Minggu, 07 Mei 2017

MERAWAT MANDAR


Merawat Mandar juga berarti mempertegas atau meluruskan identitas Mandar. Dan yang berpotensi mengalami kelunturan jati diri itu adalah komunitas Mandar yang ada di perantauan, terutama yang berada di kota-kota besar. Ancaman dan serangan budaya tersebut bukan saja datang lewat udara,secara on line misalnya penetrasi budaya global secara virtual, tapi juga lewat laut dan darat. Pokoknya datang dari semua jurusan dan penjuru angin.

Pada ranah keseharian dan posisi off line, orang Mandar sudah digoda oleh aroma dan rasa kuliner manca dan nasional. Orang Mandar sekarang,terutama yang muda-muda,mana ada lagi yang kesemsem makan ande-ande Mandar. Contoh nyata dan otentik adalah, di rumah tangga orang Mandar,dan tentu saja rumah penulis sendiri. Masaklah bau peapi khas Mandar. Maka ditanggung kuliner enak itu akan awet,paling tidak selama 3 – 4 hari ngendon di kulkas yang bisa sewaktu-waktu disantap lagi. Itu terjadi karena para ibu yang memasak bau peapi dengan porsi semua anggota keluarga ; bapak, ibu, dan anak-anak, akan dicuekin oleh si anak-anak. Mereka ini lebih memilih makan siang di mall yang penuh aneka makanan dari berbagai suku dan bangsa di dunia. Atau jika toch makan di rumah akan memasak sendiri spaghettinya yang di beli di mall juga.

Belum lagi bicara urusan busana, lagu, syair, dan tradisi-tradisi Mandar lain, yang notabene hadir dari kejauhan dan jarang-jarang. Orang Mandar getol menyanyikan lagu-lagu daerah Mandar hanya pada menjelang dan sesudah suatu perhelatan adat dan agama tertentu. Jika di Jakarta pada musim Halal bil halal misalnya. Makanya ketika Ikatan Wanita Sulawesi Barat kemaren tanggal 6 mei mengadakan perhelatan budaya Mandar di Anjungan Sulbar TMII, di hati penulis timbul rasa optimis sekaligus pesimisme juga.

Optimisnya karena agaknya komunitas Mandar yang ada di Jakarta belum melupakan kampung halaman dan budaya leluhurnya. Serasa ada cinta, semangat pelestarian dan penegasan budaya di sana,walau kadang tanpa dibarengi konsepsi pemilihan dan tampilan budaya yang mantap dan terencana. Pesimisnya karena khawatir kegiatan positive tersebut hanya sebatas letupan api belaka bak kembang api yang cepat meredup dan menghilang dalam waktu yang lama. Atau hanya sekedar pemberitahuan bahwa kami ada sebagai organisasi kemandaran dan kewanitaan. Atau semacam upaya mencicil hutanglah.

Tapi satu yang pasti gong mulai berbunyi, dan peristiwa tersebut telah di hadiri oleh Ali Bal Masdar, gubernur baru Sulbar yang dikenal sangat cinta budaya Mandar, maka rasa optmisme akan keberlanjutan prosesi budaya Mandar melintas waktu agaknya lebih besar sedikit. Ada sejenis keyakinan akan kebangkitan budaya Mandar dengan perubahan iklim politik di Mandar. Selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar