Minggu, 02 Maret 2014

ICONIC VERSES

Saya mengenal istilah ‘ Immanent Critique’ dari filsuf mashab Frankfurt, Theodor Adorno. Konsep itu mengacu pada metode mengkritik sebuah konsep, teori atau situasi, dengan cara mengevaluasi secara kritis atas istilah-istilah itu sendiri, dan menyoroti kontradiksi yang terkandung di dalamnya. Jadi setiap proposisi. Statemen, atau teori ilmiah sekalipun pasti punya kelemahan, bahkan dapat dibuktikan salah. Dengan pisau Immanent Critique itu maka kita dapat juga menguliti dan melihat bias atau keteledoran seorang orientalis – yang belajar tentang Islam, budaya ketimuran-, William Montogomery Watt.

Watt menulis dalam bukunya “ Fundamentalis dan Modernitas” bahwa Islam telah mengklaim sebagai agama terakhir, dan bahwa ia mengandung- dalam Qur’an dan Sunnah- segala kebenaran moral dan religius yang dibutuhkan seluruh ummat manusia sejak kini hingga akhir jaman. Beliau mempertanyakan finalitas dan univesalisme Islam. Hanya saja dalam tesisnya itu terdapat antagonisme atau kontradiksi antara preposisi dan argumentasinya. Dalam halaman 114 bukunya ia menulis ‘ Tampaknya dalam masalah-masalah penting seperti berikut inilah , rekonstruksi intelektual mendasar dalam pandangan Islam diperlukan. Hal ini kalau Islam mau bersih dari unsur-unsur salah dan keliru dan ingin mendapatkan citra kedudukan Islam yang lebih benar di alam kontemporer ini.

Menurut Watt, Islam mesti menyadari bahwa kebenaran Tuhan tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia dan tidak dapat diungkapkan secara seksama dalam bahasa manusia, statemen-statemen mengenai hal-hal ketuhanan tak lebih sekedar bersifat ‘ evokatif’ dan ‘ ikonik’. Metode kritisime sastra dan sejarah mesti diterima sehingga menghasilkan pemahaman lebih mendalam, bahkan beberapa hal yang tak esensial dan bersifat sekunder dalam kepercayaan tradisional mesti disingkirkan. Tampaknya pandangan ini seperti masuk akal dan meyakinkan, tapi sebenarnya telah mengingkari dasar argumennya sendiri. Kita tak perlu ngotot dan membawa ayat-ayat untuk melawan pandangan yang pseudo arif bijaksanan itu, tapi cukup dengan memamfaatkan argumennya sendiri untuk membuktikan ketidak akuratan dan invalidnya pendapatnya tentang dasar-dasar Islam itu.

Ditempat lain Watt menjelaskan bahwa dalam menafsirkan agama kita harus memakai aspek sekunder bahasa, antara lain dengan bahasa evokatif yang memberi kesan atau menggambarkan sesuatu yang hakekat sebenarnya di luar daya pemahaman manusia. Atau Ikon yang adalah prinsip representasi dwidimensi untuk realitas yang bertridimensi ( seorang manusia). Dengan demikian, ia merupakan sesuatu yang diketahui secara tidak adequate, namun diakui dapat mewakili objek secara memadai. Suatau kata dikatakan bermakna ikonik bila diketahui bahwa ia hanya memberikan kesan atau menggambarkan suatu objek dan tidak mengambarkan secara aduquat.

Sejatinya menurut Islam sendiri, memang Tuhan itu bersifat infinit atau tak terbatas, mutlak pada dirinya, dan nomena ( non persepsi ) bukan sebuah fenomena. Allah menurut Al Qur’an adalah wujud transeden yang ‘ tidak ada pandangan dapat melihat-Nya…Ia berada di atas segala perbandingan ( 6: 103)… tidak ada sesuatu yang seperti dia ( 42:11). Ia berada diluar segala penjelasan apapun, bahkan tidak dapat direpresentasikan melalui penggambaran ( image) antromorfis maupun zoomorfis. Allah adalah yang secara unik dan distingtif tidak dapat dikenai pertanyanan tentang siapa, di mana, kapan dan bagaimana ( bila kayfa ) secara literal maupun metaforis. Yang mungkin hanyalah pernyataan tentang ke- Esaan dan transendensi-Nya. Yang kita kenal dengan Tawhid ( secara literer berarti mengesakan ).

Namun Watt juga menambahkan bahwa penggunaan kata ‘ikonik’ juga dapat diperluas hingga mencakup keterangan-keterangan tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang tersurat dalam kitab-kitab suci yang oleh para sejarawan kritis tidak diakui sebagai keterangan yang memuat fakta-fakta objektif. Ia memberi contoh tentang kunjungan atau ziarah Orang Bijak ke Betlehem yang tersurat dalam Bible dan hadirnya Ibrahim serta Ismail di Mekkah yang tersurat dalam Al Qur’an. Kisah tentang orang bijak atau magi adalah suatu cara untuk mengatakan bahwa kelahiran Yesus adalah penting baik bagi orang-orang Yahudi maupun bagi non-Yahudi ( the Gentiles), sedangkan Ibrahim dihubungkan dengan Mekah dimaksudkan untuk menunjukkan adanya fakta bahwa yang benar, yakni hubungan Islam dengan tradisi Ibrahim. Tambah Watt lagi, bahwa keterangan seperti itu, sekalipun tidak benar secara objektif, mungkin secara ikonik ada benarnya ( kebenaran ikonik, iconic truth ), dan mesti diterima ‘ tanpa bertanya bagaimana’ atau dengan kenaifan yang mapan.

Dengan jalan pikirannya itu, kita bisa mengatakan bahwa untuk apa lagi mengingkari pesan universalisme Islam dan prinsip finalitasnya, atau mencoba membersihkannya dari unsur-unsur yang dianggap salah dan keliru. Sebab sejatinya Al Qur’an bukan untuk tujuan analisis sistematik, bukan pula sebagai reportase maupun historiografi. Sejak awal Al Qur’an adalah naskah sastra atau al natzar al muthlaq ( prosa bebas mutlak ) yang setiap frasa, ayat dan suratnya merupakan satu unit otonom, lengkap dalam dirinya sendiri. Maka ayat “ Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq” ( Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan) dalam surat Al-Alaq bisa dibaca atau dimaknai secara otonom, bisa juga terkait dengan seluruh surat. Bahkan kata Iqra sendiri secara otonom telah menjadi ikon ummat Islam yang menganggap pentingnya membaca ayat kauniayah dan kauliyah Tuhan serta untuk menggiatkan kegiatan membaca agar menjadi ummat yang unggul

So, Mr Watt, everything in Qur’an is iconic verse. For example in a verse “ Wama arsalnaka illa rahmatan lil al alamin “ Our prophet was sent to be the ‘ Mercy’ for entire universe. With that iconic verse, our prophet had made it as a guidance to make all of the Islamic idea became reality. He emancipated the human mind from the bondage of man made gods and dogma. He taught equality of man without discrimination of race, colour or faith. He brought to mankind the message of love, peace and compassion, he stood for the rights of the oppressed. He raised the status of women by giving the right to proverty, matrimonial security and equality before law. He stressed upon the rights of slaves and urged for their freedom. He made the welfare of the poor and incapacitated th responsibility of the community and the state. He condemned all types of tyranny and exploitation of the dowmtrodden in agricultural, commercial and other relationships in the various modes of production.

Above all, Islam ia a religion that stress on rasionality wich lead to a sense of balance and reject excesses. Islam being etermal and final religion, is always revolutionary and always modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar