Rabu, 02 April 2014

SASTRA DAN KELAPARAN



Mengherankan juga Jean Paul Sartre, seorang filsuf, cendekiawan, dan sastrawan tingkat dunia pernah membuat pertanyaan “ Apa yang dapat dilakukan kesusastraan bagi kaum kelaparan?” Seolah-olah ia begitu perduli pada nasib manusia yang miskin dan kelaparan di mana-mana. Tapi apa yang dipertanyakan tak seiring dengan apa yang digeluti. Sebab sejauh yang saya tahu, mbahnya filsafat eksistensialis itu lebih banyak menghabiskan usianya untuk mempersoalkan nasib manusia yang dibelenggu oleh determinisme-determinisme sosial atau episteme-teologikal, yang menghambat aktualisasi pribadi manusia, kebebasan dan kelancaran eksitensinya yang ditakdirkan untuk mencari esensinya sendiri. Sampai-sampai ia pernah mengatakan,” Others is Hell “. Pokoknya Sartre adalah seorang pemuja kebebasan yang absolute. Namun kita akan mafhum jika mengingant sifat ambigu rata-rata para intelektual, seperti yang dinyatakan oleh kekasih Sastre sendiri, Simone de Beauvoir dalam bukunya, The Ethics of Ambiguity. Di situ Simone berkata “ Titik awal bagi etika adalah pengakuan atas ambiguitas, yaitu pengakuan atas cara-cara yang melibatkan subjektivitas dan objektivitas dalam situasi saat membuat pilihan etis dan penilaian.”

Atau mungkin pertanyaan itu muncul pada saat Sartre masih dalam pesona pikiran-pikiran pemuka ‘ sang perut’, Karl Marx. Sartre memang pernah mengatakan bahwa “ filsafat materialisme Karl Marx sukar untuk ditandingi.” Tapi dalam banyak cerita pendek dan sandiwaranya, Sartre konstan membicarakan suasana psikologis individu dalam penjara sosial. Dalam cerpen Dinding misalnya, Sartre dengan lancar dan bagus melukiskan suasana batin manusia di dalam sel sempit yang segera akan menghadapi hukuman mati. Dari lima cerpen yang ada pada buku “ Le Mur” atau Dinding, tak satupun bicara tentang kelaparan atau kesusahan hidup, kecuali kompleksitas kejiwaan manusia yang sukar diukur kedalaman dan asal muasalnya, lebih banyak menonjolkan prilaku absurd kalangan menengah yang manifestasinya kadang menghentak dan tak terduga maksud-maksudnya. Malahan dalam cerpen ‘ Masa Kanak-kanak Sang Direktur’, ia terbang ke alam pikiran Yunani dengan mengikuti jalan pikiran Sophocles yang telah mendramatisasi dan menciptakan Oedipus Kompleks. Seorang anak dalam ketidak sadarannya, telah memusuhi ayahnya dan ingin memiliki ibunya bagi dirinya sendiri.

Sartre yang menyindir takdir sastra yang dianggapnya seolah hanya buah permainan imaginasi yang mengawang-awang dan tak bakal punya efek sosial, sebenarnya sedang merawat dan membesarkan sastra itu sendiri. Ada paradok yang muncul dari tubuh sastra. Bila sastra banyak bercerita tentang kelaparan, mengandung program pengentasan kemiskinan dan solusi kongkrit di dalamnya, ia justru membuat pembaca yang kritis dan berwawasan menjadi ragu pada sublimitas dan keluhuran sastra. Seperti penganut humanisme universal yang mencurigai efek katarsis sastra revulusioner ala Lekra atau sastra arahan Stalin di Rusia Komunis dulu. Namun jika sastra lahir dari spontanitas dan desakan hati yang murni dan imaginative, kerja kreatif itu justru akan punya pengaruh sosial yang dalam dan luas disamping nilai estetis dan literernya yang unggul.

Jadi sastra di dalam kebebasannya, bisa menjadi pendorong dan penyemangat sosial yang ampuh, justru ketika ia tak bicara apa-apa tentang kelaparan secara khusus, melainkan mengangkat tema-tema kemanusian yang universal dan abadi. Sastra Indonesia tak kurang juga membahas dan bercerita tentang kelaparan dan keterpurukan sosial manusia, tapi manakah yang telah punya pengaruh langsung ke masyarakat atau telah membuat Suharto atau SBY dan penguasa lainnya untuk menggelontorkan program pengentasan kemiskinan?. Rendra yang dulu rajin membela kaum marginal dan sering membuat sajak-sajak perlawanan dan bersimpati pada rakyat miskin, malahan ditangkap oleh rejim Suharto, karena dianggap mengganggu stabilitas dan tak memberi inspirasi apa-apa. Tapi satu saja larik puisi seorang penyair Wales yang pemabokan dan tentu cuek secara sosial , Dylan Thomas yang berbunyi “ Hands has no tears to flow, telah mampu mendorong dan mempengaruhi seorang presiden negara adi kuasa, Jimmi Carter untuk melancarkan gerakan ‘ hak asasi ‘ sedunia, termasuk hak untuk bebas dari kemiskinan dan kelaparan.

Sastra juga sangat tergantung pada millieu dan kepekaan hati nurani pembaca, masyarakat, penguasa atau pemimpin untuk menangkap serat-serat halus yang menempel pada tubuh sastra, berupa teks diam-diam tapi berisi serta bermakna. Sastra yang masabodo, bukan berarti bodoh dan tak tahu apa-apa, dan sastra yang sok pintar dan vulgar, boleh jadi impoten secara sosial serta mudah dilupakan karena sombongnya, sastra seperti manusia yang punya nafas dan geliat kehidupan sendiri, pasca ditetaskan oleh induknya, sang sastrawan. Pada pase ini, sastra harus bebas secara spiritual, bebas melenggang, agar bisa bekerja secara maksimal bagi kemanusian. Untuk itu sastra butuh pembaca dan interpretan yang bisa menyeleksi dan mencuatkan unsur-unsurnya yang berguna dari balutan bajunya yang kadang berwarna hitam pekat atau terang menyilaukan.

Jadi sebuah sastra eksistensialis sekalipun yang bermain di pulau-pulau kecil dan kebun pribadi, asalkan mengusung nasib dan persoalan kemanusian yang abadi dan universal, di alami orang sepanjang dunia ada, melangkah dalam jarak evolusi tak revolusioner, tetap harus diapresiasi, dibaca dan disebarluaskan, karena justru lebih memberi efek kebaikan semesta. Seburam apapun karya Sartre, Martin Heideger, Soren Kierkegaard atau Iwan Simatupang dan Sitor Situmorang di Indonesia, tetap harus dihargai dan dibahas. Tak usah bersikap seperti Sidney Hook, filsuf Amerika yang heran melihat eksistensialis dipelajari dan diminati di Indonesia, lalu merekomendasikan filsafat pragmatis yang katanya lebih kompatibel dengan alam pikiran, kebudayaan, politik dan masyarakat Indonesia. (lihat buku Percakapan Dengan Sidney Hook ). Justru pragmatisme yang banyak dianut para politisi dan penguasa dewasa ini, telah membuat bangsa ini terpuruk secara multi dimensional. Pragmatisme adalah filsafat yang ngoyo pada nilai guna dan nilai tukar, serta stuck pada mangkus dan sangkilnya kekuasan, politik dan ekonomi. Pokoknya segalanya, termasuk sastra, harus serba efisien, efisien dan efisien. Lalu dimanakah “ manusia?”.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar