Senin, 03 Maret 2014

GOYANGAN DANGDUT

Belum lama ini, dalam sebuah acara reuni mahasiswa FKUI angkatan tahun 1971, para alumni yang kini rata-rata telah menjadi professor beken, pengusaha sukses dan jendral, tampak berdangdut ria dalam alunan lagu ‘Sisa-sisa Cintanya H. Ona Sutra yang dilantunkan dokter Sholeh yang juga seorang jendral. Dilanjutkan dengan lagu ‘ Sekuntum Mawar merahnya Elvi Sukaisih oleh Prof. Zubairi Djoerban, seorang ahli penyakit dalam terkemuka Indonesia. Entah apa yang merasuk jiwa mereka pada dangdut dan membuat mereka betah menyanyikan dan meliukkannya. Kalangan elit ini yang juga berlatar budaya priyayi, kok kesemsem sama dangdut. Mereka bukan politikus yang sering memamfaatkan dangdut dan menyanyikannya guna beroleh citra sosok kerakyatan, tapi mereka adalah kaum professional yang boleh dibilang rata-rata alergi dengan kegiatan politik.

Apakah mereka mau dibilang sok nasionalis? dan ingin dianggap pelestari budaya bangsa. Rasanya mereka tahu pasti bahwa dangdut tak pernah dicatat dalam sejarah kebudayaan nasional, kecuali oleh Smithsonian Institut di Amerika. Bukan karena nenek moyang dangdut memang berasal dari India atau Arab, tapi konon karena dangdut oleh para ahli budaya dianggap tak lebih dari sebuah fenomena peradaban yang dalam persfektif Amaury de Reincourt adalah sebuah bagian dari proyek standardisasi gradual massa, serba serupa dalam rasa dan pikir, konformis, dan lebih mengelus instink sosial untuk berkuasa katimbang invidualitas yang berdaya cipta. Tapi mengapa dangdut yang anak dari peradaban industrI itu bisa begitu digemari dan gegap gempita kehadirannya di jagad musik Indonesia dulu dan kini.

Lihat saja di televisi, dangdut begitu dominan dan menggoyang. Selepas magrib, kita akan selalu disuguhi dengan lagu dan goyang dangdut termutakhir, seperti goyang oplosan dengan penyanyi yang silih berganti dan membuat kaum ibu atau remaja sekalipun beroplos ria sambil merem melek. Belum lagi bicara tentang lomba-lomba berdangdut ria yang marak seperti di Indo Siar yang menghimpun putra-putri seluruh Indonesia untuk merayakan dangdut. Di tahun 60 an sampai 80 an kita hanya bisa menikmati lagu dan goyang dangdut setiap hari di tempat-tempat marginal dan agak ‘ mesum’ atau di gerobak dorong yang keliling dan keluar masuk kampung, yang meski dengan peralatan dan sound seadanya dengan penyanyi atau pemain yang berkostum agak kumel, toch mereka dapat juga ngalap berkah saweran dan hysteria pecandunya. Tapi kini dangdut telah eksis di kalangan atas dan mentas di hotel-hotel berbintang atau gedung kesenian bergengsi. Tak sia-sialah perjuangan Haji Rhoma Irama yang katanya telah mengangkat nasib dangdut dari berkubang di comberan ke tingkat yang bergengsi. Klaim ini diucapkan setelah beliau dihari biru oleh Inul yang ngebor di mana-mana.

Walau sejatinya dandutlah yang merealisasikan sang Raja Dangdut Rhoma Irama, bukan sebaliknya, tapi harus diakui beliaulah yang telah merombak rasa dangdut dan kemudian mempopulerkannya di tahun 70 an sampai kini. Bang Rhoma memang dulu yang mentransformasikan dangdut dan memasukkan unsur rock atau hard rock ke dalam dangdut dimana beliau sendiri yang bertugas membending-bending gitar melodinya yang dihubungkan dengan assesori dan effek spt over drive, heavy metal, bahkan distorsion. Dengarlah lagu ‘Santai’ yang bukan saja bernuansa hard rock, tapi juga licknya mirip dengan lagu ‘ Sail awaynya Deep Purple. Atau ‘ Malam Terakhir’ yang mengingatkan kita pada master piecenya Deep Purple. High Way Star. Dengan kebolehan dan temuan barunya itu, maka bang Haji Rhoma berani menantang duel meet group rock raksasa di jamannya, God Bless yang dipimpin Achmad Albar. Pertandingan musik itu tak sempat saya saksikan, tapi konon bang Haji telah mempermalukan bang Achmad Albar yang sejatinya juga berlatar dangdut, adiknya Camelia Malik adalah penyanyi dangdut beken yang telah mementaskan dangdut di Tokio Jepang bersama suaminya. Reynold Panggabean yang juga adalah tukang gebuk drum group pop beken The Mercys.

Mengapa dangdut bisa begitu fenomenal kehadirannya dan punya daya hidup yang panjang. Tak seperti jenis-jenis musik lain yang sudah pada sekarat dan nyaris dilupakan di Indonesia, seperti artrock ala Yes, pungkrock gaya Sex Pistol. Atau Ska yang keregge-reggean. Pastilah karena sifat rendah hati dan merakyat dari dangdut itu sendiri. Dan juga sifat pleksibel dangdut yang adaptif. Dangdut tak sungkan-sungkan bergaul atau bergayutan pada jenis musik lain. Ia bisa nyelip dan menyelinap di tubuh jazz, rock, reggae atau rap. Dangdut bisa di jawain atau dicampusarikan, dikeroncongin atau congdut, bahkan diramu jadi chadut alias chacha dangdut.

Dan terutama dangdut bisa tetap survive dan Berjaya sampai sekarang melewati lorong jaman yang sempit karena judul dan syair-syair lagunya merefleksikan dan mengekspresikan nasib orang kecil dan kalangan bawah, seperti pada syair dan lagu Gelandangan. Gubuk Bambu, Pondok Derita, Termiskin di Dunia, Anggur Merah atau oplosan yang seperti peduli pada nasib para pengoplos minuman yang suka mabuk-mabukan di pinggir jalan. Tapi dangdut sendiri tidak mabuk kemenangan lalu jumawa, justru karena itulah ia berhasil mengatasi semua tantangan dan menjawabnya dengan pas. Dangdut memang musik yang bisa mewakili pernyataan derita, kemiskinan, dan patah hati setiap anak manusia. Dan karenanya ia senantiasa dimaafkan oleh pecandu dan simpartisannya kendati acap dinyanyikan secara nyaris telanjang dan dioplos-oplos.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar