Senin, 13 Desember 2010

Budaya mandar yang progressive


Tentu ada yang bertanya, dimana progresivitasnya budaya mandar?.,Sebab Kebanyakan dari kita akan selalu mengasosiasikan Mandar dengan tari Pattu’du yang lemah gemulai,tenang atau mala’bi, walau ditengah hentakan dan pukulan gendang yang gemuruh dan bertalu-talu. Ditambah lagi bila kita melihat sikap pakkacaping yang selalu tenang tentram dan terkesan pasif. Pergi dan temuilah orang Mandar, maka seketika anda akan mendapat kesan lembut bagai angin kata2 mereka,dengan kecendrungan Plegmatis atau menarik dan menutup diri dari relasi dan percakapan terlalu jauh

Namun sering apa yang tampak lahir belumlah bisa dijadikan entry untuk mengetahui apa yang terkandung dilubuk hati manusia ( mentalitas atau budaya ). Dan hal ini terjadi pada orang Mandar. Dibalik apa yang digambarkan diatas tentang orang Mandar, sebenarnya tersimpan jejak-jejak budayanya yang progressiv dan dinamis.
Sudut pandang ini didukung oleh kenyataan bahwa orang mandar adalah bangsa pelaut yang berani mengarungi lautan untuk pergi kenegri-negri dan tempat-tempat jauh untuk mencari ikan atau menetap di sana. Hal ini telah terjadi berabad-abad dan tentu telah membentuk kepribadian orang mandar dengan sifat-sifat berani, tabah, aktiv dan dinamis.

Ketika hampir semua kerajaan atau pusat-pusat kekuasaan nusantara di masa  lalu mempraktekkan sistim kekuasaan absolut, despot dan otoriter, di Mandar, Todilaling ( Mara’dia pertama Balanipa ) telah mempraktekkan Demokrasi,hal ini dibuktikan dengan ucapannya yang terkenal “ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di’ ( Tempatkan kepentinganmu disebelah luar dan kepentingan orang banyak disebelah dalam ). Dan sikap demokratis ini tentu saja telah jadi Role Model bagi raja2 dan rakyat Mandar sepeninggalnya.

Ketika perempuan ditempat2 lain di Nusantara masih terbelenggu oleh budaya Patriarki yang ketat, dimana wanita hanya dijadikan pasangan hidup dengan peran domestik yang terbatas, di Mandar wanita telah setara dengan laki-laki baik dilingkungan rumah maupun diwilayah publik. Jika nelayan (Laki-laki ) telah sampai dipantai dari mencari ikan, maka selesailah tugasnya. Selanjutnya adalah tugas sang istri apakah akan memasak ikan, mengeringkan atau menjualnya ke pasar. Disini jelas ada pembagian tugas yang setara dan emansipatif ( Sibaliparri )

Ciri progresivitas budaya Mandar juga terlihat pada design sarung sutra mandar  ( lipa’ sa’be ). Tadinya penulis beranggapan bahwa design dan motif2 kain Mandar dipengaruhi Estetika Islam, yang cendrung pada garis-garis linear vertikal dan horisontal dengan prinsip denaturisasi atau menghidari penggambaran alam dan machluk hidup. Namun akhinya berasumsi bahwa design sarung Mandar dipengaruhi oleh estetika seni modern ( modern art ) karna adanya penonjolan bahan ( sutra ) yang dihindari dengan sangat oleh seni Islam. Ciri modern art seperti gaya Plastis ( meruang ), linear dengan garis2 horisontal dan vertikalisasi, ada pada design sarung mandar. Estetika mesin yang dingin dan lugas serta warna2 dasar menonjol pada sarung Mandar.Ciri modern art juga terlihat pada design perahu Sande dengan bentuk stremline dan aerodinamis. Ini adalah cara untuk mempercepat laju perahu Sande dengan modus mengurangi hambatan angin.Tentu saja disamping tafsir ini, ada juga tafsir lain tentang estetika Lipa' Sa'be dan Sande.

Dari pakta tsb diatas dapat dikatakan bahwa selain kandungan tradisinya yang kental, budaya mandar juga dalam aspek-aspek tertentu bersifat Progressive. Kedua entitas ini selalu sejalan seiring melandasi dan mewarnai perjalanan peradaban dan kebudayaan Mandar. 

JAKARTA, 14 DESEMBER 2010

SYAFIYULLAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar