Senin, 07 April 2014

PENDIDIKAN POLITIK


PENDIDIKAN POLITIK

Barangkali selama sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia, belum pernah ‘ Partai Golput’ menang telak seperti kemenangannya di pemilu tahun 2009. Kala itu pemenang pemilu kalah jauh perolehan suaranya dibanding partai golput ; partai pemenag dapat 21,65 juta suara, partai golput mendulang hampir 50 juta suara. Apakah pemilu besok partai golput akan menang lagi? Belum tentu, karena suara para pemilih mengambang ( swing voters ) yang menurut penelitian berjumlah kira-kira 90 persen akan bergerak bak pendulum ke dua kutub berlawanan, yakni memilih partai idaman baru sekaligus menghukum partai idola lama yang telah mengecewakannya. Atau memilih tinggal di rumah atau tak pergi mencoblos besok di TPS.

Fenomena kian bertambahnya golput dari pemilu ke pemilu tidak akan terjadi manakala semua stakeholder politik memperhatikan golden rule Todilaling raja Balanipa pertama, “ tempatkan kepentinganmu di garis luar dan tempatkan kepentingan orang banyak di garis dalam.” ( patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di ) memang sejatinnya, renggangnya hubungan partai politik dengan rakyat disebabkan oleh egoisme dan narsisisme para pengurus partai dan calegnya, mereka sibuk dengan diri sendiri. Pendidikan politik tidak dilaksanakan sejak dini. Mestinya sejak anak-anak, warga negara sudah diajari dan dikenalkan pada segala ihwal politik. diberitahu tentang politik yang sejatinya aktivitas yang suci ( Sabam Sirait ), bukan entitas yang kotor tapi media untuk memperjuangkan sesuatu yang ideal bagi masyarakat. Di ajak mengikuti kampanye atau melihat day to day politik, bukan melarangnya, dan mempelajari banyak hal di sana. Dengan begitu mereka akan tersosialisasi secara intens dan menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi yang sejati. Kalau tidak dididik dan didampingi sejak dini tentang politik, maka mereka akan karam dalam anggapan bahwa politik itu jelek, keras serta curang, karena membaca di koran-koran dan melihat di televisi anarkisme politik dan para politisi yang ketangkap basah menilep uang negara lalu masuk bui. Akibatnya waktu masuk remaja, mereka akan menjadi swing voters atau massa mengambang yang di hatinya mengandung benih-benih apatisme, sinisme bahkan anomi dan alienasi politik.

David Easton dan Dennis menguratakan empat tahap dalam sosialisasi politik anak, diantaranya adalah pengenalan institusi-institusi politik yang impersonal, seperti Kongres, Makamah Agung, dan pemungutan suara ( pemilihan umum ), perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini, sehingga gambaran yang diidealisir mengenai pribadi-pribadi khusus seperti presiden atau seorang anggota kongres ( DPR dan DPRD ) telah dialihkan kepada kepresiden dan kongres ( The Child’s Acquisition of Regime Norms ; Politik Efficacy )

Akibat gagalnya sosialisasi dan pendidikan politik partai-partai, adalah semakin berkurangnya juga para ‘ Party Id’ yakni orang-orang yang mengidentifikasi dirinya dengan partai tertentu. Semakin berkurang pemilih yang berprinsip ‘ pejah gesang nderek partai A atau partai B, atau ‘Wright or wrong is my Party’. Sebab utamanya adalah tak adanya korespondensi antara nilai-nilai personal dengan ideologi atau program pencapaian yang diusung partai. Seorang penganut agama panatik misalnya, bingung memilih untuk mengikuti garis partai-partai agama sekarang. Tak ada kejelasan, tak ada ketegasan dan konsistensi dalam platform issue dan sikap partai, sehingga tak ada titik referensi bagi pemilih untuk mengindentikkan dirinya dengan partai agama yang ada.

Sementara para pencinta nilai-nilai sekularisme, telah melihat betapa partai-partai sekuler telah mengambil bentuk idiolatry khas partai keagamaaan. Dalam teori mereka sekuler, tapi pada prakteknya bersifat ‘ teokratis’. Para pemimpin di dewa-dewakan, dan ideology serigid agama, dan dianggap susah untuk membuat perubahan sebagai bagian inheren dari suatu proses pemilu. Pokoknya partai tak lagi dilihat sebagai medIa untuk mengaggregasikan dan mengartikulasikan kepentingan dan cita-cita mereka.

Tapi apapun yang telah terjadi, kita hanya berharap semoga apa yang telah diteorikan oleh Hannah Arendt bisa menjadi kenyataan. Arendt adalah sorang teoritisi dari awalan politik baru dan pendirian politik baru. “ Manusia tidak dilahirkan untuk sekedar mati, tetapi untukmemulai. Meski tindakan politik dapat memiliki awalan pasti, ia tidak pernah bisa memiliki akhir yang bisa diprediksi.upaya untuk mengendalikan atau memprediksi selalu dikalahkanoleh sifat alami tindakan politik, tidak ada yang terjadi lebih sering daripada yang benar-benar tak terduga.” ( Hannah Arendt, Patricia Owens).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar