Jumat, 10 Februari 2017

SEMIOTIKA DEBAT PILKADA SULBAR


Debat antar paslon gubernur Sulbar di Metro TV Kamis 9 Februari lalu bisa dikatakan sebagai suatu peragaan atau prosesi antar tanda yang nyata. Atau sebuah ranah pagelaran semiotika yang komplit untuk dibaca dan dimaknai secara konotatif maupun denotatif. Berdasar pada teori semiotika Roland Barthes, apa pun bisa jadi jadi tanda. Segala sesuatu atau entitas bisa jadi pertanda dan petanda,signifier atau signified. Di sana ada bahasa,wacana, gertur,mimik,ekspresi atau kesan yang bicara pada kita. Atau dibalik semua tampilan sosok-sosok calon pemimpin tersebut ada makna yang bisa jadi rujukan kita untuk menilai, mengevaluasi, mengomentari atau memberi putusan.

Namun dari sekian banyak bahasa atau tanda yang tampil, kita bisa mengkategorikan bahwa secara tanpa sengaja semua paslon telah mengikuti alur-alur atau frame semiotika struktural dan post-strukturalims. Dalam sikap dan ungkapan, paslon nomor urut 1 dan 2 adalah sttukturalis sedang paslon no urut 3 cenderung menampilkan elemen semiotika post-strukturalis. Dengan kata lain, paslon no 1 dan 2 dalam berpandangan atau berdebat bersifap konvensional dan normatif. Hanya paslon nomor urut 3, cagub dan cawagubnya yang lebih berani keluar dari struktur-sturktur berpikir yang lazim dan mainstream. Tapi semua paslon telah berusaha untuk taat mengikuti struktur berbahasa Indonesia yang benar.sementara sikap dan kostumnya tampak mengikuti etika serta norma-norma berbusana adat Mandar atau nasional.

Pasangan no 3, dalam berbusana juga seperti kecendrungan nomor urut 2. secara structural tak bisa lepas dari frame partai besar pengusung mereka, di sana ada warna menyala, merah dan kuning. Adapun dalam soal mimik wajah dan gestur tubuh para paslon, hanya paslon nomor dua yang tidak menunjukkan suatu rasa percaya dan keyakinan diri yang besar dan meluap untuk memenangkan pilkada. Atau bisa juga dibaca sebagai pertanda senioritas yang melekat pada paslon tersebut, sehingga bisa lebih menahan diri.

Terkait isue-isue dasar pembangunan dan pengembangan daerah, semua jelas mengikuti alur pemikiran strukturalis dan normatif belaka. Hanya pada masalah-masalaah yang lebih bersifat lanjutan, terlihat nyata ada perbedaan cara pandang, dan justru disinilah yang menarik,karena telah menunjukkan visi, sikap politik dan wawasan global para paslon. Di sini saya tak berpretensi untuk menilai mana diantara sikap, konsep dan pandangan yang benar atau tepat, tapi hanya akan berbicara tentang jaringan makna semiotika yang muncul dari isue-isue yang dimaksud.

Ketika paslon nomor satu bertanya pada paslon nomor tiga tentang masalah politik dinasti, maka terbaca adanya warna struktur pemikiran demokrasi di sana. Bahwa dalam sebuah negara republik dan demokratis,sejokyanya tak boleh ada politik dinasti seperti yang terdapat dalam struktur negara monarki atau kerajaan. Tapi jawaban paslon nomor tiga yang mencengangkan menurut saya, adalah lebih bersifat post-struktural, atau post-modernism.Walau jawaban paslon tiga singkat, tapi padat dengan serbuan makna yang berciri konotatof katimbang denotatif yang menghadirkan intertekstualitas. Secara tidak langsung paslon tersebut telah menafikan sekaligus membenarkan eksistensi politik dinasti dengan berbicara mengenai aturan tentangnya. Sejatinyaa banyak yang menyesali eksisnya politik dinasti, tapi sayang di sayang, pemerintah atau yang berwenang belum memberi acuan dan aturan yang tegas tentangnya. Cara berpikir paslon nomor urut 3 itu sepertinya telah mewakili atau mencermikan cara berpikir yang cenderung post-strukturalis dari “rising generation” bangsa kita, yang lebih memandang segala sesuatu secara polisemi atau multi makna. Yang maunya selalu berhipersemiotika dalam berbagai ungkapan dan tampilan, melampaui segala sturktur, code, atau prinsip-prinsip mapan. Lebih suka bersepakat untuk tak sepakat,serta lebih menilai tinggi disensus katimbang konsensus.

Begitu juga dalam urusan terorisme dan radikalisme. Paslon nomor 1 dan 2 cenderung ingin melakukan pendekatan keamanan dalam mengatasinya dan pagi-pagi sudah mengecamnya.. Sementara paslon nomor 3 lebih menyorot kepada masalah keadilan dan pendekatan dialog terhadapnya. Sejatinya semua pendekatan balk dan bisa dicoba, dalam hal ini semuanya benar. Namun secara semiotika atau pembacaan pada tanda-tanda, saya melihat ada sesuatu yang baru atau kemajuan berpikir dari paslon nomor urut tiga. bravo

2 komentar:

  1. From the moment I began reading, your words carried me away to a world of wonder and enlightenment. The impeccable flow of your prose and the eloquence with which you express your ideas left me in awe. Your writing style is both engaging and thought-provoking, making it a pleasure to indulge in every paragraph. Read more... https://cynochat.com/read-blog/74521_the-ultimate-toy-storage-solution-pillow-covers-for-stuffed-animals.html

    BalasHapus
  2. Whether you’re looking for a cuddly companion, a loyal family pet, or a four-legged partner for various activities, Bernedoodle for Sale is an excellent choice. Their appealing appearance, friendly behavior, and exceptional training abilities make them a sought-after breed among dog enthusiasts. Read more... https://strugglejouney.com/what-to-explore-in-bernedoodle-for-sale-appearance-behavior-training-ability/

    BalasHapus