Jumat, 17 Desember 2010

Tokoh dan Budaya

BAHARUDDIN LOPA DAN KEARIFAN LOKAL MANDAR


Rasanya mungkin hanya segelintir orang saja di republik ini yang tak mengenal sosok Baharuddin Lopa. Kiprah dan sepak terjangnya di dunia hukum begitu  fenomenal dan dikenal luas. Lopa membuat banyak pelanggar hukum dan kriminal negara ketakutan pada tindakan dan keberaniannya. Mulai dari penguasa lokal Andi Selle, pengusaha lokal Tony Gozal, sampai pengusaha Nasional Bob Hasan, semua telah merasakan dan mengalami betapa kerasnya palu godam hukum dan keadilan ditangan seorang Baharuddin Lopa.

Walau karier puncaknya sebagai penegak hukun – Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Gus Dur – hanya bertahan sekitar 5 ( bulan ) karena keburu dipanggil sang Khaliq, namun keteladanan, kredibilitas, integritas dan pemikirannya di lapangan hukum dan keadilan akan dikenang melampaui batas-batas waktu.

Membaca Lopa, tak bisa terlepas dari pembacaan pada tradisi dan kearifan lokal Mandar. Suku Mandar kaya dengan warisan tradisi, nilai-nilai dan kearifan yang terdokumentasi di dalam lontara, cerita-cerita rakyat, sastra lisan ( Kalinda’da ), sejarah pemerintahan dan orang – orang besar Mandar ( Mara’dia dan Bangsawan Adat ).

Lopa dan budaya Mandar saling bersimbiosis ; Lopa terinspirasi oleh tradisi dan kearifan lokal Mandar, yang terakhir terevitalisasi dan teraktualisasi oleh Lopa.

Sosok yang mula-mula meletakkan dasar-dasar sistim budaya politik dan hukum yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil di Mandar adalah I Manyambungi alias Todilaling, Raja Balanipa pertama. Mulai memerintah sekitar thn 1440 ( Darwis Hamzah, 1986 ).
  
Todilaling dimata rakyat Balanipa ( Mandar ), adalah penyelamat dari kezaliman dan angkara murka. Todilaling  menyingkirkan dan menghukum semua pmimpin yang kejam dan sewenang-wenang, seperti To Makaka Lerang, To Makaka Titie, To Makaka Loppong dan lain-lain.

Antara lain sikap dan kearifan Todilaling yang diwarisi oleh banyak pemimpin-pemimpin Mandar yang datang kemudian, adalah prinsip dan sabdanya ” Patondosaliwangi baromu, patondotamai barona tau mae’di ”, ( Tempatkan kebutuhanmu pada garis luar, utamakan kebutuhan orang banyak ).

Prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan yang ditanamkan oleh To Dilaling, boleh jadi telah mengilhami Lopa dalam kiprahnya di Pemerintahan dan Masyarakat. Sikap tanpa kompromi dan keberanian Lopa, adalah tipikal Raja-raja Mandar dahulu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Salah satu dari sekian banyak yag telah menginspirasi Lopa, adalah ungkapan ” Ada tammakeana, tamakkeappo” ( Hukum itu tidak beranak dan tidak bercucu ). Beliau menjelaskan bahwa hukum harus diberlakukan sama pada setiap orang. Tidak boleh lantaran orang berpangkat tinggi maka dibebaskan dari tuntutan hukum walaupun ia bersalah. Sebaliknya, jangan karena ia seorang penduduk biasa, maka diperberat hukumannya.

Dalam hukum tatanegara ( Politik dan Pemerintahan ), beliau selalu berpedoman pada adat Lontara di Langgana halaman 18 yang berbunyi ” Kalau terjadi perselisihan dalam soal-soal pemerintahan antara Raja dengan para anggota Dewan Adat, maka penyelesaiannya ditentukan oleh rakyat yang berarti keduanya tunduk pada kehendak Rakyat ” ( Baharuddin Lopa, Pidato Kebudayaan di TIM 1999 ).

Nyatalah pada kita, bahwa beliau dalam setiap kesempatan dan pidatonya selalu mengangkat pesan-pesan dan kearifan dari kebudayaan leluhurnya.

Kalinda’da adalah salah satu bentuk sastra lisan Mandar yang sering dikutip oleh Lopa dalam tulisan-tulisan dan orasinya. Beliau paling suka memilih Kalinda’da yang berisi pesan-pesan agar mau bekerja keras, hemat dan menjaga harga diri ( Siri’ ). Kalinda’da yang berisi anjuran untuk bekerja keras berbunyi” Dipameappai dalle, Diletteangi pai, Andiang dalle, Napole mettiroma ” ( Rezeki itu harus dicari, titiannya harus dibuat, karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong kita ).

Untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia yang kini terpuruk disegala bidang, kita memang harus mencari berbagai altenatif perbaikan, lalu meramunya dengan model-model yang telah ada, baik yang datang dari luar maupun dari masyarakat sendiri.

Adalah seorang ahli teori pembangunan Brazil, Alberto Guerreiroo Ramos yang telah memajukan teori P ( Probability ) sebagai alternative atas teori N ( Normative ) yang berciri konvensional. Asumsi teori N adalah, negara-negara yang sedang berkembang sekarang pastilah secara berangsur – angsur menuju kearah tingkat perkembangan yang telah dicapai oleh negara-negara maju. Teori ini berkonotasi totalitas  dan positivistik. Sebaliknya, teori P tak mau terikat pada model-model empiris yang ada. Harus ada alternative2 dan kemungkinan2 baru dalam rangka pembangunan masyarakat. Pendekatan teori P memungkinkan kita untuk mencari kearifan-kearifan dari budaya sendiri guna mendorong perbaikan masyarakat. Dan itu telah dilakukan oleh negara-negara Naga di Asia Timur dengan menoleh pada kearifan2 yang terkandung dalam budaya, agama dan pilsafat mereka, seperti dalam ajaran-ajaran ; Konfucionisme, Taoisme, Budhisme ( Zen Budhism ) dan Shintoisme ( Mokhtar Naim, 1995 )

Dalam kaitan itulah, eksplorasi Lopa pada kebudayaanny, pantas kita hormati dan teladani. Beliau dengan tak bosan-bosannya berusaha mengangkat dan mengaktualisasikan nilai-nalai dan kearifan2 yang terkandung dalam budaya leluhurnya untuk dipersembahkan bagi perbaikan masyarakat. Beliau sangat meyakini, bahwa hukum yang diturunkan dari nilai-nilai dan kearifan yang hidup dan diyakini rakyat, berptensi untuk dihargai dan ditaati sehingga dapat berperan sebagai ” A Tool of Sosial Control and A Tool Of Social Engineering”.

Jakarta, 22 Juni 2007
Syafiyullah Pilman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar