilah yang membuat saya mengapresiasi cita-cita mereka yang berhubungan dengan profesi mengamen.

Salah satu motif mereka berdua mengamen ria di Kota Tua adalah bahwa mereka ada niatan memasyarakatkan musik klasik dan memberi pendidikan musik pada rekan-rekannya para pengamen yang berniat mau belajar dan meningkatkan kemampuan di bidang musik. Dalam hati berkata semoga terlaksana. Oleh semua itu aku sampai pada kesimpulan bahwa mereka berdua Ovan dan Bob punya nilai yang sama dengan benda-benda dan para pelaku sejarah yang telah diabadikan di dalam museum.













Rabu, 27 Desember 2017

NATAL DAN EBENEZER SCROOGE


Terlepas dari kontroversi tentang ketepatan dan kebenaran hari kelahiran Jesus yang adalah Nabi Isa, nabinya penganut agama Semitis ; Islam, Kristen dan Jahudi, Natal akan datang dengan segala warna, pernak-pernik dan dampaknya. Bagi kaum Nasrani, Natal harus disambut dan dirayakan dengan sepenuh suka dan keriangan ‘ With all ones might, with all ones heart, at all cost’. Semua kristen yang ortodoks, heterodoks, fundamentalis atau yang reformis, akan menyongsong dan membesarkannya karena ia adalah Holy atau Kudus. Hanya mereka yang berhati dan bepikiran layaknya Ebenezer Scrooge yang akan berkerut dan pusing jiwanya bila natal tiba.

Karakter rekaan Charles Dickens dalam Christmas Carol itu sungguh telah menjadi representasi banyak orang di dunia, dunia kristen khususnya, yang merasa tidak suka dan cemas pada natal yang memang banyak menuntut ini-itu. Walau pada akhirnya Scrooge disadarkan oleh hantu temannya, Marley, tentang pentingnya merayakan Natal, tapi sikap serakah dan keengganan Scrooge berbagi pada hari Natal tetap abadi dan dikenang sebagai sesuatu yang mesti dihindari dan dijauhi.

Ebenezer Scrooge adalah tipikal kaum borju yang hanya kesemsem dan memikirkan uang, uang dan uang. Stingy man par excelents , pragmatis 200 karat, dan saudagar berbasis untung rugi belaka. Hidupnya pun menyendiri dan hanya ditemani pelayannya yang underpaid. Semua penghasilannya ditimbun dicelengan yang kian gendut dan bangga dengan sikap super iritnya itu. Scrooge tak hanya tidak suka natal, bahkan membencinya. Natal dan semua keharusannya adalah nonsense baginya. Ketika kebanyakan kristen berhias menyambut natal, berbelanja, berpesta dan berbagi hadiah di hari natal, Scrooge justru mengencangkan ikat pinggang dan mengunci hatinya, ia bahkan tak membolehkan pegawainya untuk libur di hari natal.

Mungkin karakter Scrooge agak berlebihan, tapi menurut saya itu pasti ada dalam kehidupan manusia dan jumlah yang tidak sedikit. Akan ada saja manusia yang tidak senang dan bahagia dengan kehadiran natal. Bentuk ketidak senanganan atau kebenciannya bisa dalam bentuk lain. Misalnya dengan menyebar teror dan ketakutan. Dan apapun alasan orang-orang zealot yang hendak mengacaukan perayaan natal dan kebahagian kaum yang merayakannya, tidak dapat diterima. Hanya saja kita mestinya membuka mata hati kaum pemarah itu dengan sabar dan mau terus membuka dialog. Bukan dengan cara-cara warning dan persiapan seakan-akan bakal ada perang lokal.

Karuan pada setiap natal dlakukan pengerahan pasukan dan keamanan dalam jumlah ribuan, bahkan penembak jitu pun disiapkan, belum lagi pagelaran segala Banser dan Kokam. Sikap waspada memang bagus, dan peringatan lewat mas media tak salah, tapi dampaknya adalah akan muncul stigma diam-diam bahwa ummat Islam masih perlu terus dijinakkan dan diawasi. Memang itu menyasar pada kelompok Islam tertentu. Tapi kesukaan orang untuk menggeneralisasi tak kunjung bisa diatasi.

Lihat saja ulah Presiden Amerika, Donald Trump, hanya karena tindakan sekelompok Islam yang keras dan radikal, ia telah berpikir bahwa semua orang Islam adalah berbahaya dan harus diberi pelajaran, diawasi dan dicekal. Buktinya Amerika di bawah komando Trump telah melarang warga dari enam negara Islam untuk memasuki Amerika. Dan yang lebih menunjukkan sikap ketidak sukaan Trump pada Islam secara luas adalah pengakuannya bahwa Jerusalem adalah ibukota negara Israel. Dan tindakan aneh tersebut dibuat justru menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru yang mestinya semua orang menyambutnya dengan damai dan sepenuh suka cita.

Justru yang perlu digaris bawahi dalam konteks natal adalah pesan Presiden Jokowi pada natal tahun lalu di Manado bahwa musuh bersama kita adalah ‘kemiskinan’. Dan salah satu yang menghambat upaya memberantas atau mengurangi kemiskinan di sekujur republik ini adalah dengan masih banyaknya sosok-sosok warganegara yang prilakunya seperti Ebenezer Scrooge. Dalam arti masih terlalu banyaknya orang atau petinggi yang menempatkan ‘uang’ di atas segalanya, bahkan mempertuhan uang, sehingga korupsipun merajalela. Dimana uang rakyat dalam jumlah milyaran atau trilyunan yang sejogianya digunakan untuk memperbaiki kondisi rakyat, malah ditilep dan dirampok.

Jadi sebagaimana Scrooge yang pada akhirnya bertranspormasi menjadi pemurah. Peramah dan menghargai natal, kaum Kristiani dan tentu kita semua mesti bisa beruabah menjadi ‘Manusia Baru’ yang merawat Pancasila, begitu petuah Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta di Koran Media Indonesia, Minggu 24 Desember 2017. Yang menurut saya itu berarti pula bahwa semua

Selasa, 10 Oktober 2017

WARISAN BUDAYA


WARISAN BUDAYA


Sungguh beruntung bangsa Indonesia terutama generasi muda, karena ia mendapat warisan beraneka rupa dan ragam budaya yang tak ternilai dari nenek moyangnya. Warisan budaya dari berbagai daerah dalam jumlah ratusan bahkan ribuan itu sejak tahun 2013 telah diseleksi.dipromosi dan dipentaskan pada chalayak. di Gedung Kesenian Jakarta, pada tanggal 4 Oktober 2017 yang baru lalu, perhelatan tahunan yang penting itu kembali diselenggarakan sekaligus memberi sertifikat penghargaan kepada para Gubernur dari daerah yang terseleksi warisan budayanya.Diantaranya Gubernur Sulawesi Barat, Ali Bal Masdar. Tahun ini yang masuk kategori warisan budaya Sulbar adalah Lipa’ Sa’be atau kain tenun sutra Mandar.

Sutra Mandar atau Gubernur Sulbar memang layak beroleh penilaian yang tinggi. Begitu juga semua warisan budaya bangsa dari daerah lain. Pada intinya, semua kontestan punya warisan budaya yang pantas dan layak diwariskan kepada pewarisnya. Hanya yang sedikit jadi batu sandungan adalah masalah bagaimana mewariskanya dan siapa yang akan mewarisinya, apakah tidak akan disia-siakan dan diterlantarkan warisan budaya yang telah diterimanya. Keprihatinan ini muncul tersebab kian jauhya kaum ahli waris dan calon ahli waris dari nilai-nilai tradisi dan budaya inti masyarakatnya, malahan kian karam dalam nilai-nilai asing yang terakses kini begitu mudah lewat mas media dan gaya hidup. Padahal core budaya adalah fondasi, pengarah dan tujuan dari setiap karya. Kerja dan karsa suatu masyarakat atau etnis.

Sebagai contoh budaya ‘Siri’ adalah core kebudayaan Mandar atau Sulawesi Barat. Ketika budaya Siri yang bermakna ‘malu kalau berprilaku berlebihan’ atau malaqbi kedo, malu jika tak punya kain sutra di rumah yang sesuai dengan strata sosialnya sudah tak diigubris lagi, maka eksistensi kain sutra Mandar juga terancam, ia akan perlahan menghilang. Jika kaum muda sudah tak malu lagi pergi kluyuran dari pagi sampai pagi lagi, maka siapa yang mau lagi mau berbetah-betah dan bersabar – ria menenun kain Mandar atau manette. Atau tidak malu kalau main gadget sepanjang hari, maka alat-alat menenun atau Parewa Tandayang akan segera berkarat atau lumutan.

Apalagi jika makna siri atau malu itu sudah dibolak-balik misalnya oleh kaum hawa, malu jika pakai kain sutra ke pesta perkawinan karna nanti dianggap kampungan, jadi mending pake kain transparan atau yang kurang bahan biar dianggap modern atau up to date. Dengan hasrat besar orang Mandar dewasa ini untuk menjadi pegawai negri, pedagang atau buruh, maka semakin banyak saja yang malu menjadi panette atau memakai kain sutra Mandar secara konsisten.

Setiap tradisi budaya akan sangat terkait dengan dasar filosopi atau cara hidup masyarakatnya. Secara fungsional suatu tradisi atau ritual menyatu dengan struktur masyarakatnya bak sebuah organisme. Ia menjamin terpenuhinya kebutuhan bersama. Tradisi manette di jaman dulu menjamin keperluan upacara adat dan kebutuhan hidup komunitas Mandar, jadi manette bisa dan harus tetap berlangsung.Tapi kini kebutuhan itu sudah dianggap tidak urgen lagi. Mengenakan kain atau baju sutra Mandar hanya sebatas himbauan saja jika ada acara pernikahan adat atau perayaan kantor dan hari-hari besar nasional. Orang lebih suka mengenakan stelan jas dengan celana, kemeja plus dasi.

Tidak semua budaya daerah mengalami inkoherensi antara budaya tak benda dengan dinamika inti kebudayaannya. Budaya jawa dengan core ‘Sinkretismenya’ justru telah memperkaya dan mengembang biakkan cipta.rasa dan karsa orang Jawa. Sinkretisme yang ditandai dengan kerelaan untuk melakukan gaul budaya dan saling share itu telah memperkaya dan memperindah budaya Jawa, khususnya di lapangan kesenian atau seni pertunjukan. Seperti tak habis-habis khasanah budaya mereka. Maka tak heran pada perhelatan kemaren Daerah Istimewa Yokyakarta sebagai eksponen budaya Jawa, telah tampil dengan 19 warisan budaya, paling banyak dari daerah lain. Bandingkan dengan Sulbar atau Sumatera Barat yang hanya tampil dengan satu warisan budaya.

Jadi bukan salah bunda mengandung jika program pewarisan budaya pemerintah kurang mendapat respon dan keras bergema di hati manusia Indonesia millenium terutma yang muda-muda, yang langkahnya sudah nyaris mengacak-ngacak langit dan segala yang kita anggap bernilai dan sakral. Mestiya antara seni pertunjukan atau satu warisan budaya dan segala prinsip, makna, ide serta wacana yang dikandungnya ada keterjalinan yang saling melengkapi. Itu yang disebut Meta-Performative atau Meta-Factitive. Eloknya waktu pementasan Wayang Garing dari Banten misalnya, ada prolog tentang narasi dan nilai budaya yang menginisiasinya, sehingga para ahli waris faham dan mafhum bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar seni untuk dperhatikan, dijaga dan dianut, demi kehidupan yang lebih baik.

Bagaimana mengembalikan generasi millenium kepada inti budaya leluhurnya untuk dihormati dan ditaati adalah kerja terberat dan harus dilakukan sejak dini disemua jenjang pendidikan dan kehidupan. Karena ini menyangkut mentalitas atau kepribadian yang tak mudah merubahnya jika sudah terlanjur sesat. Untuk itu apresiasi dan kepedulian budaya yang tinggi dari Pak Menteri Muhajir Effendi, para Gubernur termasuk gubernur Sulawesi Barat, Ali Bal Masdar, patut disyukuri, karena ditangan beliau terletak harapan yang lebih besar demi kemajuan budaya bangsa kedepan.

Rabu, 13 September 2017

MESA KANNE oleh sahabat saya Ali Bal Masdar

FILSAFAT ISLAM SEKILAS LINTAS


Bab I
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP , SEJARAH PERKEMBANGAN dan KLASIFIKASI FILSAFAT ISLAM
1. Pengertian Filsafat Islam
Arti Filsafat
Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, kata berangkai dari kata philein yang berarti mencintai dan shopia berarti kebijaksanaan. Philoshopia berarti cinta akan kebijaksanaan.
Dilihat dari segi praktisnya filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal.
Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Arti Filsafat Islam
Filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.
Ahmad Fuad al-Ahwani mendefinisikan Filsafat Islam sebagai pembahasan tentang Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. Sedangkan menurut Mustofa Abdur Razik, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya.

2. Ruang Lingkup Filsafat Islam
Cakupan filsafat Islam meliputi segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman. Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Athif al-‘Iraqy, Filsafat Islam secara umum ialah meliputi di dalamnya Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh ahli pikir Islam.
Obyek filsafat adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, manusia dan tentang segala realitas yang nampak dihadapan manusia.. dan bisa ditambahkan dengan pengetahuan itu sendiri, cara-caranya, dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya. Filsafat Islam diwarnai oleh nilai-nilai Islami. Kebebasan pola pikirnya dibatasi oleh nilai etis yakni yang didasarkan pada kebenaran ajaran yaitu Islam.

3. Sejarah Perkembangan Filsafat Islam
Ketika filsafat datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Alexander Yang Agung (Iskandar Zulkarnain) murid Aristoteles, membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya keluar Masedonia tetapi juga menanamkan budaya Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang Yunani yang dibawanya dengan penduduk setempat. Dengan jalan menganjurkan prajuritnya dan para intelektual mengawini penduduk setempat sehingga mereka betah hidup di tempat yang dikuasai., sehingga berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama Alexander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.
Perkembangan peradaban dan filsafat Yunani di luar kawasan Yunani disebut Hellenisme. Hellenisme inilah yang mempengaruhi masuknya filsafat dalam Islam. Karena, ketika sahabat nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan kerajaan Bizantium di Mesir, dan kekuatan kerajaan Persia di Iran. Dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, maka daerah tersebut jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi pada waktu itu di wilayah-wilayah tersebut sudah maju oleh peradaban Yunani.
Para penduduk tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam. Namun dari warga negara yang non muslim ini timbullah satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu mereka menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan filsafat yang mereka peroleh dari Yunani.

Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argument filosofis pula, untuk itu mereka pelajari falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori oleh kaum mu’tazilah.
Teologi rasional mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berpikir, berbuat serta adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya falsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
Filosof pertama yang dikenal adalah al-Kindi (796-873 M) satu-satunya filosof arab dalam Islam. Ia menyatakan dengan tegas bahwa antara falsafat dengan agama tidak ada pertentangan. Falsafat ia artikan sebagai pembahasan yang benar, agama juga dalam hal itu menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.selanjutnya falsafat dalam pembahsannya memakai akal dan agama, dan tentang penjelasan yang benar juga memakai argument-argument rasional. Menurut pemikiran falsafat kalau ada yang benar maka mesti ada yang pertama “yang benar pertama”. Yang benar pertama itu dalam penjelasan al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama. Falsafat yang termulia dalam pendapatnya adalah falsafah ketuhanan atau teologi.
Memurnikan tauhid merupkan hal penting dalam teologi dan falsafat. Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) turut berkontribusi dengan falsafah emanasinya. Begitu pula dengan Ibn Sina. Pada masa pemerintahan Islam terutama pada masa al-Ma’mun, Harun Al-Rasyid, dan al-Amin berusaha mengembangkan tradisi tersebut dengan memberikan dorongan dan intensif yang cukup besar bagi perkembangan filsafat dan ilmu. Para penerjemah buku-buku Yunani dihargai sangat besar bahkan mereka mendirikan fasilitas seperti perpustakaan Bait al-Hikmah dan Laboratorium peneropong bintang
Namun, kemudian muncul kritikan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran mereka. Setelah al-Ghazali, lahirlah aliran baru yaitu al-As’ariyah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Dan dengan teologi tradisional yang dianutnya, tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis. Tidak mengherankan kalau sesudah al-Ghazali, ilmu dan falsafat tidak berkembang lagi di Baghdad.
Di dunia Islam bagian barat yaitu Andalusia atau spanyol Islam sebaliknya pemikiran filosofis masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah AL-wida’ kelihatannya mencela al-Ghazali, dan Ibn Thufail malah mendukung pendapat mu’tazilah. Tapi Ibn Rusydlah yang mengarang kitab Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasijah.
Tak lama sesudah zaman ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tinggal di sekitar Granada di tangan banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada raja Ferdinand dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus, Spanyol, hilang pulalah pemikiran rasionaldan ilmiah dari dunia Islam bagian barat.
Di dunia Islam bagian timur kecuali kalangan syiah, teologi tradisional al-Asy-ariyah dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan daripada jalan falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, falsafat dan sains. Hal demikian berkembang di barat atas pengaruh berfikir Ibn Rusyd yang disebut avverroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaharuan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan lain-lain.
4. Tujuan, Fungsi dan Manfaat Filsafat Islam
Tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisika (hakikat keaslian).
Dr. Oemar A Hosein : ilmu memberi kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib akan kebenaran.
Fungsi filsafat adalah kreatif, menentukan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru.
Studi filsafat harus membantu orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, dengan syarat tidak bergantung kepada konsepsi prailmiah yang usang, sempit dan dogmatis.
Filsafat memberikan kepada kita dasar-dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup bahagia secara baik.

5. Karakteristik Filsafat Islam
Filsafat Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber pedoman dan pendukung
Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya.
Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat sebelumnya.
Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat antara kaidah dan hikmah, antara wahyu dan akal


NB : Karena kesibukan hidup, saya belum lagi bisa atau punya waktu luang untuk menulis. Kali ini saya posting sebuah artikel tentang filsafat yang kami pinjam dari Naenacreate blogspot.

Selasa, 13 Juni 2017

PUASA BUKAN PESTA MAKAN


Menurut Sigmund Freud, dinamika kepribadian manusia tidak akan lepas dari proses fisiologi yang ada dalam dirinya. Artinya energi psikis yang dipunyai manusia selamanya bersumber dari apa yang dimakannya. Jadi manusia sejatinya identik dengan makanan. Energi psikis yang membentuk kepribadian seseorang itu akan disimpan di dalam instink-instink atau naluri. Dan instink tersebut merupakan gudang atau reservoir bagi energi psikis.

Itulah sebabnya Allah memerintahkan setiap muslim yang beriman untuk berpuasa ; agar berkesempatan mengendalikan, menahan atau mengatur makanan dan minumannya selama bulan Ramadhan. Selain dengan tujuan utama agar orang beriman menjadi semakin bertaqwa, tentu juga dimaksudkan agar dalam prilaku kesehariannya, manusia lebih bisa dan mampu mengendalikan intink-instink negatif atau hawa nafsu rendahnya. Dalam bahasa Freud, agar manusia bisa menghidupkan naluri untuk hidup, dan mematikan nalurinya untuk mati. Tanpa mengendalikan nafsu atau naluri makannya, maka manusia akan terjatuh kelembah dunia Asfala Safilin, yakni serendah-rendah manusia, alih-alih menjadi Ahsanu Takwim.

Jika sudah begini, maka benarlah apa yang pernah diteorikan oleh Giorgio Agamben yang menjungkirkan teori Evolusi Darwin bahwa manusia itu berasal dari kera. Menurut Agamben. Kera atau binatang justru berasal dari manusia. Betapa tidak, bukankah nenek moyang manusia, Adam dan Hawa awalnya adalah manusia paling taat dan suci di hadapan Tuhan. Tapi sejak dosa pertama yang dilakukan maka jatuhlah ia ke Bumi, tempat dimana dosa dan sifat kebinatangan telah berkecambah,bak cendawan dimusim hujan. Dan multiplikasi sifat kebinatangan itu dimulai oleh melodrama pembunuhan Qabil atas Habil karena berebut cinta saudara perempuan mereka.

Untuk menahan laju kejatuhan manusia itu, maka Allah telah mengutus Rasulullah Muhammad SAW, dengan membawa Syariat- Nya, agar manusia kembali ke jalan lurus dan benar, dan salah satu perangkat Syariah itu adalah ‘ Puasa di Bulan Ramadhan.’ Akan tetapi, meski puasa telah dialami dan dijalani oleh kaum beriman selama berabad, namun proses kemerosotan menjadi kera terus saja berlangsung tak tertahan. Kutukan Agamben masih saja berlangsung setiap saat, bahkan di dalam di dalam masyarakat muslim juga. Indikasinya adalah, kian merebaknya korupsi dikalangan pejabat dan panutan. Mekarnya penyelewengan kekekuasaan, bersimaharajalelanya kekerasan dan kesewenang-wenangan dalam masyarakat, gang motor yang semakin ganas, penipuan,perampokan, dan bom yang tak berkesudahan. Ditambah aparat penegak hukum yang justru terjerat hukum, juga pertikaian antar sesama negara muslim sendiri,dsb dsb. Lantas apa yang salah dengan puasa kita selama ini???

Tentu saja puasa sebagai rukun Islam dan sekolah keperibadian baik-baik saja dan tetaplah sebagai salah satu jalan terbaik untuk taqarrub ilallah. Kitalah yang berpuasa sering lupa pada makna dan hakekat puasa itu. Tujuan puasa untuk mengendalikan diri tak kunjung kita pahami. Jangankan mengendalikan lisan, segala nafsu dan emosi. Untuk urusan makan minum juga kita tak kunjung tamat memahaminya. Bayangkan, orang muslim jika berbuka kebanyakan seolah berpesta makan, segala hidangan ada. Rasa lapar dan haus selama seharian berpuasa akan dibalas dengan makan dan minum sebanyak-banyaknya dan sepuas-puasnya. Meja makan sarat dengan kuliner modern atau tradisional. Jalan-jalan dipenuhi penjual takjil. Mal-mal dijejali pencari kuliner. Bahkan masjid-masjid dan musholla pun akan di penuhi oleh takjil aneka rupa menjelang berbuka.
Ya, selama puasa dimaknai seperti dan serendah itu, sampai kiamat pun, akan jarang muslim yang kan kian bertaqwa setelah berpuasa sebulan penuh. Paling banter di bulan puasa saja tampak sok alim dan berubah menjadi ahli ibadah, setelah itu kambuh lagi, kembali ke asal. Yang tadinya jahat jadi jahat lagi. Yang dari sononya baik, urung mendaki kesempurnaan,menjadi Insan Kamil. Semua karena soal sepele, ” lupa menjaga perut”. Makanan atau minuman sejatinya sangat dibutuhkan oleh tubuh agar tetap bisa bertahan hidup,sehat dan berkembang. Hanya saja tak boleh berlebihan atau Tabzir. Rasulullah Muhammad SAW berkata,” Makanlah ketika terasa lapar, dan berhentilah sebelum terasa kenyang.”



Rabu, 24 Mei 2017

HYPERMODERNISME DALAM CATUR


Ketika Aron Nimzowitsch memainkan bidak b7-b6 dalam pertandingan melawan Bernstein di Sint Petersburg tahun 1914, sebagai awalan untuk memfianchetto gajah menteri dalam pembukaan catur Hindia Menteri. Dr. Siegbert Tarrasch menilai dan berkata,” Cara menangani pembelaan tak teratur ini sudah diterapkan selama kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Saya anggap metode ini kurang bermutu. Sebab kalau seseorang hendak mengimbangi permainan lawan. Ia hendaknya menempatkan sekurang-kurangnya satu bidak di sentrum.

Komentar Tarrasch tersebut adalah tipikal pemikiran pengikut mashab catur klasiek atau modern. Beliau bersama dengan Wilhelm Steinitz memang dikenal sebagai eksponen penting dari aliran klasiek atau modern dalam sejarah catur. Namun yang dikenal lebih ortodoks adalah Steinitz. Dia telah mengembangkan cara bermain posisional yang efektif dan konsisten. Mashab klasik lebih mengarah pada pentingnya pengembangan buah yang statis. Seperti menghindari adanya pion bertumpuk, pion yang terisolasi, menciptakan kuda outposts, memperhatikan adanya gajah lemah dan kuat, dst. Dalam pragmen di atas terlihat betapa modernisme dalam catur sangat menekankan perlunya penguasaan sentrum dengan cara mendudukkan satu atau lebih bidak di sana. Dan gagasan tersebut telah jadi mitos dan dogma yang susah ditinggalkan oleh banyak pecatur masa lalu dan jaman millenium ini. Catur mashab klasik atau modern adalah sebagai reaksi atas gaya romantisme catur di masa sebelumnya yang di dalangi oleh master-master seperti Adolf Andersen, Henry Blackburne.

Pada tahun 1920 an timbul lagi reaksi atau kritik atas statusquoisme dalam catur. Banyak master dan grandmaster yang terlibat dalam gerakan pemikiran catur tersebut. Mereka tidak sabaran untuk memunculkan ide-ide segar dan gagaan baru dalam permainan yang indah itu. Mereka merasa bahwa di tangan para pecatur klasik, catur telah menjadi permainan yang membosankan, slow, statis dan tidak bernilai lagi. Kegelisahan dan keinginan untuk reformasi pun merebak, bak gayung bersambut di kalangan pegila catur. Maka bermunculanlah para master dengan seperangkat ide-ide dan gagasannya untuk disumbangkan yang pada gilirannya membentuk dan melahirkan aliran atau mashab baru di dunia catur yang di sebut “ Hypermodern School “ atau Mahab Hipermodern.

Kendati rata-rata anggota mashab baru itu tak ada yang menjadi juara dunia catur, tapi reputasi, prestasi, pemikiran dan aktivitas mereka sangat di segani dan di hormati di dunia catur. Mereka yang menjadi pemimpin atau berada digarda depan aliran itu adalah antara lain ; Howard Staunton, Aron Nimzowitsch, Richard Reti, Savielly Tartakower, dan Ernst Grunfeld. Nama-nama mereka telah diabadikan dalam banyak pembukaan dan variant catur. Kita kenal ada Pembukaan Reti, Pertahanan Grunfeid, Pertahanan Nimzowitsch,atau Varian Tartakower. Hanya Alexander Alekhine yang dianggap terasosiasi dengan dengan aliran baru tersebut yang pernah menjadi juara dunia. Tapi gaya atau pemikiran Alekhine lebih mengarah pada percampuran mashab klasik dan mashab baru.

Salah satu yang menjadi core atau trademark pemikiran mashab Hypermodern adalah bahwa penguasaan dan pengendalian papan pusat catur tidak harus dilakukan dengan pendudukan bidak di sana,tapi bisa juga dilakukan secara tidak langsung dan dari jarak jauh. Bagi mereka bidak yang menduduki dan bertugas menjaga petak pusat itu justru gampang sekali diserang dan dirusak formasinya. Dan sebagai solusi untuk menangani problem sentrum yang memang urgen dan penting dilakukan itu adalah antara lain dengan melakukan pianchetto gajah raja atau pun gajah menteri. Atau dengan melakukan manuver untuk merusak soliditas dan keutuhan bidak-bidak pusat lawan, misalnya dengan memancingnya untuk menangkap kuda provokator dalam pertahanan Alekhine.

Yang kemudian terkategori masuk dalam framework mashab hypermodern adalah sederet pembukaan yang telah populer dan menjadi opening favorit bagi para master,grandamaster serta grandmaster super. Sebut saja diantaranya Robert James Fisher, Kasparov dan Magnus Carlseen. Fisher suka memainkan pembukaan Sicilia tertutup dengan fianchetto gajah raja. Tentu saja perbukaan Sicilia adalah termasuk dalam kategori pembukaan modern yang lebih banyak menyaran pada perebutan petak pusat. Senada dengan itu, pembukaan inggris dengan varian fianchettonya yang juga sering dimainkan Fisher bahkan oleh Kasparov dan Carlseen, dalam derajat tertentu adalah manifestasi dari permainan catur Hypermodern. Pembukaan yang masuk dalam kategori Hypermodern adalah ; Pertahanan Hindia Raja, Pertahanan Hindia Menteri, Pembukaan Reti, Pertahanan Nimzo Hindia, Pertahanan Nimowitsch, Pertahanan Grunfeld, Hindia-Bogo, Pembukaan Catalan, Serangan Hindia Raja, Pertahanan Alekhine, pertahanan Pirc, dsb.

Salam Gens Una Sumus








Minggu, 07 Mei 2017

MERAWAT MANDAR


Merawat Mandar juga berarti mempertegas atau meluruskan identitas Mandar. Dan yang berpotensi mengalami kelunturan jati diri itu adalah komunitas Mandar yang ada di perantauan, terutama yang berada di kota-kota besar. Ancaman dan serangan budaya tersebut bukan saja datang lewat udara,secara on line misalnya penetrasi budaya global secara virtual, tapi juga lewat laut dan darat. Pokoknya datang dari semua jurusan dan penjuru angin.

Pada ranah keseharian dan posisi off line, orang Mandar sudah digoda oleh aroma dan rasa kuliner manca dan nasional. Orang Mandar sekarang,terutama yang muda-muda,mana ada lagi yang kesemsem makan ande-ande Mandar. Contoh nyata dan otentik adalah, di rumah tangga orang Mandar,dan tentu saja rumah penulis sendiri. Masaklah bau peapi khas Mandar. Maka ditanggung kuliner enak itu akan awet,paling tidak selama 3 – 4 hari ngendon di kulkas yang bisa sewaktu-waktu disantap lagi. Itu terjadi karena para ibu yang memasak bau peapi dengan porsi semua anggota keluarga ; bapak, ibu, dan anak-anak, akan dicuekin oleh si anak-anak. Mereka ini lebih memilih makan siang di mall yang penuh aneka makanan dari berbagai suku dan bangsa di dunia. Atau jika toch makan di rumah akan memasak sendiri spaghettinya yang di beli di mall juga.

Belum lagi bicara urusan busana, lagu, syair, dan tradisi-tradisi Mandar lain, yang notabene hadir dari kejauhan dan jarang-jarang. Orang Mandar getol menyanyikan lagu-lagu daerah Mandar hanya pada menjelang dan sesudah suatu perhelatan adat dan agama tertentu. Jika di Jakarta pada musim Halal bil halal misalnya. Makanya ketika Ikatan Wanita Sulawesi Barat kemaren tanggal 6 mei mengadakan perhelatan budaya Mandar di Anjungan Sulbar TMII, di hati penulis timbul rasa optimis sekaligus pesimisme juga.

Optimisnya karena agaknya komunitas Mandar yang ada di Jakarta belum melupakan kampung halaman dan budaya leluhurnya. Serasa ada cinta, semangat pelestarian dan penegasan budaya di sana,walau kadang tanpa dibarengi konsepsi pemilihan dan tampilan budaya yang mantap dan terencana. Pesimisnya karena khawatir kegiatan positive tersebut hanya sebatas letupan api belaka bak kembang api yang cepat meredup dan menghilang dalam waktu yang lama. Atau hanya sekedar pemberitahuan bahwa kami ada sebagai organisasi kemandaran dan kewanitaan. Atau semacam upaya mencicil hutanglah.

Tapi satu yang pasti gong mulai berbunyi, dan peristiwa tersebut telah di hadiri oleh Ali Bal Masdar, gubernur baru Sulbar yang dikenal sangat cinta budaya Mandar, maka rasa optmisme akan keberlanjutan prosesi budaya Mandar melintas waktu agaknya lebih besar sedikit. Ada sejenis keyakinan akan kebangkitan budaya Mandar dengan perubahan iklim politik di Mandar. Selamat.

Jumat, 10 Februari 2017

SEMIOTIKA DEBAT PILKADA SULBAR


Debat antar paslon gubernur Sulbar di Metro TV Kamis 9 Februari lalu bisa dikatakan sebagai suatu peragaan atau prosesi antar tanda yang nyata. Atau sebuah ranah pagelaran semiotika yang komplit untuk dibaca dan dimaknai secara konotatif maupun denotatif. Berdasar pada teori semiotika Roland Barthes, apa pun bisa jadi jadi tanda. Segala sesuatu atau entitas bisa jadi pertanda dan petanda,signifier atau signified. Di sana ada bahasa,wacana, gertur,mimik,ekspresi atau kesan yang bicara pada kita. Atau dibalik semua tampilan sosok-sosok calon pemimpin tersebut ada makna yang bisa jadi rujukan kita untuk menilai, mengevaluasi, mengomentari atau memberi putusan.

Namun dari sekian banyak bahasa atau tanda yang tampil, kita bisa mengkategorikan bahwa secara tanpa sengaja semua paslon telah mengikuti alur-alur atau frame semiotika struktural dan post-strukturalims. Dalam sikap dan ungkapan, paslon nomor urut 1 dan 2 adalah sttukturalis sedang paslon no urut 3 cenderung menampilkan elemen semiotika post-strukturalis. Dengan kata lain, paslon no 1 dan 2 dalam berpandangan atau berdebat bersifap konvensional dan normatif. Hanya paslon nomor urut 3, cagub dan cawagubnya yang lebih berani keluar dari struktur-sturktur berpikir yang lazim dan mainstream. Tapi semua paslon telah berusaha untuk taat mengikuti struktur berbahasa Indonesia yang benar.sementara sikap dan kostumnya tampak mengikuti etika serta norma-norma berbusana adat Mandar atau nasional.

Pasangan no 3, dalam berbusana juga seperti kecendrungan nomor urut 2. secara structural tak bisa lepas dari frame partai besar pengusung mereka, di sana ada warna menyala, merah dan kuning. Adapun dalam soal mimik wajah dan gestur tubuh para paslon, hanya paslon nomor dua yang tidak menunjukkan suatu rasa percaya dan keyakinan diri yang besar dan meluap untuk memenangkan pilkada. Atau bisa juga dibaca sebagai pertanda senioritas yang melekat pada paslon tersebut, sehingga bisa lebih menahan diri.

Terkait isue-isue dasar pembangunan dan pengembangan daerah, semua jelas mengikuti alur pemikiran strukturalis dan normatif belaka. Hanya pada masalah-masalaah yang lebih bersifat lanjutan, terlihat nyata ada perbedaan cara pandang, dan justru disinilah yang menarik,karena telah menunjukkan visi, sikap politik dan wawasan global para paslon. Di sini saya tak berpretensi untuk menilai mana diantara sikap, konsep dan pandangan yang benar atau tepat, tapi hanya akan berbicara tentang jaringan makna semiotika yang muncul dari isue-isue yang dimaksud.

Ketika paslon nomor satu bertanya pada paslon nomor tiga tentang masalah politik dinasti, maka terbaca adanya warna struktur pemikiran demokrasi di sana. Bahwa dalam sebuah negara republik dan demokratis,sejokyanya tak boleh ada politik dinasti seperti yang terdapat dalam struktur negara monarki atau kerajaan. Tapi jawaban paslon nomor tiga yang mencengangkan menurut saya, adalah lebih bersifat post-struktural, atau post-modernism.Walau jawaban paslon tiga singkat, tapi padat dengan serbuan makna yang berciri konotatof katimbang denotatif yang menghadirkan intertekstualitas. Secara tidak langsung paslon tersebut telah menafikan sekaligus membenarkan eksistensi politik dinasti dengan berbicara mengenai aturan tentangnya. Sejatinyaa banyak yang menyesali eksisnya politik dinasti, tapi sayang di sayang, pemerintah atau yang berwenang belum memberi acuan dan aturan yang tegas tentangnya. Cara berpikir paslon nomor urut 3 itu sepertinya telah mewakili atau mencermikan cara berpikir yang cenderung post-strukturalis dari “rising generation” bangsa kita, yang lebih memandang segala sesuatu secara polisemi atau multi makna. Yang maunya selalu berhipersemiotika dalam berbagai ungkapan dan tampilan, melampaui segala sturktur, code, atau prinsip-prinsip mapan. Lebih suka bersepakat untuk tak sepakat,serta lebih menilai tinggi disensus katimbang konsensus.

Begitu juga dalam urusan terorisme dan radikalisme. Paslon nomor 1 dan 2 cenderung ingin melakukan pendekatan keamanan dalam mengatasinya dan pagi-pagi sudah mengecamnya.. Sementara paslon nomor 3 lebih menyorot kepada masalah keadilan dan pendekatan dialog terhadapnya. Sejatinya semua pendekatan balk dan bisa dicoba, dalam hal ini semuanya benar. Namun secara semiotika atau pembacaan pada tanda-tanda, saya melihat ada sesuatu yang baru atau kemajuan berpikir dari paslon nomor urut tiga. bravo

Jumat, 03 Februari 2017

SAYA BERPIKIR MAKA SAYA ADA


Sepertinya siapapun sulit membantah kebenaran adagium abadi dari Descartes yang berbunyi “ Saya berpikir maka saya ada “.( Cogito Ergo Sum ). Paling tidak kerja berpikir itu merupakan modus untuk menjadikan manusia tidak sekedar mengada-ada, tapi mengada secara ‘otentik, atau adanya itu sebagai ‘manusia, bukannya adanya benda-benda, seperti yang diteorikan Sastre. Jadi orang atau kelompok orang yang tak berpikir akan jatuh derajatnya menjadi sekedar barang, angka-angka atau kerumunan yang rentan digebyah-uyah dan dimanipulasi oleh ide-ide atau pikiran yang yang ideologis dan egoistis,

Di tubuh bangsa dewasa ini tengah berlangsung upaya –upaya untuk mencegah orang untuk berpikir dan berakal sehat. Entah karena ketakutan yang bersifat material atau rohaniyah, dimunculkanlah aneka kambing – kambing hitam untuk mencegah atau membatasi orang mau berpikir secara kreatif dan bebas. Kambing-kambing yang dicap sangat hitam itu ada yang bernama hoax, anti pancasila, anti keragaman, atau counter penistaan agama penistaan agama yang terkesan dicari-cari, dll, dll Akibat paling buruk dari semua itu adalah antar sesama anak bangsa saling tuding, saling melapor dan saling menggugat. Gara-gara hoax yang sejatinya tak berarti dan angin lalu itu, pemerintah telah menggempur internet dengan aneka senjata, seperti pemblokiran dan spionase yang menurut saya hanya membuang energi dan biaya, malahan menimbulkan kesan paranoid, suatu ketakutan tak berdasar.

Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah meneliti hoax-hoax itu oleh siapa dan dengan tujuan apa, tanpa gembar-gembor. Dengan adanya peta hoax yang terang dan benar, maka akan diketahui di mana hulu dan hilirnya. Seperti sebuah sungai,maka yang banyak pasti hilirnya, sedang hulunya hanya satu. Nah, hulunya itulah yang diberangus, sedang hilir-hilirnya kembalikan saja ke jalan yang benar dengan pendekatan yang lebih ngewongke dan berwibawa. Jelas itu lebih baik dari marah-marah dan ngedumel melulu sehingga bertiindak ngawur dan bernada otoritarian. Ini bisa jadi bumerang buat pemerintah. Anggap saja para hoaxer itu telah kehilangan akal sehatnya, yang perlu diterapi dengan sehat. Jangan malah ikutan kehilangan akal sehat, siapa nanti yang akan mendokteri. Baik-buruknya keadaan masyarakat, adalah tanggung jawab pemerintah. Sebab untuk itulah dipilih rakyat dan diberi mandat untuk mengurus dan melayani rakyat, bukan untuk menguasai dan menggembalakannya secara semau-maunya.

Jika pemerintah berpikir bahwa rakyat sudah tak bisa berpikir sehat lagi maka perlu terus diawasi dan diancam, maka itu berarti rakyat sudah tak ada lagi dong, seperti nada nyanyian Descarter di atas. Kalau rakyat sudah tak ada, apa pmerintah juga masih bisa dianggap ada? Bukankah esensi negara demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi jika perintah dengan mudah dan sering membuat peraturan, undang-undang, perppu, atau dekrit yang bercorak diktatorial, karena alasan keamanan dan ketertiban negara dan masyarakat, ini akan menimbulkan kesan dan akibat buruk secara jangka panjang. Jangan karena kepentingan sesaat, dan hasrat pragmatisme kekuasaan, rakyat dimatikan kretifitas dan kegembiraannya berpikir.

Siapapun berhak untuk berpikir dan berpandangan, dan menuliskan pikirannya itu secara pribadi atau dipublikasi di media-media. Tapi siapapun tak berhak mengklaim bahwa pemikirannya itu yang paling benar. Jika toch ada yang bersikap mau benar sendiri, maka kita semua bisa menilai bahwa orang atau kelompok tersebut telah salah besar. Atau telah jauh dari kebenaran, karna pemikirannya hanya sebuah ‘ rasionaliisasi’ yang memaksakan mimpi, keinginan dan keyakinannya sendiri secara subjektif. Cara berpikir tak kreatif yang jauh dari kebenaran dan objektifitas itu adalah cara berpikir anak-anak yang selalu menonjolkan keakuan dengan kata-kata berakhiran ‘KU’ : ibuku, bukuku, kotaku, mobilku, kucingku, bangsaku, negaraku, agamaku, dsb, dsb dsb, jadi untuk apa takut pada cara berpikir anak-anak tersebut yang kebetulan sedang jadi trend.

Pada dasarnya kita dalam keseharian dan tugas selalu berpikir dan berpikir. Tapi jarang yang mau berpikir secara kritis dan kreatif. Paling banyak berpikir jenis ‘ngalamun’ atau ngelantur. Ini terjadi ketika kita mengikuti begitu saja jalan pikirannya kita kemana dia mau. Biasanya akan selalu mengarah kepada kesenangan-kesenangan kita, keinginan, rasa suka atau kecewa yang telah kita alami. Kita akan selalu mengingat-ingat pujian atau celaan orang. Pokoknya berpikir begini adalah tanpa arah, narsis dan tak produktif. Oleh James Harvey Robinson, berpikir secara spontan ini disebut ‘ Reverie’ : We allow our ideas to take their own course and this course is determined by our hopes and fears, our spontaneous desires, their fulfillment, or frustation, by our likes and dislikes, our loves and hates, and resentments. Pokoknya tak ada yang lebih menarik selain milik dan diri sendiri.

Berikutnya adalah kita berpikir ketika harus membuat satu keputusan, atau memilih apa-apa yang harus kita lakukan alam kehidupan sehari-hari. Msalnya apakah akan ke kantor pakai mobil, angkot atau kereta. Ini adalah berpikir praktis yang mesti kita lakukan tanpa mengingat lagi beban-beban moral yang mungkin ada. Seterusnya adalah cara berpikir yang selalu membenarkan diri sendiri, pendapat dan opini atau apa saja yang kita yakini, dll. Cara berpikir kekanak-kanakan inilh yang paling banyak dilakukan oleh kita, mennggejala dan jadi favorit di masyarakat. Kita sering tak terima bahkan emosi jika pendapat dan keyakinan kita dikritik dan dipermasalahkan orang. Memang secara bawaan,manusia akan senantiasa membela dan mempertahnkan apa saja yang dimilikinya dari serangan-serangan, termasuk pemikiran dan ide-ide, serta keyakinannya. Tapi jika ‘self mechanical defence itu berlebihan, maka akan terjadi hal-hal seperti yang dilakukan Ahok, di Pulau Seribu dan di depan Pengadilan. Yang telah menimbulkan reaksi dan respon keras secara luas.

Mending sekarang kita memperbanyak berpikir kritis dan kreatif, sebab berpikir beginilah yang akan membawa kemajuan bagi bangsa. Mencapai cita-cita bersama, bukannya saling gontok-gontokan, saling hujat dan saling melapor. Berpikir secara kreatif terjadi ketika kita begitu tertarik pada sesuatu yang indah dan berguna, merasa takjub dan heran lalu melupakan segala prakonsepsi serta keinginan diri yang sempit. Dan pada akhirnya akan berkata, wow,....ini dia yang benar, sungguh luar biasa!





Rabu, 21 Desember 2016

KEARIFAN MONDIAL


Dewasa ini orang getol sekali bicara tentang kearifan lokal etnik, agama dan bangsanya masing-masing, seolah-olah hanya pada lokalitasnyalah terdapat kebenaran tak terbantahkan. Repotnya semua itu sekedar bersifat discoveri yang post factum. Nanti setelah timbul aneka masalah yang mengharu biru secara lokal atau nasional, bahkan mondial, apa yang berjudul kearifan setempat mengemuka untuk dijadikan penangkal buat problem berikutnya. Sementara korban telah berjatuhan dan luka dan dendam sudah sangat dalam dan susah untuk direkonsiliasi lagi di masa depan.

Setelah terjadi kerusuhan Ambon yang memakan korban ribuan dari etnik-etnik yang bertikai, barulah kemudian orang rajin bicara tentang ‘ kita semua bersaudara’. Yang Kristen bicara perlunya menebar kasih. Atau pihak Islam yang ikut terlibat mengangkat tema kearifan agama, “ Islam adalah Rahmatan lil Alamin”. Pertanyaaannya adalah dimana saja hal-hal tersebut berada selama ini. Sebuah kearifan kuno kerajaan Majapahit kini sangat populer dikumandangkan akhir-akhir ini di setiap forum dan pertemuan, yaitu, Binneka Tunggal Ika’. Repotnya kearifan lokal yang telah jadi pilar kesatuan bangsa itu ini terkesan mengarah kepada usaha penyeragaman sekaligus mau melestarikan adanya perbedaan yang nyata di alam sosial dan arena publik. Dan kearifan yang pancasilais itu sudah tercium bau propaganda yang mirip-mirip usaha pemerintahan orde baru mempolitisasi hal keragaman dan perbedaan bangsa Indonesia. Jaman ini tokoh – tokohnya sedikit-sedikit bicara tentang bahaya ‘sara’, pokoknya sara dan sara lagi. Padahal ingin membatasi orang untuk bicara agama, suku atau etnisitas.

Padahal menurut para ahli, unsur-unsur perbedaan yang diangkat lalu dibanting sampai pecah berantakan ini secara politis dan propagandis, justru telah menimbulkan ledakan pertikaian sara yang tiada taranya di republik ini. Rasa kebanggaan etnis dan agamis tiba-tiba meledak tak terkendali bak kuda lepas dari kandang dan kekangan pasca orde baru yang refresif dan otoriter. Maka terjadilah kerusuhan Ambon, Sampit, Tarakan atau Tolikara. Dewasa ini jika orang bicara tentang etnik atau agama, maka selalu akan dicurigai sebagai suatu yang eksklusif dan malahan intoleran. Sebaliknya jika orang hanya sekedar mau menonjolkan simbol-simbol agamanya karena suatu perayaan tertentu, akan dicurigai sebagai upaya percobaan pemurtadan. Padahal semua itu hanya berangkat dari kesalah fahaman saja,yang membutuhkan penerangan dan komunikasi yang sehat dan intens. Perbedaan dan keragaman adalah niscaya adanya dan alami, tak perlu diekspose dan didramatisir prilakunya.

Tentu saja memakai baju sinterklas bagi pemeluk Islam dalam perayaan Natal tidak serta merta akan menyebabkan perpindahan agama atau berkurangnya rasa cinta pada Islam. Sessi sinterkelas dalam perayaan natal hanyalah salah satu unsur kebudayaan kristiani, bukan bagian dari keyakinan, seperti memakai kalung salib misalnya. Lagi pula anak-anak muslim sedari kecil sudah sangat akrab dengan simbol-simbol budaya tersebut lewat film-film biasa ata kartun yang sering muncul di televisi. Anak-anak muslim mana yang tidak pernah menonton film si Beruang dan gadis perempuan kecil Marsha yang sering merayakan natal bersama Sinteklas yang naik kereta luncur. Atau orang dewasa mana yang tidak pernah mendengar lagu-lagu natal dari para artis kristiani di televisi dan film-film. Hal-hal ini tentu lebih berpengaruh secara kognitif dan afektif pada kejiwaan muslim ketimbang sekedar mengenakan topi sinterklas yang berjambul itu.

Tapi harus juga dipahami bahwa totalitarianisme juga bisa berbaju budaya yang mematikan interaksi simbolik yang sehat di masyarakat. Ketika golongan minoritas gelisah pada maraknya simbol-simbol agama dan budaya golongan mayoritas, maka hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Sebaiknya dalam masalah ini dicari tahu siapa yang senantiasa mau melakukan diferensiasi sosial atau pembedaan sosial yang ujung-ujungnya akan mendapatkan keuntungan dari realitas tersebut. Siapa yang sejatinya gemar mengeluarkan seseorang dan kelompok tertentu dari ‘kekitaan’. Menurut Pierre Bourdieu dengan konsep ‘fieldnya’ bahwa di dalam field itu dunia sosial terus menerus dalam proses diferensiasi progresif..’ ini dianggap sebagai dimensi fundamental dari seluruh sistem sosial.

Dengan konsepsinya itu Bourdieu ingin menunjukkan bahwa dunia sosial adalah arena pertarungan dan perjuangan yang para aktornya bersaing untuk mendapatkan sumber daya material maupun ‘power simbolis’. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan adanya ‘perbedaan’ yang akan menjamin status aktor sosial itu dan berfungsi sebagai sumber kekuasaan simbolis yang akan digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut. Jadi sikap saling merendahkan dan melecehkan secara budaya atau agamis adalah bagian dari ‘ political struggle’ yang nyata dan harus disudahi agar bangsa ini bisa berkembang secara sehat. Jangan lagi ada upaya untuk menyerang simbol-simbol budaya atau agama lain apalagi menistakannya. Sebab dewasa ini orang sudah pada melek dan tidak bego lagi untuk membaca asumsi-asumsi tak terucapkan sekalipun. Atau untuk menafsir usaha-usaha buruk yang terselubung.

Tapi penolakan dan penerimaan terhadap sinterklasisme di mal-mal dan restoran harus disikapi secara arif. Janganlah yang menolak dianggap sebagai kelompok intoleran, dan yang menerima sebagai golongan permissif. Tidak harus ada benci di sana. Dan tidak harus juga mengibarkan bendera kebinekaan lagi seolah hanya pengibarnya saja yang menghargai keragaman dan perbedaan. Padahal ini juga bagian dari upaya pembedaan yang maunya mendominasi. Tebarkanlah kasih dan cinta misalnya sebagai kredo kristiani. Kearifan mondial Isa al Masih itu adalah pencegah segala rupa pemaksaan dan kesombongan tak berdasar. Sejatinya setiap agama punya misi yang bersifat universal, itulah makanya Kristen punya golden rule yang berselimut ‘Cinta Kasih pada semua orang’ dan Islam punya kalimat’ Rahmatan lil Alamin’



Jumat, 16 Desember 2016

HARI KORUPSI DAN HARI HAM


Seorang bocah yang punya rasa ingin tahu yang guede dan pedulian sekali, selalu mencatat hari-hari penting yang dirayakan dan diperingati orang dalam setahun. Dan ia akan merayakan hari-hari tersebut dengan caranya sendiri. Jika tiba hari kemerdekaan bangsa, maka ia akan getol mengoleksi bendera merah putih dari kertas, lantas akan berlagak menjadi seorang pejuang atau proklamator, layaknya Bung Karno dan Bung Hatta. Bila hari sumpah pemuda tiba, karuan ia akan berlagak menjadi seorang pemuda yang dengan lantang meneriakkan Sumpah Pemuda kemana dan dimanapun ia berada. Karena bocah itu seorang laki-laki, pada hari kartini ia akan meminta atau memaksa adik perempuannya untuk mengenakan baju kebaya dengan sanggul besar bak seorang Kartini, yang Raden Ajeng.

Tentu saja pada hari buruh, akan berlagak jadi buruh, atau pekerja yang sok rajin, kendati belum tahu apa itu buruh dan hubungannya dengan kaum kapitalis. Di hari musik ia akan menggebuk apa saja layaknya alat musik perkusi, lalu menari-nari dan menyanyi sendirian sambil berputar-putar. Itu dilakukan karena ia belum bisa main gitar apalagi piano atau biola. Pada hari Kesaktian Pancasila ia agak bingung mau buat apa. Karena disekitar rumahnya tidak ada burung garuda yang terbang rendah dan bisa diajak bermain-main. Paling banter ia akan berlagak jadi dukun sakti dan berusaha merapal sila-sila Pancasila secara benar dan tertib. Sementara di Hari Pahlawan, dikumpulkannya semua gambar-gambar Pahlawan lalu dipandangnya dengan takjub dan rasa cinta yang besar. Akh, dia sungguh seorang bocah yang cerdas dan patriotis.

Nah, di bulan desember ini ia sangat sibuk merayakan dan memperingati ini-itu. Sang Bocah millenium itu tahu persis bahwa dibulan desember tanggal 9 ada hari Korupsi, tanggal 10 hari HAM, dan tanggal 12 adalah perayaan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada peringatan Maulud Nabi, ia tampak sangat baik dan religius. Katanya ia mau menteladani sikap dan prilaku Rasul. Semua teman-temannya disapanya dengan ramah, dan tiba-tiba menjadi anak yang suka menolong orang yang dirundung masalah. Bahkan kepada binatang dan alam tumbuhan, ia sangat sayang. Ia tahu persis bahwa Rasul punya akhlak yang sangat baik dan jiwa pengabdian yang besar kepada semua makhluk. Hanya pada hari korupsi dan hari HAM, ia tak kunjung mengerti mengapa harus diperingati dan tentu saja ia tak mau merayakannya.

Ia tahu dari kata orang dan kata televisi, bahwa korupsi adalah perbuatan tercela dan rendah. Ia paham bahwa koruptor adalah pencuri uang rakyat, makanya ia bertanya dalam hati mengapa banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sang Bocah rupanya sudah tahu bahwa seorang pejabat adalah abdi negara dan rakyat, yang seharusnya melindungi dan memperkaya rakyat, bukannya melindungi dan memperkaya diri sendiri. Oleh karenanya, ia sama sekali emoh memperingati apalagi merayakan hari korupsi. Beitu juga dengan hari HAM. Dalam hal ini ia tahu serba sedikit tentang apa itu Ham. Dalam hal ini ia merasa sangat hairan, kok masih banyak terjadi kekerasan dan pelanggaran Ham di masyarakat. Rupanya ia sering menonton di televisi tentang demo-demo penegakan Hak Asasi Manusi, dan tahu bangsanya masih suka melanggar Ham. Dasar bocah!





Rabu, 07 Desember 2016

ANAK – ANAK JAMAN


Siapakah anak-anak jaman itu? Tentu saja orang-orang yang lahir dan dibesarkan oleh jaman dimana ia hidup. Socrates, Plato atau Aristoteles adalah anak jaman peradaban Yunani yang sangat mencintai pilasafat, ilmu, dan kebijaksanaan. Kant, hegel, atau John Locke adalah anak jaman aufklarung atau masa pencerahan yang sangat rasional berdasar pada azas ‘Cogito’ dari Descartes. Sementara Rousseou, Gothe, atau Sukarno adalah anak-anak atau pewaris era romantisme. Anak-anak jaman adalah manusia historis yang tak mungkin kita copot dan mencopot dirinya sendiri dari kemelekatannya pada jaman yang mennghidupi dan dihidupinya. Mereka imanen di dalamnya. Mereka bukan subjek transenden yang bisa dengan mudah bersikap objekti terhadap masa lalu dan masa depan lalu bermeta temporal ria.

Anak-anak jaman mau tidak mau adalah makhluk deterninsmus par excelent, yang disuapi dan memamah biak semua nutrisi yang ada pada jamannya. Kendati kerap meneriakkan kebebasan dan otonomi, namun dalam hal analisa atau penilaian terhadap urusan sejarah misalnya, mereka tetap saja akan terbelenggu oleh bahan-bahan mentah dan setengah jadi jamannya. Jika mereka bicara tentang masa lalu,maka akan berasa masa kini. Dan tanpa sadar semua orang akan mencerninkan zeitgeistnya masing-masing, sekaligus memunggungi universalime historis yang maunya objektif melulu. Apakah seorang Plato atau Aristoteles bebas dari pengaruh jaman ketika mengatakan bahwa demokrasi adalah nonsens. Belum tentu Sukarno akan sangat revolusioner dan radikal sikap politiknya andai ia hidup di era millenium ini. Atau mentas di masa kerajaan sorga, yang banyak menelorkan kisah-kisah seribu satu malam misalnya. Soekarna adalah wakilnya jamannya yang penuh ketidak adilan dan kekejaman.

Siapapun dia jika adalah anak dari jamannya, maka tidak akan bisa rasional dan obejktif menilai sebuah event atau peristiwa sosial. Ia tidak akan bebas dari prasangka, dan sangat mengandalkan otoritas dan tradisinya. Orang-orang yang mengkampanyekan diri seolah memiliki rasional telanjang yang polos dan murni, sejatinya juga masih mengenakan kostum atau seragam tertentu yang juga tidak bebas dari prasangka .Mereka yang menggenggam segenap akses keuangan , kebijakan dan tools pembentuk opini , telah dengan ngawur melaksanakan kampanye pembenaran dan pembesaran diri, bahwa merekalah yang paling nasionalis dan berada di garda depan persatuan dan kesatuan bangsa, atau kuncen penjaga kebinekaan. Mereka yang menggagas aksi 411, dan beranggapan bahwa yang tumplek blek di aksi super damai 212 adalah pengganggu prinsip kebinekaan, sejatinya juga sudah menjubeli benaknya dengan aneka prasangka.

Jaman akan selalu melahirkan ank-anak yang mirip dirinya. Jaman yang telah muak dengan aneka kesombongan manusia yang menafikan dirinya sendiri, akan melahirkan anak-anak yang sangat manusiawi. Jaman yang jenuh dengan cekokan ilmu yang maunya membuat orang-orang seperti robot,kaku dan penurut, akan melahirkan insan-insan bebas yang hanya tunduk pada kuasa Tuhan, bukan pada ilah-ilah bernama kemajuan, kekayaan, atau keuangan yang maha kuasa. Anak jaman tidak mudah dinina bobo oleh nyanyian sumbang dan janji-janji palsu. Karena mereka sudah banyak melihat dan mengalami betapa sebuah pemujaan dan puji-pujian terhadap sesama hanya berujung kecewa dan rasa sesal.

Anak-anak jaman tidak percaya lagi pada narasi-narasi besar yang maunya mendominasi, serta narasi tentang orang-orang besar, dan mengandalkan diri padanya. lalu mematikan subjektivitasnya sendiri, untuk menjadi objek-objek tak berdaya yang mau saja digiring ke sana-kemari., bak kerbau dungu atau bebek-bebek manis. Nasionalisme mereka adalah nasionalisme yang mengayomi dan baik hati. Bukan nasionalisme main gusur, dan main bentak. Bukan juga yang dipaksakan oleh suatu konsepsi sempit dan mengada-ngada, minus kritisime dan pertanyaan tentang kebenaran dan kemurniannya. Dalam segala hal mereka hanya berpihak pada kebaikan hati dan kemanusiaan yang berlandaskan Ketuhanan, pokoknya yang Pancasilais beneran gitu lho!. Bukan pancasila yang dimamfaatkan untuk melancarkan kekuasaan dan keuangan, serta dipakai sebagai tameng belaka, seperti kerjaan orang-orang komunis di masa lalu. Bagi anak-anak Jaman, Pancasila ya Pancasila, tidak pakai embel-embel dan umbul-umbul.

Sabtu, 03 Desember 2016

BERPIKIR KREATIF ALA JOKOWI-JK


Biasanya kata kreatif akan dihubungkan orang dengan kerja para seniman atau para penemu. Hal ini tidak salah, namun sejatinya yang namanya kreativitas bisa dilakukan oleh semua kalangan. Dengan menyederhanakan pengertiannya dan menghindari abstraksi yang nyelimet, maka siapapun bisa berprilaku sebagai orang yang kreatif. Menurut David J. Schawartz, PH.d. “Berpikir kreatif adalah menemukan cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan segala sesuatu.” Tentu dalam pengertian ini juga termasuk cara baru dan bagus untuk menangani dan menyelesaikan setiap masalah yang tampil setiap saat dalam kehidupan ini pada segala tingkatan. Mulai dari level pribadi, keluarga, masyarakat ataupun negara.

Di tingkat personal, orang bisa berpikir kretif untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dengan rajin melakukan browsing di internet terkait dengan bidangnya. Tidak harus dengan berkuliah lagi atau ikut kursus. Bukankah semua ilmu dan pengetahuan sudah tersedia secara melimpah di internet. Hanya juga mesti menemukan cara belajar sendiri yang lebih baik dan efektif. Sebuah keluarga yang kreatif adalah keluarga yang selalu menjaga ketenangan anggotanya dan berusaha memberi pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Pada level perusahaan bisa menemukan strategi pencapaian yang lebih keren dan inspiratif. Disamping membuat rencana strategi yang mendasar dan antisipatif, harus juga membuat sebuah misi yang menarik dan menggugah. Dibawah ini beberapa pernyataan misi yang menarik :
1. Jangan tawarkan sepatu, tapi tawarkan kenyamanan kaki dan kesenangan berjalan kaki.
2. Jangan tawarkan buku, tawarkan jam-jam kesenangan, dan mamfaat pengetahuan.
3. Jangan tawarkan rumah, tawarkan home, atau keamanan, kenyamanan, dan tempat yang bersih, teduh dan menyenangkan buat keluarga
4. Jangan twrkan pakaian, tawarkan sebuah kenyaman bergerak, dan penampilan yang indah.
5. Jangan tawarkan mobil, tapi kelancaran dan kenyamanan bertransportasi, dan tamasya keluarga.


Pada level negara atau masyarakat, kita tentu bisa meniru dan menerapkan apa yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi serta Wapres Jusuf Kalla di aksi damai 212 kemaren. Apa yang dilakukan oleh kedua pimpinan negara kemaren sungguh sebuah bukti kreativitas sosial dan kepemimpinan yang otentik dan mengayomi. Di tengah ketidak pastian yang ada, ketika tak seorang pun bisa meramal apa akhir dari aksi bela Islam jilid III, pada saat komunikasi dan kesepakatan tidak menjanjikan dan menjamin absennya sebuah anarksime dan kerusuhan. Ketika semua mata tertuju ke silang monas, lewat berbagai media dan secara incognito, dengan harap-harap cemas tak terjadi sesuatu yang luar biasa. Di tengan massa yang membludak dan detik-detik menegangkan, tiba-tiba Presiden Jokowi dan JK memutuskan untuk ikutan salat Jumat bersama para peserta aksi dan pemimpin-pemimpinnya. Tak pelak lagi sikap dan tindakan kreatif itu mampu menurunkan semua tensi, ketegangan dan ketidak pastian yang ada. Semua orang lega hatinya, semua anak bangsa bersyukur dan bisa kembali tenang dan menjalani hari yang penuh damai dan harapan. Di lapangan, para petugas keamanan dan peserta aksi bisa terus melaksanakan misinya masing-masing.

Begitulah sejokyanya seorang kepala negara berprilaku. Bisa dengan cepat dan secara kreatif menemukan cara dan solusi terbaik untuk mengatasi suatu situasi genting dan mengkhawatrkan, yang mengancam keberlangsungan negara. Seandainya Jokowi-JK terikat pada aturan protokoler istana dan kepresidenan, dan tak mau berpikir ‘out of box’ mungkin cerita dan nasib bangsa hari ini tak akan begitu cerah dan menjanjikan. Rupanya Jokowi-Jk bisa belajar dari pengalaman aksi 411 yang lalu, yang telah menimbulkan problem traumatis , insiden yang tak diinginkn senua pihak, akibat cara berpikir ketat dan tak kreatif.

Yang datang ke Monas dari berbagai daerah, Jakarta dan sekitarnya adalah orang-orang yang sangat mengimani kitab sucinya yang syarat dengan lembar-lembar kebaikan dan kemaslahatan, bukan kalangan yang tanpa pegangan dan dasar. Dan atas dasar iman itulah mereka menuntut orang yang telah berbuat nista. Mereka disatukan oleh satu tujuan mulya, menuntut keadilan ditegakkan atas penistaan itu, dan Lillahi taala. Maka salah besarlah yang mengakait-kaitkan mereka dengan politik atau proses pilkada yang sedang berlangsung. Banyak orang-orang pinter keblinger yang mencap dan memberi mereka label negatif. Jika hal itu datang dari kaum phobia Islam, masih wajar. Tapi banyak juga yang justru menamakan dirinya sebagai pakar dan intelektual Islam yang mengolok-ngolok aksi bela Islam sebagai hal yang berlebihan sebagai bentuk dari kesalah pahaman dan salah tafsir. Sesungguhnya banyaknya ilmu tentang agama tidak menjamin kepenuhan dan keutuhan Iman.

Sudah sepantasnyalah Presiden Jokowi dan JK yang dulu juga secara kreatif mendamaikan republik dengan para dissiden atau kaum separatis beroleh hadiah nobel perdamaian, atau paling tidak masuk nominasilah. Karena bisa dikatakan apa yang telah mereka pikir, dan tindak lanjuti untuk menciptakan perdamaian sejajar atau senafas dengan apa yang telah dilakukan oleh peraih nobel perdamaian tahun ini, Presiden Columbia, Juan Manuel Santos, yang telah mau dan berhasil membuat keseepakatan damai dengan anasir pemberontak FARC, sekaligus mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung selama 52 tahun.

Kalangan yang menganggap tindakan Jokowi-JK, dan Kapolri Tito Carnavian sebagai suatu blumder dan berpotensi memberi angin pada yang mereka sebut sebagai kelompok intoleran untuk lebih kencang lagi melancarkan aksi-alsinya, sangat tidak berdasar dan justru menunjukkan arogansi yang maunya menempatkan diri lebih baik dan bersih dari kelompok lain di republuk ini. Sepertinya kalangan tersebut tidak mampu berpikir positif dalam memandang potensi kebaikan yang ada pada setiaporang dan kelompok di negara ini. Padahal jika menginginkan negara ini terus aman dan damai, sikp-sikap saling merendahkan dan anggap remeh antar kelompok mesti disudahi. Jika semua kalangan mau senantiasa berpikir krestif dan positif seperti Jokowi-JK yang sering lakukan, pasti negara ini bisa kelas, atau lulus menjadi Sarjana Demokrasi yang asli.


Kamis, 01 Desember 2016

NILAI SEBUAH KATA


Dalam pelajaran bahasa Indonesia dikenal yang disebut nilai sebuah kata. Nilai kata bisa bersifat netral,bisa afektif atau punya beban rasa. Pada kalimat’ si Ali pulang kampung’ kata kampung bermakna objektif, sedangkan pada kalimat’ si Ali kampungan’ kata kampung sudah bermakna pejoratif, bahwa Ali adalah orang ketinggalan jaman. Begitu juga dengan kata serapan dari bahasa asing yang kini sangat banyak dipakai ‘ modern’. Kata itu bersifat netral jika ada dalam kalimat,’ kantor Susi membeli perlengkapan yang modern’ . Dalam kalimat ‘ si Susi orangnya nggak modern’ini bermakna bahwa Susi ngga up to date atau maju.

Kata ‘modern’ sebagai kata afektif , sejak dulu menjadi telaah pemerhati budaya dan sosial. Dalam konteks sosial budaya, modern disebut modernitas,bukan modernisme yang lebih berkarakter ideologis. Banyakyang mengindektikkan modernitas dengan hal-hal yang datang dari barat atau bersifat kebarat-baratan. Dan menurut saya orang tersebut punya cara berpikir ideologis. Terlalu berorientasi ke barat,apa-apa yang datang dari barat pasti keren, baik, dan selalu benar. Padahal pada dataran filosofis, arti modern, modernisme atau modernitas sudah didekonstruksi,dan perlahan ditinggalkan sebagai penanda kemajuan, menuju satu era yang disebut Post-Modernism.

Tapi kali ini kita tidak membahas apa itu modern atau tidak,tapi nilai sebuah kata. Nilai kata berbeda dengan kata-kata taksa atau ambigu yang berdwimakna, seperti kata ‘beruang’ yang bisa berarti binatang atau orang yang punya uang. Sedang soal nilai sebuah kata adalah sesuatu yang bisa hilang dan merosot. Arti atau nilai sebuah kata ditentukan oleh banyakhal, bisa oleh pengalaman pribadi, trauma sosial,atau perkembangan sejarah dan perubahan selera dan cara merasa dan berpikir orang. Kata PHK bisa bermakna objektif dalam kalimat, ‘ banyak perusahaan yang mem PHK karyawannya di jaman resesi ekonomi.” Tapi bagi orang yang pernah mengalami di PHK, akan sangat merasa sedih atau kesal jika mendengar kata itu. Pada jaman memuncaknya kehebatan dan keganasan kapitalisme, istilah, ‘ komunis’ tiba-tiba saja melejit tinggi sebagai kata yang penuh makna dan menjanjikan. Tapi pasca kebrutalan Stalin di Rusia, atau G30 S di Indonesia, kata komunis betul-betul telah menjadi sangat rendah nilainya, bahkan dianggap sampah.

Pada jaman kerajaan kata ‘kaki tangan’ punya nilai tersendiri pada seseorang, banyak yang bangga disebut kaki tangan raja atau pembantu raja. Tapi sejak banyaknya orang yang menjadi ‘kaki tangan Belanda, maka kata kaki tangan pun merosot tajam kursnya. Bahkan disebut sebagai kaki tangan sebuah bangsa besar pun seperti Amerika, orang sudah tak sudi. Karena ia berkonotasi antek asing,atau terkait erat dengan kejahatan. Orang jaman dahulu jika disebut sebagai ‘gelandangan’ tidak akan tersinggung dan marah, karena maknanya masih sebagai orang yang suka mengembara, atau berpetualang. Namun mana ada orang sekarang yang mau disebut gelandangan, bahkan si gelandangan itu sendiri. Begitu juga kata ‘gila’, orang tidak akan malu jika disebut ‘ gila bola’ atau gila kerja. Tapi jika dipanggil si gila harta, atau gila perempuan, pasti meradang, apalagi jika disebut gila benaran.

Nah, di era millenium yang berubah sangat cepat dalam segala hal, banyak sekali kata-kata yang derajatnya sangat cepat merosot. Beberapa tahun lalu apalagi di jaman reformasi, kata demo begitu keren kedengaran dan sangat membanggakan bagi pelakunya. Sehingga semua kalangan berlomba-lomba untuk melakukan demo atau unjuk rasa, kendati hanya pada urusan sepele, mendemo pak bupati yang kedapatan selingkuh atau poligami. Atau bapak menteri yang melalaikan karyawan. Saat itu orang bangga turun ke jalan memakai atribut tertentu, membawa bendera dan umbul-umbul, serta ikat kepala merah putih atau yang warna-warnilah. Bangga karena dianggap kritis dan aktivis. Tapi sejak demo-demo kerap disusupi dan jadi ajang ngalap berkah, maka kata demo juga dengan cepat menurun pamornya.

Dan kini, tak perduli apakah demo yang dilakukan benar-benar murni sebagai unjuk perasaan bagi yang merasa terzalimi atau disakiti secara kelompok, demo akan tetap dianggap sebagai suatu kesia-sian dan malahan sebuah anasir yang mengganggu ; kenyamanan dan ketertiban warga, atau stabilitas kekuasaan. Demo sekarang dengan gampang bisa dicari-cari keburukannya, tergantung seberapa besar ia mengguncang pihak yang yang didemo. Dan kata-kata yang paling ampuh untuk mendiskreditkan demo adalah ‘provokator’, aktor intelektual, dll. Hari ini, Jumat 212, kita hanya bisa berharap, jika ada demo, semoga tidak merusak dan dirusak.

Karena kata-kata sangat rentan mengalami devalusai makna dan melorot nilainya, maka setiap pekerja pada profesi tertentu agar mampu dan mau menjaga nilai pekerjaannya sendiri untuk tidak terjun bebas. Karena nyaris semua bidang kerja di republik ini sedang menuruni bukit ketinggian dan kemulyaannya. Banyak orang dewasa ini bergerak telinganya dan memicing matamya jika mendengar kata Jaksa, Hakim, Pengacara, Polisi, DPR, Bupati atau Gubernur serta Menteri. dsb. Rata-rata dirusak oleh tindak korupsi dan penyalah gunaan wewenang yang ada pada penyandang kata itu. Bisa juga karena ada pihak lain yang sengaja merusaknya. Dan yang parah, banyak pihak akhir-akhir ini dengan sengaja atau tidak telah merusak atau menurunkan nilai pekerjaan yang mestinya dianggap penjaga moral bangsa, yaitu Ulama, Ustadz, Kiyai, Pendeta, Pastur, Pedanda dan yang sejenis. Memang ada nila di sana tapi mereka bukan susu atau air yang gampang kotor dan tercemar.

Intinya adalah bahwa banyak arti dan nilai sebuah profesi jatuh karena terkait dengan yang namanya rupiah atau dollar. Lebih mengherankan bahwa banyak nama-nama besar di segala bidang yang rela jatuh gara-gara memburu uang. Dalam hal ini kata uang telah dinilai sangat tinggi bahkan dinomor satukan dalam kehidupan. Padahal seorang penyanyi remaja, Meja, malu jadi gila karena uang. Lalu kehilangan diri dan kepedulian….

"All 'Bout The Money"
Sometimes I find another world
inside my mind
when I realise
the crazy things we do
It makes me feel ashamed to be alive
It makes me wanna run away and hide

It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum.......
And I don't think It's funny
to see us fade away
It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum...
and I think we got it all wrong anyway

We find strange ways of showing
them how much we really care
when in fact
we just don't seem to care at all
This pretty world
is getting out of hand
So tell me how we fail to understand?
and I think we got it all wrong anyway
Anyway

……………………….







I SEBUAH KATA


Dalam pelajaran bahasa Indonesia dikenal yang disebut nilai sebuah kata. Nilai kata bisa bersifat netral,bisa afektif atau punya beban rasa. Pada kalimat’ si Ali pulang kampung’ kata kampung bermakna objektif, sedangkan pada kalimat’ si Ali kampungan’ kata kampung sudah bermakna pejoratif, bahwa Ali adalah orang ketinggalan jaman. Begitu juga dengan kata serapan dari bahasa asing yang kini sangat banyak dipakai ‘ modern’. Kata itu bersifat netral jika ada dalam kalimat,’ kantor Susi membeli perlengkapan yang modern’ . Dalam kalimat ‘ si Susi orangnya nggak modern’ini bermakna bahwa Susi ngga up to date atau maju.

Kata ‘modern’ sebagai kata afektif , sejak dulu menjadi telaah pemerhati budaya dan sosial. Dalam konteks sosial budaya, modern disebut modernitas,bukan modernisme yang lebih berkarakter ideologis. Banyakyang mengindektikkan modernitas dengan hal-hal yang datang dari barat atau bersifat kebarat-baratan. Dan menurut saya orang tersebut punya cara berpikir ideologis. Terlalu berorientasi ke barat,apa-apa yang datang dari barat pasti keren, baik, dan selalu benar. Padahal pada dataran filosofis, arti modern, modernisme atau modernitas sudah didekonstruksi,dan perlahan ditinggalkan sebagai penanda kemajuan, menuju satu era yang disebut Post-Modernism.

Tapi kali ini kita tidak membahas apa itu modern atau tidak,tapi nilai sebuah kata. Nilai kata berbeda dengan kata-kata taksa atau ambigu yang berdwimakna, seperti kata ‘beruang’ yang bisa berarti binatang atau orang yang punya uang. Sedang soal nilai sebuah kata adalah sesuatu yang bisa hilang dan merosot. Arti atau nilai sebuah kata ditentukan oleh banyakhal, bisa oleh pengalaman pribadi, trauma sosial,atau perkembangan sejarah dan perubahan selera dan cara merasa dan berpikir orang. Kata PHK bisa bermakna objektif dalam kalimat, ‘ banyak perusahaan yang mem PHK karyawannya di jaman resesi ekonomi.” Tapi bagi orang yang pernah mengalami di PHK, akan sangat merasa sedih atau kesal jika mendengar kata itu. Pada jaman memuncaknya kehebatan dan keganasan kapitalisme, istilah, ‘ komunis’ tiba-tiba saja melejit tinggi sebagai kata yang penuh makna dan menjanjikan. Tapi pasca kebrutalan Stalin di Rusia, atau G30 S di Indonesia, kata komunis betul-betul telah menjadi sangat rendah nilainya, bahkan dianggap sampah.

Pada jaman kerajaan kata ‘kaki tangan’ punya nilai tersendiri pada seseorang, banyak yang bangga disebut kaki tangan raja atau pembantu raja. Tapi sejak banyaknya orang yang menjadi ‘kaki tangan Belanda, maka kata kaki tangan pun merosot tajam kursnya. Bahkan disebut sebagai kaki tangan sebuah bangsa besar pun seperti Amerika, orang sudah tak sudi. Karena ia berkonotasi antek asing,atau terkait erat dengan kejahatan. Orang jaman dahulu jika disebut sebagai ‘gelandangan’ tidak akan tersinggung dan marah, karena maknanya masih sebagai orang yang suka mengembara, atau berpetualang. Namun mana ada orang sekarang yang mau disebut gelandangan, bahkan si gelandangan itu sendiri. Begitu juga kata ‘gila’, orang tidak akan malu jika disebut ‘ gila bola’ atau gila kerja. Tapi jika dipanggil si gila harta, atau gila perempuan, pasti meradang, apalagi jika disebut gila benaran.

Nah, di era millenium yang berubah sangat cepat dalam segala hal, banyak sekali kata-kata yang derajatnya sangat cepat merosot. Beberapa tahun lalu apalagi di jaman reformasi, kata demo begitu keren kedengaran dan sangat membanggakan bagi pelakunya. Sehingga semua kalangan berlomba-lomba untuk melakukan demo atau unjuk rasa, kendati hanya pada urusan sepele, mendemo pak bupati yang kedapatan selingkuh atau poligami. Atau bapak menteri yang melalaikan karyawan. Saat itu orang bangga turun ke jalan memakai atribut tertentu, membawa bendera dan umbul-umbul, serta ikat kepala merah putih atau yang warna-warnilah. Bangga karena dianggap kritis dan aktivis. Tapi sejak demo-demo kerap disusupi dan jadi ajang ngalap berkah, maka kata demo juga dengan cepat menurun pamornya.

Dan kini, tak perduli apakah demo yang dilakukan benar-benar murni sebagai unjuk perasaan bagi yang merasa terzalimi atau disakiti secara kelompok, demo akan tetap dianggap sebagai suatu kesia-sian dan malahan sebuah anasir yang mengganggu ; kenyamanan dan ketertiban warga, atau stabilitas kekuasaan. Demo sekarang dengan gampang bisa dicari-cari keburukannya, tergantung seberapa besar ia mengguncang pihak yang yang didemo. Dan kata-kata yang paling ampuh untuk mendiskreditkan demo adalah ‘provokator’, aktor intelektual, dll. Hari ini, Jumat 212, kita hanya bisa berharap, jika ada demo, semoga tidak merusak dan dirusak.

Karena kata-kata sangat rentan mengalami devalusai makna dan melorot nilainya, maka setiap pekerja pada profesi tertentu agar mampu dan mau menjaga nilai pekerjaannya sendiri untuk tidak terjun bebas. Karena nyaris semua bidang kerja di republik ini sedang menuruni bukit ketinggian dan kemulyaannya. Banyak orang dewasa ini bergerak telinganya dan memicing matamya jika mendengar kata Jaksa, Hakim, Pengacara, Polisi, DPR, Bupati atau Gubernur serta Menteri. dsb. Rata-rata dirusak oleh tindak korupsi dan penyalah gunaan wewenang yang ada pada penyandang kata itu. Bisa juga karena ada pihak lain yang sengaja merusaknya. Dan yang parah, banyak pihak akhir-akhir ini dengan sengaja atau tidak telah merusak atau menurunkan nilai pekerjaan yang mestinya dianggap penjaga moral bangsa, yaitu Ulama, Ustadz, Kiyai, Pendeta, Pastur, Pedanda dan yang sejenis. Memang ada nila di sana tapi mereka bukan susu atau air yang gampang kotor dan tercemar.

Intinya adalah bahwa banyak arti dan nilai sebuah profesi jatuh karena terkait dengan yang namanya rupiah atau dollar. Lebih mengherankan bahwa banyak nama-nama besar di segala bidang yang rela jatuh gara-gara memburu uang. Dalam hal ini kata uang telah dinilai sangat tinggi bahkan dinomor satukan dalam kehidupan. Padahal seorang penyanyi remaja, Meja, malu jadi gila karena uang. Lalu kehilangan diri dan kepedulian….

"All 'Bout The Money"
Sometimes I find another world
inside my mind
when I realise
the crazy things we do
It makes me feel ashamed to be alive
It makes me wanna run away and hide

It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum.......
And I don't think It's funny
to see us fade away
It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum...
and I think we got it all wrong anyway

We find strange ways of showing
them how much we really care
when in fact
we just don't seem to care at all
This pretty world
is getting out of hand
So tell me how we fail to understand?
and I think we got it all wrong anyway
Anyway

……………………….








Kamis, 24 November 2016

CERDAS MEMBACA DAN MENULIS


Banyak orang yang mengatakan bahwa puncak dari kecerdasan belajar dan membaca adalah menulis. Logika sederhananya adalah bahwa menulis mengandaikan kebiasaan dan kecerdasan membaca. Menulis adalah hilir dari semua ketrampilan mendengar, menyinak,memperhatikan dan membaca. Dapat juga dikatakan ketrampilan menulis tidak akan didapat jika kita tak cerdas membaca. Sementara membaca bisa berarti membaca buku, membaca alam dan lingkungan, membaca prilaku manusia atau makhluk lainnya, dsb. Dengan cara membaca yang cerdas, kita akan dapatkan simpulan-simpulan, pemikiran, dan aneka asumsi dan hipotesa yang bisa diaplikasikan secara mudah dan praktis dalam bentuk tulisan fiksi ataupun non fiksi. Jadi tindak penulisan tak bisa dipisahkan dari peristiwa pembacaan. Begitu juga sebaliknya, karena yang kita baca selalu adalah tulisan, pada buku atau di semesta alam raya.

Tapi untuk menulis esei sederhana saja banyak orang yang malas atau takut-takut. Takut salah, takut dikritik dan takut tampak bodoh. Padahal realitas apapun di dunia ini tidak ada yang sempurna, maka segala kekhawatiran dan ketakutan itu tidak beralasan. Jika Kita mau belajar dari pengalaman tentang salah, kegagapan dan kegagalan, insya Allah kita akan berkembang dan bertumbuh sebagai manusia yang sanggup memfungsikan segala potensi dan bakat yang kita miliki. Dan pengetahuan tentang bakat dan potensi pribadi tersebut hanya bisa didapat dari mencoba dan berpraktek. Realisasi diri hanya ditemukan dalam realitas kerja.

Salah satu metode membaca cerdas adalah dengan membuat ‘ Mind Mapping’, atau peta mental terlebih dahulu. Membaca mestilah sebuah upaya untuk mengerti dan memahami isi tulisan atau aneka fenomena eksternal dan internal, di dalalm dan di luar diri manusia. Untuk memahami sebuah buku atau novel sederhana adakah mudah, tidak begitu untuk buku dan novel tebal, apalagi yang sangat teknis dan filosofis. Ini membutuhkan keseriusan dan kerja keras.Tapi untuk keperluan menulis kita hanya butuh memberi resume atau ringkasan tentang garis besar buku,lalu melakukan mind mapping. Dengan menaruh tema utama atau ide besar sebuah buku di pusat kesadaran dan akal kita, dan selanjutnya sub-sub tema atau anak-anak pikiran akan dengan mudah diserap dan difahami. Misalnya anda membaca buku tentang ‘ Reformasi Birokrasi’ maka yang pertama yang harus di garis bawahi adalah kata ‘ Reformasi’.

Kita tentu perlu mencari tahu apa itu definisi reformasi hubungannya dengan birokrasi. Secara sepintas semua orang telah tahu apa itu reformasi, dan apa itu birokrasi. Dengan demikian kita bisa membayangkan apa-apa saja yang seharusnya dirubah dan diperbaiki dari sebuah birokrasi. Kata reformasi itu sendiri sudah mengandaikan ada yang tidak beres atau rusak pada tubuh birokrasi. Bisa pada aspek mentalitas pegawai, cara dan budaya kerja, motivasi atau penghargaan pada kerja, sikap dan loyalitas, atau organisasi atau strukturnya yang berbelit-belit, lantas apakah telah terjadi pelayanan yang baik kepada masyarakat, apakah banyak terjadi korupsi dan penyelewenganm dst. Lalu bagaimana solusi dan metode perbaikan dan pembaruan itu dilakukan.

Di sini tidak pada tempatnya untuk membahas tentang apa itu reformasi biroksasi, melainkan hanya sebagai contoh saja untuk sebuah ketrampilan membaca. Jadi dengan memahami betul arti sebuah tema dan ide dasar buku maka akan mudah membayangkan apa yang kemudian akan menjadi detail penulisan. Agar peristiwa membaca itu memberi kita sesuatu, bukan sekedar mendapatkan trasfer lalu menghafal ilmu dan pengetahuan, kita harus berani memberi makna pada segala sesuatu yang kita baca. Jangan terikat pada makna baku dan konteksnya. Harus ada keberanian untuk memberi makna-makna baru dan melakukan kontektualisasi.

Sebuah mobil pada hakekatnya adalah alat tansportasi, itu makna dasarnya. Tapi sebuah mobil juga bisa menjadi berubah maknanya secara kontekstual. Ketika pengacara Hotman Paris Hutapea membeli sebuah mobil Lambhorgini, maka makna mobil di sini bukan lagi sebuah alat transportasi, tapi sebuah simbol status. Konteknya juga sudah tidak sama ketika pengacara kondang itu masih butuh sebuah alat transportasi agar lebih mobil melakukan kerja-kerja advokasinya. Kini pembelian mobil mewah itu sudah pada dataran pencitraan agar gengsinya sebagai pengacara top tetap terjaga bahkan menaik lagi.

Jadi sebuah mobil atau apapun bisa sangat bersifat polisemi atau bermakna banyak tergantung konteksnya. Mobil bisa juga berarti sumber pemenuhan hobby otomotif, bisa berarti sebuah penginapan berjalan, sebuah media investasi, dan pemenuhan rasa aman, untuk melancarkan pergaulan dengan masuk sebuah klub mobil, misalnya klub Moge, dll. Kita juga bisa membuat kontekstualisasi dalam arti membangun sebuah konteks baru pada keberadaan sebuah mobil. Dewasa ini ada sebuah kecendrungan baru di kalangan masyarakat sederhana untuk memprioritaskan membeli mobil katimbang membenahi kediamannya yang agak kumuh mendekati reyot, atau membiayai sekolah anaknya yang putus atau terbengkalai. Dengan mudah orang sekarang bisa punya mobil dengan cara kredit atau beli seconhand. Tapi itu juga takkan semudah yang kita bayangkan, karena angsuran bulanan sebuah kredit mobil juga tidak kecil. Akan tetap saja ada unsur memaksakan diri pada fenomna tersebut.

Daripada mencurigai apalagi menuduh orang-orang sederhana yang punya mobil, lebih baik melakukan kontekstualisasi untuk bahan penulisan kita. Agak keliru untuk mengatakan hal tersebut adalah mode investasi, atau pemenuhan rasa aman. Karena mobil akan sangat menurun harganya apalagi jika dia diperlakukan serampangan hingga sering serempetan dan tabrakan. Orang-orang sederhana juga jarang atau tak pernah melakukan safari ke tempat-tempat berbahaya, sukar dan penuh ancaman dari manusia atau binatang. Paling banter ke taman safari. Jadi dalam konteks apa mobil dibeli kendati bukan prioritas. Sudah kuno jika mengatakan itu akibat faktor ‘demontrasion efek’ , karena itu sudah terjadi sejak dulu kala.

Jangan-jangan di masyarakat telah tumbuh semacam kebiasaan persaingan diam-diam yang dipicu oleh lenyapnya rasa saling percaya dan saling menghargai secara genuine. Orang hanya dipandang jika punya kekayaan dan kekuasaan. Ada kemungkinan timbulnya kebiasaaan jor-joran dan persaingan itu dipicu oleh politisasi dalam masyarakat yang semakin massif. Yang berakibat orang saling berebut pengaruh atau memperkuat eksistensinya di lingkungannya masing-masing. Dan itu bisa diperoelh dengan kepemilikan sebuah mobil. Dalam kaitan ini, kita telah melakukan semacam kontekstualisasi. Dan ini butuh keberanian berpikir dan untuk hadapi kemungkinan dari salah membaca serta salah tafsir.

Nah, dengan modal kecerdasan membaca seperti yang diterangkan di atas, maka secara otomatis kita akan punya kemampuan dan keterampilan menulis tinggal dicoba dan dilatih saja hingga mencapai taraf bagus dan memadai untuk dibaca. Tapi di sini juga dibutuhkan keberanian untuk salah dan melenceng secara kaidah dan bahasa, dan kemauan untuk meluruskannya. Juga ketabahan untuk tegar menghadapi kritikan dan cemoohan. Dengan prinsip ‘ Eveything that I eksperience, when I’m not die, shall make me stronger’, maka pada akhirnya semua bisa kita lewati untuk meraih kemenangan.

Dengan kebiasaan membaca yang benar kita juga akhirnya bisa membuat aneka prosa dan puisi. Bedanya dengan menulis esei adalah bahwa prosa atau puisi lebih menekankan pada unsur ekspresi f atau ungkapan perasaan. seni lebih mengarah kepada pembacaan dan pencatatan kehidupan pribadi atau orang lain. .Ada unsur pengalaman di sana, dari diri sendiri ataupun orang lain. Yang penting diperhatikan jika hendak mengarang prosa atau puisi yang bagus, kita harus mengasah dan memtajamkan rasa, intuisi dan jiwa artisktik. Itu bisa didapat dengan mau lebih mengakrabi diri, alam dan manusia, tetu saja dengan berusaha mengenal Tuhan. Semua seni mensyaratkan kebaikan hati yang peduli dan mudah tersentuh pada segala yang bernama derita dan duka makhkuk ciptaan , dan tentu saja kekaguman, serta rasa cinta yang mendalam pada Sang Pencipta.

Disamping persyaratan kejiwaan yang wajib tersebut, seorang calon cerpenis atau penyair mestilah juga punya keberanian untuk menafsir sebuah tanda lalu memberinya makna-makna baru yang relevan dengan tujuan menulis. Jika hendak menulis puisi tentang cinta misalnya, maka sebuah hembusan angin bisa jadi inspirasi dan media untuk mengungkapkan diri. Tapi hindari ungkapan yang sudah klise dan sangat banal seperti pada syair “ wahai angin nan lalu, sampaikanlah pesanku ini......” disini angin dimaknai hanya sebagai penyampai pesan, atau tanda bagi ‘pak pos’ belaka. Atau dalam syair, “ oh angin, kabar apa yang kau bawa dari dia.....” disini angin dianggap sebagai wartawan saja, penyampai kabar berita.

Bagimana kalau angin kita ibaratkan adalah nafas cinta sang kekasih yang hembusannya sudah pelan dan tak teratur. Yang berarti sudah mulai kekurangan passion dan atau semangat. Dengan begitu kita bisa membuat syair berikut,” Cintamu hembus angin di daun yang merunduk.....” dan andai cerita tentang cinta yang di awalnya begitu menggebu, kemudian mulai memudar perlahan dan itu terbaca jelas dalam hati, maka kita bisa merangkai sepotong puisi tentangnya,” Kini anginmu terkulai dipelukan malam yang hening / Sampai padaku serupa cericit burung balam / Sebuah gumam yang membiaskan tanya / Tentang badai yang hembus di hulu

Sering yang menghambat orang untuk mulai menulis adalah karen a ia bersikap pasif dan tidak berani untuk merumuskan sendiri pikiran dan rasanya secara otentik. Ia lebih banyak bertanya tentang apa itu kehidupan, apa itu kebudayaan , apa definisi negara, apa syarat sebuah cerpen, roman, dan apa itu kiasan, plastis atau asosiasi. Tanpa keberanian untuk memberi makna sendiri pada segala sesuatu, maka kita akan kembali mengutak-atik dan membolak-balik buku untuk mencari apa sejatinya semua itu. Lupakan semua itu, mulailah menulis, dan segala makna-makna itu akan terungkap dan datang sendiri. Kita bisa memberi makna sendiri, atau mencarinya pada waktu proses penulisan sedang berlangsung. Menulis itu sama dengan membangun rumah yang berlangsung bertahap, pelan tapi pasti. Mulai dengan membuat pondasi, lalu menyusun bata demi bata lalu menyemennya. Dan bila mana perlu melakukan perombakan atau revisi-revisi.

Tapi untuk menulis sebuah cerpen atau cerita, kita tidak harus bersikap seperti seorang yang membangun rumah. Yang mulai kerjanya dengan membuat fondasi terlebih dahulu. Agar sebuah cerpen bisa langsung menarik untuk dbaca, kita bisa menggunakan metode yang saya sebut metode ;”Kebakaran”. Bukankah hanya dengan melihat asap yang mmbumbung tinggi dan hitam di kejauhan, hati kita akan tergerak untuk segera tahu apa yang terjadi. Belakangan baru kita akan selidik apa penyebab dan dasar kebakaran itu. Kita bisa mulai dengan kalimat atau dialog yang mengejutkan atau provokatif, misalnya dengan menulis, “ Apa kau sudah mendengan kabar kematian Amir yang aneh dan tak wajar?....” atau bisa juga, “ Banjir tahun ini sungguh kejam, ia telah mengambil semua yang berharga dariku...”

Atau bisa juga dimulai dengan membuat sebuah prelude dengan narasi yang aneh dan menarik. Dalam cerpennya ‘Pesan Calon Penganten Kepada Istri Dan Anaknya”, Arswendo Atmowilito mulai dengan paragraf yang bagus, “ Istri dan juga anak-anaku,kita semua ini ibarat kata sepasang calon penganten. Tinggal menunggu tanggal main, untuk bersanding dalam pelaminan. Saat itulah kita singkap kain rindu, kita tumpahkan segala gairah, kita sajikan menu rindu-cemburu-nafsu tanpa terburu-buru” Atau seperti Kuntowijoyo dalam cerpennya,” Kuda Itu Seperti Manusia Juga”, yang diawali dengan kalimat yang merangsang rasa ingin tahu lebih jauh, “ Huizinga menyebut manusia sebagai Homo Ludens, makhluk yang suka bermain-main. Itu benar, kecuali untuk pak Satari, tetangga sebelah rumah. Ia lebih suka bekerja, sejak muda ia sudah bekerja di sebuah perusahaan. Seluruh waktunya, kecuali tidur dan makan, ialah waktu kerja. Sungguh tidak sekalipun ia memikirkan kesenangan. Saya menyebutnya ia penganut mistik kerja.”

Seorang penulis, pengarang atau seniman yang baik, akan memperhatikan apa yang disebut oleh Edward Billough “ aesthetic state of mind’ atau kesadaran estetis yang terjaga. Sebuah sikap estetik yang begitu gandrung pada nilai seni suatu kejadian dengan tanpa mempertimbankan urusan untung-rugi, kepentingan bahkan keselamatan diri sendiri. Misalnya pada waktu seniman berada di atas kapal yang diserang angin badai di tengah kabut yang tebal. Seniman sejati tidak akan begitu perduli pada suasana ketakutan yang muncul, tapi akan lebih memperhatikan konfigurasi awan atau gelombang yang meninggi,kalau-kalau di sana ada sesuatu yang unik. Indah dan bisa diabadikan.

Selanjutnya seorang seniman sejati hanya akan perduli pada aspek intrinsik seni. Menurutnya seni tidak tergantung pada wadah luaran dari seni itu sendiri. Mutu seorang penyanyi hanya pada suaranya saja, tidak dicampur dengan wajah serta penampilan penyanyi. Dia akan menghargai sebuah lukisan yang bagus kendati dilukis di atas sebuah kertas, kayu, bahkan tembok, tidak harus di atas kanvas dan berfigura indah. Tentu saja sebuah tulisan, puisi, atau cerpen yang bagus tidak ditentukan apakah ia ditulis di sebuah majalah sastra, koran, atau di internet pada blog, FB dan aplikasi lain. Tapi ditentukan oleh seberapa besar dan bermutu isinya, dan seberapa indah bentuknya. Terlebih lagi seeorang seniman tulen tidak butuh pengakuan eksternal, dari para kritikus atau seniman ternama,karena ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri akan keabsahan dan kemurnian karyanya.

Untuk bisa menulis puisi bahkan untuk menjadi penyair seseorang tidak perlu-perlu amat membaca semua karya penyair terkenal atau banyak membaca buku tentang filsafat, budaya, psikologi dll. Kita hanya perlu membaca secara cerdas, dan itu lebih terkait dengan kedalaman katimbang keluasan. Banyak membaca hanya menambah bahan penulisan, serta perbandingan tentang kualitas serta perkembangan sastra. Tapi dengan membaca sebuah puisi secara mendalam dan cermat, itu akan memberi kita potensi dan motivasi yang besar untuk menulis sebuah puisi. Jhon Ciardi dalam eseinya ‘Robert Frost : The Way to the Poem’ yang membahas secara mendalam puisi Frost yang terkenal ‘ Stopping By Woods On A Snowy Evening, mengatakan “ The School System has much to say these days of the virtue of reading widely, and not enough about the virtues of reading less but in depth...”

Ciardi menambahkan bahwa dengan membaca sebuah puisi yang bagus secara cerdas dan cermat, itu akan menjadi persiapan yang bagus untuk lebih mengerti puisi-puisi yang lain. Hanya puisi jualah yang bisa mengilustrasikan bagaimana sebuah puisi bekerja. Dan puisi yang bagus tidak harus dalam bentuk yang kompleks, rumit dan panjang. Tapi seperti puisi Frost yang telah menjadi klasik itu, hanyalah sebuah narasi sederhana, atau sebuah insiden biasa saja, namun telah mensugestikan makna-makna yang bagai tiada habisnya. Di sana,sebuah hal yang spesipik telah menciptkan sebuah dunia makna yang bersifat luas dan universal.

Menyikapi tanya tentag makna sejati puisi Frost itu, dimana Frost sendiri bungkam tentang itu, tak pernah memberi jejak tentangnya, di bagian akhir eseinya Jhon Ciardi menulis, “ ...Finally, in every truly good poem, ‘how does it mea?’ must always be answered Triumphamtly. Whatever the poem is about. How it means is always how genesis mean : the word become a form, and the form become a thing, and when the bcoming is true – the thing become a part of knowledge and experience of the race forever.”
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING

Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound’s the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark and deep,
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.