Kamis, 02 Juli 2015

ANUGERAH TERBESAR

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ( al-Baqarah ayat 218 )

Saking semangatnya kita beribadah sebagai wujud kecintaan dan penghambaan kita kepada Allah, kita sering melakoninya secara berlebihan sehingga segala amalan sunnah dirasa menjadi wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Apalagi jika yang sunnah-sunnah itu terkait dengan kemungkinan mendapat rezki dan kebaikan duniawi, misalnya salat dhuha, atau salat hajat, dimana mushalli bisa memohonkan hajatnya kepada Allah agar dibukakn pintu-pintu rezeki atau hajatnya terlasana, misalnya agar cepat nikah. Padahal dalam salat wajib itu sendiri terdapat moment-moment yang mustajabah, seperti pada sujud akhir, usai membaca bacaannya. Dan pada duduk antara dua sujud yang selalu kita diulang-ulang dalam shalat, terdapat rentetan doa agar diampuni , disayang, diangkat derajat, ditinggikan, diberi rezeki, diberi hidayah, diberi kesehatan serta maaf oleh Allah.

Sejatinya tak ada yang salah dengan hasrat memperbanyak salat-salat sunnah. Hanya saja ditakutkan niatnya jadi melenceng menjadi sekedar riya misalnya. Atau lebih mementingkannya katimbang salat wajib. Banyak muslim atau anak muda ogah-ogahan salat lima waktu, atau salatnya bolong-bolong, tapi di bulan puasa rajin banget pergi teraweh. Tak ada malam yang tak dilewatkan teraweh, karena pujaan hati rajin teraweh, atau rumahnya dekat masjid atau mushalla. Banyak juga yang siang tak salat, malamnya pergi teraweh karena di masjid banyak sarana cuci mata. Amalan kebaikan yang melonjak tiba-tiba dan mencolok mata ini, tak sejalan dengan sabda Rasul yang berbunyi, “ Amal perbuatan yang lebih dicintai Allah ialah kekalnya, meskipun sedikit “ ( H.R. Muttafaq Alaih).

Perbuatan baik meskipun sedikit tapi dipraktekkan secara Istiqomah, lebih baik dari banyak melakukan amalan pada suatu ketika, namun tidak kontinyu. Salat sunnah rawatib saja yang dilakukan setiah hari tapi berkesinambungan, lebih baik dari pada sehari melakukan semua salat sunnah seperti salat syukur wudhu, tahiyatul masjid, rawatib, salah dhuha, tahajjud, hajat, atau witir. Namun pada hari-hari esok berluruhan satu demi satu ke alam gaib lias sirna. 1 x 10 jelas lebih baik dari 10 x 1.

Kadang terlampau mencurigai setiap air yang dipakai untuk berwudhu, dan selalu was-was akan kenajisannyanya. Bahkan ada yang begitu berhati-hati bertakbiratul ihram. Ketika merasa kurang afdhol, diulanginya lagi, kadang beberapa kali sehingga terganggu penghayatannya pada al-Faatiha. Mereka lupa yang utama untuk menghadirkan hati ketika shalat. Ketika membaca Faatihah dan surat-surat lain, diusahakan keras setiap huruf sesuai dengan makhrajnya, tasydid selalu jadi pikran tentang ketepatannya, lantas lupa yang lainnya. Lupa menghayati rahasia-rahasia bacaan al-Fatihah. Padahal tidak semua orang dipaksa untuk membaca al-Qur’an sesuai dengan makharijul huruf. Bukan berarti kita mengabaikan pentingnya ilmu tajwid yang hukumnya adalah fardu ain bila membaca Al Qur’an, tapi kan tak semua muslim punya kesempatan belajar tajwid, dan yang belajar telah khatam ilmu tajwid, sehingga luput dari salah ucap. Dalam hal ini Tuhan berfirman dalam Al Baqarah ayat 286 “ Allah tiada membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” Mungkin mereka sanggup mengkhatamkan Qur’an satu juz dalam semalam, tapi kadang disertai juga dengan ingatan pada dunia yang kental . Kalau bisa selama bulan puasa selesai 30 juz, dengan mengabaikan keharusan untuk merenungi makna-makna sejati al-Qur’an sebagai hudan atau furqan, pembeda antara yang hak dan yang batil. Mereka hanya memperhatikan keindahan Qur’n dari segi irama dan ucapan, bukan keindahan maknanya.

Dalam berpuasa, ada yang bahkan ingin berpuasa selama setahun, dengan menyaput semua puasa pada hari-hari yang dimuliakan. Namun tak hendak meninggalkan kebiasaan berghibah, dan ber riya ria. Hatinya selalu dengki atau hasad, sehingga amal-amalnya yang lain secara cepat dan pasti habis terbakar, bak jerami yang terbakar.Tak memelihara perut dari barang haram ketika berbuka dan dari segara yang berlebihan. Mereka itu mengira akan menjadi kaum yang selamat, padahal yang selamat nantinya adalah yang datang pada Allah dengan hati berserah, gembira dan cinta. Lebih lengkap tentang orang-orang yang berlebihan dalam beribadah ini baca karangan Imam Al-Ghazali ‘ Al-Kasyf wa al-Tabyin fi Ghurur al –Khalq Ajmain’ atau Manusia yang tertipu.

Ibnu Athaillah pernah berkata,” Permohonan orang-orang arif, yang diharapkan dari Allah adalah agar mendapat kekuatan dalam kesungguhan beribadah dan menunaikan hak-hak Allah ( yang menjadi kewajiban baginya).” Jadi seharusnya yang menjadi komitment kita dalam beribadah adalah mengutamakan ibadah atau amalan-amalan yang wajib dan diberi kesungguhan untuk itu, dengan melupakan hak-hak seorang hamba. Cinta atau mahabbah kepada Allah adalah dasar ibadah, tapi berlebihan manifestasinya hingga terkesan begitu ngoyo beroleh ganjaran sorga, bisa malah menjerumuskan kita ketempat sebaliknya, neraka.

Sebagai hamba, hendaknya kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar terbebas dari penyakit dan sifat-sifat yang kurang bersih, seperti memimpikan kesenangan sorga dan kenikmatan dunia belaka. Kita hendakny selalu bermohon diberi petunjuk dan pertolongan Allah dalam kesungguhan beribadah, hingga itu akan memberi kebahagiaan. “ Sebaik-baik harapan yang anda inginkan dari Allah, adalah terlaksannya apa yang diwajibkan Allah kepada anda,” begitu kata Syech Ibnu Athaillah. Ungkapan Syech ini sejatinya resonansi dari sabda Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana yang dinukil Al Ghazali,” Tidak ada perbuatan yang lebih utama untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT kecuali melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka,”

Sesungguhnya tak ada imbalan yang paling berharga dan mulia bagi seorang ahli ibadah, melebihi ridha Allah. Jika seorang hamba telah mendapat ridha dari Tuhan yang disembahnya, maka kenikmatan yang diperoleh dari-Nya melebihi kenikmatan sorga itu sendiri. Keridhaan Allah Swt kepada seorang hamba, itulah “Anugerah Terbesar”. Wallahu ‘alam bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar