Musik

 


MUSIK ETNIK

SAYANG – SAYANG

Sayang – sayang adalah genre musik yang paling popular dan sangat digemari oleh sebagian besar orang Mandar, baik yang berdiam di tanah kelahiran maupun yang tersebar di perantauan. Di Jakarta saja dimana warga Mandar rentan terasimilasi, sayang-sayang tak pernah absen dimainkan dalam setiap perhelatan dan perayaan bersama. Hal ini menandakan bahwa sayang-sayang telah menjadi bagian dari kehidupan dan jati diri orang Mandar.

Namun dalam menyanyikan dan mendengar sayang-sayang, kita sering hanya berhenti pada tahap penikmatan dan keterpesonaan oleh effek melodious dan puitis yang ditimbulkannya. Keindahannya paling banter memberi resonansi alam masa lalu dan suasana tertentu pada jiwa. Kita selalu luput menyingkap makna-makna budaya dibalik eksotisnya sayang-sayang.

Sejatinya sayang-sayang adalah musik ” Hibryd ” atau sebuah pakta persilangan budaya bila ditinjau dari bentuknya yang mutakhir. Dalam bentuk aslinya, kita bisa merujuknya pada alat-alat musik etnik Kacapi dan sastra lisan Mandar ( Kalinda’da ) yang dilagukan. Disini, sayang-sayang masih berfungsi sebagai Foklore ( tradisi rakyat ) yang tersebar secara lisan dan milik kolektiv orang Mandar. Belum terjadi prosea individualisasi dan profesionalisasi.

Pertunjukan dan penyajian sayang-sayang masih dimaksudkan untuk memberi pesan-pesan religious dan sosial, sekaligus untuk mengkritisi anomali-anomali budaya dan politik dimasanya. Jadi dalam bentuk aslinya, sayang-sayang adalah bersifat sakral dan sublim. Pada era individualisasilah ia mengalami dan mendapatkan wujudnya yang propan, komersil dan kerap memparodikan teks-teks lama.

Dalam bentuknya yang mutakhir, secara eksplisit dan implisit nyata ada pengaruh budaya Isalam dan barat pada sayang-sayang. Etnisitas yang tersisa barangkali hanya pada aspek cita rasa dan syairnya saja.

Estetika sayang-sayang telah ter Islamkan sejak awal transformasinya. Menurut seorang sarjana besar Islam, Ismail Al Faruki, ada 6 ( enam ) ciri-ciri seni Islam yakni ; Abstraksi, Struktur modular, Kombinasi Suksessif, Pengulangan Dinamisme dan Kerumitan Namun tidak semua ciri-ciri seni Islam tersebut mengejawantah dalam sayang-sayang.

Mungkin yang paling nyata hujamannya pada sayang-sayang adalah aspek Pengulangan. Dalam sayang-sayang pengulangan2 dengan nada itu-itu saja sangat dominan. Motif-motif melodi dalam satu bait akan diulang lagi pada bait berikutnya. Tak ada batasan dalam jumlah bait, tak ada refrain, tak juga bergagah –gagah dengan variasi nada dan chord.

Pengulangan2 yang kadang membosankan itu dari segi nada bukan akibat miskinnya gagasan musikal. Sebaliknya ciri ini merupakan aspek struktural yang diperlukan oleh orang Islam guna menciptakan efek ketakterhinggaan Tuhan sang maha pencipta ( infinite ). Dalam nada-nada yang terkesan monoton itu akan dialiri oleh syair ( Kalinda’da ) yang berbeda-beda tema dan isinya. Disnilah letak uniknya. Menurut seorang ahli, kebanyakan musik etnik berorientasi pada arti kata, kurang abai pada aspek melodi. Yang pasti pengaruh estetika Islam sangat kental pada sayang-sayang. Kalau diuraiakn juga ciri Islamnya yang lain, kita tak cukup halaman untuk membahasnya.

Pengaruh budaya musik barat adalah yang paling kasat mata pada sayang-sayang. Sejak kacapi dikudeta oleh guitar sebagai waditra untuk mengiringi sayang-sayang, maka scala (tangga nada ) pentatonis – scala asli Mandar – digantikan oleh tangga nada diatonis barat. Penggunaan tangga nada diatonis pada sayang-sayang memungkinkan warna musik keroncong mendominasi sayang-sayang dengan cengkok-cengkok dan alur nadanya yang khas. Susunan dimulai dari nada Tonika – Bridge – sub Dominan – tonika – dominan lalau kembali ke tonika lagi.

Gitar adalah waditra produk Barat ( Portugis/ Spanyol ). Mula-mula dibawa dan disebarkan oleh orang-orang Portugis ke pesisir-pesisir nusantara untuk memperkokoh dominasinya dibidang budaya. Namun kapan persisnya masuk ke Mandar belum terungkap secara pasti. Pemamfaatannya untuk mengiringi sayang-sayang adalah dengan penggunaan teknik Los Quin. Kemungkinan besar gaya permainan Los Quin ini dibawa oleh seniman-seniman Mandar yang tinggal di Makassar pada thn 50 an.

Mengenai Islamisasi sayang-sayang, kita bisa merujuknya pada cara dan strategi penyebar- penyebar Islam di Nusantara yang kerap menggunakan seni dalam berdakwah. Di Jawa para Wali berdakwah dengan gamelan dan wayang, lalu memasukkan unsur-unsur Islam kedalamnya. Mantra-mantra diganti dengan do’a. Di Sumatera para penyebar Islam menggunakan syair-syair, tari Zapin dan lain-lain. Di Mandar, sayang-sayang selalu diawali dengan Basmallah. Syairnyapun banyak yang bernuansa Islam( Kalinda’da Isagala ). Namun akhir-akhir ini telah banyak bermuatan syair percintaan yang malu-malu kucing. Hal ini disebabkan oleh komersialisasi yang akut.

Sampai disni kita lihat betapa besar harapan tapi sedikit yang kita yang punya pada sayang-sayang. Kita hanya bermain dipermukaan, tidak didasarnya. Lalu haruskah kita berhenti bersayang-sayang dan larut dalam kesedihan?.

Bersikap sentimentil atas realitas ini tiada berguna dan hanya membuang-buang waktu. Yang terbaik adalah mencoba memperkaya dan memadatkan sayang-sayang pada aspek etnisitasnya. Caranya dengan mengkaryakan alat-alat musik etnik kita yang selama ini terabaikan seperti, Gandrang, Gong, Keke,Jarumbing, Calong dan lain-lain. Dengan kata lain, kita harus melakukan orkestrasi pada sayang-sayang seperti suku Jawa yang telah mengorkestrasi waditra-waditra etniknya menjadi Gamelan. Gamelan yang awalnya hanya beberapa buah genta dan bonang kini menjadi begitu sopisticated dan  menjadi World Music.

Bertahan pada sifat minimalis sayang-sayang yang terdiri dari dua gitar dan satu coke, hanya akan memperpanjang kesedihan karna watak asingnya yang kental. Mari kita tambah porsi etniknya dan sayang-sayang akan menjadi milik dan kebanggaan kita selamanya

Dengan kredo ”Kembali ke Akar ”, kaum negro Amerika telah mengembalikan Jazz ke Afrika. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama, mengembalikan sayang-sayang ke Mandar. Ini adalah perjalanan pulang yang Progressive!.


Jakarta, 29 September 2007

Syafiyullah Pilman