Peran Husni Jamaluddin disingkat
HJ, dalam proses pembentukan provinsi Sulawesi Barat tidak diragukan lagi. Bahkan
HJ bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti almarhum Baharuddin Lopa, alm
Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat Hasanuddin, Gubernur Anwar Adnan Saleh
dan banyak lagi yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai
pejuang-pejuang Sulbar. Hal ini
merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang panjang dan tak
kenal menyerah.
Mengapa para pejuang dan masyarakat Sulbar begitu mendambakan sebuah
provinsi sendiri. Tentu saja ada berbagai motivasi dan harapan yang
mendasarinya. Namun motif ekonomi, politik dan budayalah yang paling dominan
dalam mengkristalkan kemauan untuk mewujudkan provinsi Sulbar. Ada satu
keinginan tulus dan sungguh yang bersifat kolektif untuk menata sendiri satu pemerintah
daerah provinsi dalam rangka mengejar ketertinggalan dibidang kesejahteraan,
kedewasaan budaya, demokrasi serta emansipasi dibidang sosial-politik.
Akan hal perjuangan kebudayaan yang melatari dan ingin dicapai oleh
masyarakat Sulbar, maka dapat dikatakan bahwa HJ yang lahir di Tinambung tahun
1934 itu, adalah Iconnya. Sebagai lonely fighter, bibit kritisisme dan
progresivitas telah tertanam di jiwa HJ sejak masa belianya. Pada waktu sekolah
menengah atas di Jakarta, HJ telah mengasah kepekaan dan kecendekiaannya
sebagai seorang penyair. Dan bakat kepenyairannya memperoleh landasan kokoh
setelah memenangkan lomba penulisan puisi antar pelajar se-Jakarta Raya dengan
judul puisi, 45-54.
Periode HJ di Jakarta tentu saja tak akan lepas dari pengaruh arus
pemikiran di jamannya. Saat itu, tahun 50-an adalah saat dimana semangat
liberalisme begiti meninggi dibidang politik dan kebudayaan. Di bidang politik
kabinet jatuh bangun dalam hitungan bulan. Terjadi instabilitas, nasionalisme
mengalami cobaan hebat. Nilai-nilai keagamaan dan tradisi yang dimasa
pergerakan bersatu dalam term nasionalisme, pada masa pasca kemerdekaan
mengalami keterpecahan. Mulai muncul isu-isu kedaerahan yang bersilang tukar
dengan semangat fanatisme agama. Dan sebagai klimaks dari perseteruan ideology
berkepanjangan tersebut, adalah langkah rekonsiliasi otoritarianisme Soekarno
yang mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 45 di tahun 1959.
Di bidang kebudayaan generasi tahun 50-an cenderung merayakan pribumisasi
dengan mengukuhkan kepribadian dan kemandirian. Ini adalah antitesis terhadap
prinsip universalisme yang diteriakkan oleh generasi 45, Khairil Anwar dkk” Kami
adalah pewaris kebudayaan dunia ”.
Kecenderungan berkiblat kebarat ini
mendapatkan perlawanan hebat dari generasi atau angkatan tahun 50-an yang mau
lebih realistis dan membumi. Generasi ini lebih condong memposisikan diri
sebagai corong ideologi tertentu. Dengan prinsip seni untuk rakyat, ideolog
aliran ini, Nyoto mengatakan ” Tidak perduli siapapun yang menciptakan hasil
kesenian, yang penting adalah bagaimana mengusahakan supaya rakyat banyak dapat
menikmati hasil-hasil senimannya. Gagasan seni kerakyatan ini kemudian mewujud
dalam Lembaga Kesenian Rakyat ( Lekra ).
Di tengah perseteruan dua kutub, yakni kutub Individualisme vs Kolektivisme
ini, muncul sebuah gagasan besar dan orisinal yang dipelopori oleh Sutarji
Calzoum Bachri dkk, yaitu gerakan kembali keakar tradisi dan agama. Gerakan ini
menentang kecendrungan totolitarian seni dari Lekra dan prinsip seni untuk seni
dari kalangan Humanisme Universal.
Di taman budaya inilah HJ menemukan habitatnya. Tentu saja setelah melalui
pergulatan batin yang intens selama di perantauan. Sebagai seorang muslim yang
taat dan orang Mandar yang rendah hati,
HJ tentu enggan untuk larut dalam idealisme ataupun realisme yang radikal. HJ
tentu tahu persis prinsip jalan tengah Islam dalam segala manifestasinya. pahamnya
ini lalu mengkristal seiring dengan kepulangannya ke Makassar. Di sini HJ mulai memainkan perannya sebagai seniman dan
intelektual yang peka, kritis dan patut diperhitungkan.
Pada periode Makassar tahun 70-an inilah HJ
menemukan bentuk pengucapan diri yang otentik, dengan wawasan ke-Islaman
yang bercorak Perennial disamping corak kedaerahannya, yang dicirikan dengan
persajakan mantera yang penuh pengulangan2
Realisasi diri ini sekaligus adalah oposisi langsung terhadap berhala
modernisme, individualisme dan totolitarianisme seni.
Paham perennial itu tampak pada ketidak gamangannya menulis sajak-sajak
dengan tema-tema Mitology, Budhisme dan Kristiani. Lihat sajak-sajak Bila To Manurung balik ke langit, Budha dan Salib. Namun pada
sajak-sajak tersebut akan dibaluti dengan problem kemanusiaan yang dalam,
seperti dalam sajak Salib ; ” Yesus / kembali ke Golgota / melewati Via
Dolorosa / kepada serdadu Romawi / yang dititipi mahkota duri / Yesus berbisik
/ salibkan aku sekali lagi”.
Memang credo kepenyairan HJ sebagaimana yang dituturkan oleh putri beliau
Dra. Yundini Erwin pada penulis, adalah pemikiran tentang hubungan manusia
–manusia, manusia – Tuhan.
Seperti juga sastra Melayu, sastra Mandar juga besar pengaruh sastra
Tasawwufnya. Dalam karya-karya sufi Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi dan Hamzah
Fansuri, imaji laut dan pantai, matahari dan malam adalah asosiasi perjalanan
hidup manusia menuju Tuhannya. Pada HJ, gaya sufistik itu terdapat dalam sajak
Pantai ; Sebuah pantai tak berlaut / tempatku terdampar / dalam perjalanan ke
matahari / sebuah laut tak berpantai / tempatku berlayar / dalam rindu malam
hari.
Pada periode ini, gejala etnisitas ke- mandaran HJ belum begitu kentara.
Walaupun pada sajak ” Orang tua” dapat ditafsirkan seolah sebuah nubuat
perjalanan batinnya ke Mandar. Dalam sajak itu seperti ada rasa
keterkungkungan yang mencari jalan
pembebasan. Coba simak cuplikannya, ” Orang tua menyekap / anak-anak yang
kurang ajar / didalam kamar / yang pengap.
Sebagai seorang intelektual yang mencintai kebebasan, pikirannya tentu akan
terus berproses mengikuti gerak kehidupan. Intelektualitasnya yang berkesadaran,
kritis dan progressif telah mengantarkannya pada keterlibatan dalam perjuangan
pembentukan provinsi Sulbar yang memperoleh momentum pada pasca reformasi.
Tentu saja bagi HJ alasan keterlibatannya bersifat rasional, bukan berdasar
chauvinisme, xenophobia dan emosional. Boleh jadi alasan HJ itu sama dengan apa
yang sering dikatakan oleh Gubernur Anwar Adnan Saleh, masalah rentang kendali
pemerintahan yang perlu diperpendek dan diefektifkan
Pada periode ini yang saya sebut periode Mandar, HJ telah menjadi
inspirator sekaligus aktivis perjuangan
pembentukan provinsi Sulbar. Disini watak kemandaran HJ telah menyatu dengan
spirit ke Islaman dan kemanusiannya yang
lalu melahirkan ”etos Hijrah”.
Dan setelah bertahun, berwindu menapaki jalan sunyi, merenung, menulis dan
bermimpi tentang ” Eldorado ”, sampai juga ia ke tanah harapannya, dimana
disana segalanya berawal dan berakhir, ketika Tuhan menyapa dan
memanggilnya....
Syafiyullah Pilman
saya suka tulisan-tulisan beliau
BalasHapusya...beliau memang seniman dan budayawan komplit dan handai,,,makasih atas konennya..
BalasHapus