Minggu, 05 Desember 2010

Seni Budaya Mandar di Rantau

SENI BUDYA MANDAR DI RANTAU


Suatu fakta yang menggembirakan adalah, bahwa orang-orang Mandar di perantauan khususnya di Jakarta masih setia menggauli dan cinta pada budaya leluhurnya. Ini terlihat jelas pada waktu-waktu perayaan hari-hari besar nasionl dan keagamaan, dimana biasanya akan ada saja penampilan group kesenian maupun perseorangan yang mengusung Ayangang ( lagu-lagu ) mandar, Kalinda’da, Sayang-sayang dll.

Bagi orang Mandar, baik yang lahir, besar dan baru di Jakarta, hambar rasanya bila dalam acara2 perayaan bersama dan perhelatan2 tak ada orang yang ma’ Ayangang, makkalinda’da dan massayang-sayang. Bahkan bisa dibilang pada moment-moment tersebut semua orang Mandar tiba-tiba jadi Seniman dan larut dalam histeria kemandaran. Disini, segala batas-batas yang dikonstruksi manusia jadi cair dan kehilangat relevansi. Tak ada lagi Mandar Mamuju, Mandar Majene Mandar Balanipa dan Mandar Mamasa. Hilang sekat-sekat kelas dan sosial, menyatu dalam ikatan kultural yang sama.

Namun apakah integrasi kultural emosional tersebut telah juga dikuti  integrasi sosial yang otentik? Rasanya jauh panggang dari api. Bahkan yang namanya solidaritas kemandaran saja sudah semakin menipis. Kalau ia mewujud, paling hanya sebagai kosmetik dan basa-basi belaka.

Bukan salah bunda mengandung jika hal tersebut kini terjadi. Semua akibat tuntutan dan skala kehidupan yang kian meluas sekaligus mendera dan menghimpit. Di thn 70 an, orang-orang Mandar masih saling mencari antar sesama saudara, teman sekampung. Saat itu kalau tak bersama luluare-luluare, hidup rasanya hampa dan terasing di tengah riuh dan hingar bingarnya Kota Jakarta ; Yang tinggal di Grogol akan selalu datang ke saudara atau temannya di Tanjung Priok ; Yang di Senen ke Cililitan dst. Kini orang-orang Mandar sepertinya saling menghindar dan menjauh bukan saja secara pisik, tapi juga dalam hati. Nantilah pada moment-moment tertentu, barulah ada saling kontak dan berkomunikasi, itupun dalam rangka pragmatisme belaka.
Kalau ada kebersamaan, maka itu berdasar pada hubungan clan dan kelas sosial,. misalnya pada kelompok2 arisan. Disinipun sering kali hanya jadi ajang unjuk status dengan pameran Handphone, busana atau mobil baru. Yang tak mau dan sanggup unjuk gigi perlahan- lahan undur diri. Budaya konsumerisme jelas mengemuka di sini. Jarang sekali muncul percakapan intelektual yang serius ; dalam arti percakapan berkisar pada masalah dan pemecahan masalah sosial. Paling banter yang muncul gossip-gossip politik atau tentang kande-kande dan ande-ande Mandar

Jadi terjadi kesenjangan antara nilai-nilai budaya yang tersirat dan tersurat dalam senibudaya dengan kehidupan sosial orang Mandar, prilaku ideal dengan prilaku real. Sejauh ini kesenian belum memberi effek pencerahan ke hati orang Manda. Padahal sebagian besar seni budaya Mandar dicipta dan tercipta untuk memberi nasehat dan panduan kehiduapan. Sebagai contoh; lagu Passurungi Salili, jelas mengandung nilai persatuan dan solidaritas. Banyak lagu Sayang-sayang yang bersyair Kalinda’da mengandung nilai-niali agama dan sosial.


Menurut D. H. Lawrence, ” The essential function of art is moral, not aesthetic, not decorative, not pastime and recreation, but moral ”. Yang dimaksud di sini adalah moral dalam arti passion yang mentrasformasikan jiwa dan pikiran. Jadi melihat realitas yang terjadi pada orang Mandar di Jakarta, dapat disimpulkan, kesenian belum berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengarah kepada kesalehan sosial..

Nah, pada keadaan inilah KKMSB ( Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat ) seharusnya berperan sebagai fasilitator untuk merumuskan kembali politik dan strategi budaya khususnya kesenian agar dapat berfungsi sebagai media pencerahan, perubahan dan pendewasaan. Untuk sebuah kesenian yang mencerahkan, tak perlu mewah dan mahal, Asal saja ia mengekspresikan dan merepleksikan nilai masyakatnya walau sederhana dan seadanya, akan lebih baik bagi Mandar kedepan.

Menipisnya nilai-nilai kemandaran dikalangan orang mandar, terutama pada kalangan TO Mawuweng hendaknya jangan dipelihara dan diwariskan ke generasi muda. Caranya, adalah dengan memberi kesempatan pada mereka untuk lebih berperan aktif dalam setiap aktivitas seni budaya. Dengan begitu akan terjadi proses sosialisasi nilai-nilai secara langsung.dan enjoy tanpa merasa terbebani ketimbang lewat ceramah-ceramah, buku-buku atau sbagai pelaku pasif kebudayaan. Tentu saja untuk itu, perlu dikaji dan disajikan seni budaya yang secara implisit maupun eksplisit mengekspresikan nilai-nilai budaya Mandar yang positiv. Sebab sering terjadi apa yang diberikan pada generasi muda hanya bentuk-bentuk seni hiburan belaka, yang tidak mengarah pada pencerahan jiwa dan penghayatan nilai-nilai. Dengan kata lain itu kalau ada, hanya aspek Estetikanya saja yang ditonjolkan.Belum sampai pada seni yang dapat menimbulkan kesadaran moral dan penghayatan ke-Tuhanan. Preskripsi ini wajar, karna menurut Kiskegard, seorang filsuf eksistensialis theistis, bahwa tahap perkembangan jiwa manusia mulai dari tahap Estetis ke Etis hingga ketahapan penghayatan ke-Tuhanan.

Penting juga dicermati, bahwa permasalahan budaya bagi generasi muda adalah, mereka terancam dan rentan terasimilasi kedalam budaya kosmopolit ibukota dimana mereka akan masuk ke dalam rimba nilai-nilai yang tak berujung pangkal dan pasti, yang pada gilirannya mencerabut mereka dari nilai –nilai budaya nenek moyang. Dan jika ini terjadi, akan sangat berat mengembalikan mereka kepusaran nilai kemandaran. Bahkan mereka akan memandang rendah segala yang berbau Mandar. Maka kita perlu memasuki wilayah permasahan ini secara arif.

Menyuguhkan pada mereka bentuk-bentuk seni tradisi asli tanpa memahami ideom-ideom folklorik perkotaan mereka, riskan dan problematik, sebab justru akan membuat mereka kaget dan bingung dan malah akan membuat mereka tambah terasing dari budaya nenek moyangnya. Alih-alih mau menyanyikan lagu-lagu mandar atau Mattu’du, mereka akan semakin tenggelam dalam kehidupan enjoy dan santai yang distimulir oleh kepiawaian mereka nge-Rap, nge-Renbi, nge-Disco dan seterusnya. Mereka adalah generasi digital yang telah dimanjakan oleh kemudahan-kemudahan serta kesenangan2 instan lewat media-media Komimfo seperti ; Telivisi, Internet, Facebook,twitter dan Hang Up secara langsung di Cafe-cafe. Tidak mudah untuk mengembalikan mereka pada kebiasaan2 dan harapan2 orang tua-tua. Satu-satunnya jalan yang mungkin bisa ditempuh adalah dengan beradaptasi pada cara hidup mereka dan buakan sebaliknya. Mengajak mereka untuk menyanyi dan menarikan  mandar harus sabar dan pelan-pelan. perlu juga mengemas tampilan seni yang lebih kena kehati mereka, misalnya dengan mengaransir lagu-lagu Mandar yang lebih  ngetrend dan futuristik untuk dinyanyikan mereka.Ini adalah bagian dari strategi budaya dan Entry point bagi kepulangan The Lost Generation. Tabe






Jakarta, Senin, 25 Oktober 2010
17 Dzulqaidah 1431 H

Penulis : Syafiyullah Pilman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar