Kamis, 03 Oktober 2013

NA MALAI TONGANG DAMI



Pitu buttu mallindungi
Pitu taqe na ayu
Pura I accur pura I accur
Naola saliliu

Kalidaqdaq di atas adalah refrain dari lagu Namalai tongang dami. Sebuah lagu yang telah menjadi ikon kelembutan hati dan cinta orang Mandar selama puluhan tahun. Melankolianya telah kuakrabi sejak kecil di Mandar, lalu berlanjut jadi penawar rindu pada kampung halaman di rantau orang. Tak ada jumpa dan temu-temu kolektif orang Mandar yang akan sengaja melupakan lagu indah tersebut untuk didendangkan.. Ia tak lagi dapat dipisahkan dari irama dan nada kehidupan orang Mandar di belahan bumi manapun ia berada dan mengada.

Selalu ada suasana, kesan dan pesan baru yang mengalir dari roh lagu tersebut. Itu kalau kita mau menghayatinya secara mendalam. Cinta yang tersirat di sana bukan saja pro pada yang salili dengan kekasih dalam arti pacar, tapi juga memberi peluang bagi hadirnya rasa cinta yang lebih sublim : cinta pada lita’ pembolongang, atau bahkan cinta pada Tuhan.

Nah, pada Tuhanlah kini akan kuarahkan maksud lagu tersebut. Secara tersirat, seperti ada kedalaman rindu pada sang Khalik dari sang hamba yang selalu ingin didekati dengan hasrat yang menggebu, suatu kerinduan untuk pulang ke Tanah asal, alam primordial. Seperti kerinduan suling pada muasalnya di rumpun bambu, jeritan hati gendang yang kangen pada moyangnya yang telah dikuliti, Sapi, demi hadirnya di Masjid-masjid sebagai pemanggil salat dan pada tangan lembut penabuh rebana.

Boleh jadi pencipta kalindaqdaq atau lagu tersebut adalah seorang sufi yang selalu ingin berasyik-masyuk dengan Rabbnya, “ Asyiqna wa asyiqtuhu” seperti kata sebuah hadis \Qudsi. Maka berangkatlah ia seperti burung-burung dalam Mantiq al Tayr-nya Fariduddin Attar ke Gunung Qaf untuk bertemu Simurgh, hakikat diri mereka atau Tuhan yang sejatinya ada di kedalaman diri mereka. Dan harus menjalani tahapan juang yang tak mudah dan penuh cobaan dan godaan.

Attar menggambarkan ada tujuh tahapan atau lembah ( wadi ) yang harus dilalui seorang sufi untuk mencapai tujuan pencariannya. Tujuh lembah harus dilalui untuk mencapai tujuan.Lembah-lembah itu ialah : talab ( keinginan ), isyq (kerinduan), ma’rifah (keinsyafan), istghna’(kepuasan), tauhid (kesadaran penuh akan kesaan), ta’jub dan faqir-fana-baqa.

Di lembah terakhir ini seseorang merasa tak memiliki apa-apa d dunia, sebab semuanya milik Tuhan semata. Ia bagaikan titik air yang kembali ke lubuk lautan yang tenang, dan mengalami penciptaan diri kembali dan rahasia-rahasi penciptaan terungkap. Ia benar-benar kembali ke fitrahnya yang sejati.

Pitu buttu mallindungi, pitu ta’ena ayu, adalah metafora dari tahapan yang harus di lalui menuju Tuhan itu. Dan semua telah hancur luluh diterjang luapan kerinduan dan cinta pada Kekasih ‘’ Purai accur urai accur, naola saliliu”. Bukan main kedalaman, kehalusan dan kepekaan perasaan Salik,yang salili melo’malai, meakareppe dai’di Puang.

Maaf sebelumnya, jika tafsir di atas dianggap melenceng dan berlebihan, terutama dari yang mengaku pencipta kalindaqdaq dan lagu Namalai tongang dami. Tapi ada satu keyakinan bahwa kalindaqdaq yang bagus, dalam dan penuh makna tersebut adalah hasil ciptaan nenek moyang orang Mandar yang telah mencapai tingkat kehalusan budi atau kultur yang tinggi. Dan saya hanya mencoba menyingkap dengan tafsir makna yang mungkin tersirat dalam syair indahnya.

2 komentar:

  1. Kalau Bisa Lagu Mandarnya Diartikan Semua. Dan Salamt Berkreasi

    BalasHapus
  2. terimakasih apresiasinya, mudah-mudahan usulannya bisa dilaksanakan...siap!

    BalasHapus