Budaya

Seni Budaya Mandar di Rantau

SENI BUDYA MANDAR DI RANTAU

Tokoh dan Budaya

BAHARUDDIN LOPA DAN KEARIFAN LOKAL MANDAR


Rasanya mungkin hanya segelintir orang saja di republik ini yang tak mengenal sosok Baharuddin Lopa. Kiprah dan sepak terjangnya di dunia hukum begitu  fenomenal dan dikenal luas. Lopa membuat banyak pelanggar hukum dan kriminal negara ketakutan pada tindakan dan keberaniannya. Mulai dari penguasa lokal Andi Selle, pengusaha lokal Tony Gozal, sampai pengusaha Nasional Bob Hasan, semua telah merasakan dan mengalami betapa kerasnya palu godam hukum dan keadilan ditangan seorang Baharuddin Lopa.

Walau karier puncaknya sebagai penegak hukun – Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Gus Dur – hanya bertahan sekitar 5 ( bulan ) karena keburu dipanggil sang Khaliq, namun keteladanan, kredibilitas, integritas dan pemikirannya di lapangan hukum dan keadilan akan dikenang melampaui batas-batas waktu.

Membaca Lopa, tak bisa terlepas dari pembacaan pada tradisi dan kearifan lokal Mandar. Suku Mandar kaya dengan warisan tradisi, nilai-nilai dan kearifan yang terdokumentasi di dalam lontara, cerita-cerita rakyat, sastra lisan ( Kalinda’da ), sejarah pemerintahan dan orang – orang besar Mandar ( Mara’dia dan Bangsawan Adat ).

Lopa dan budaya Mandar saling bersimbiosis ; Lopa terinspirasi oleh tradisi dan kearifan lokal Mandar, yang terakhir terevitalisasi dan teraktualisasi oleh Lopa.

Sosok yang mula-mula meletakkan dasar-dasar sistim budaya politik dan hukum yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil di Mandar adalah I Manyambungi alias Todilaling, Raja Balanipa pertama. Mulai memerintah sekitar thn 1440 ( Darwis Hamzah, 1986 ).
  
Todilaling dimata rakyat Balanipa ( Mandar ), adalah penyelamat dari kezaliman dan angkara murka. Todilaling  menyingkirkan dan menghukum semua pmimpin yang kejam dan sewenang-wenang, seperti To Makaka Lerang, To Makaka Titie, To Makaka Loppong dan lain-lain.

Antara lain sikap dan kearifan Todilaling yang diwarisi oleh banyak pemimpin-pemimpin Mandar yang datang kemudian, adalah prinsip dan sabdanya ” Patondosaliwangi baromu, patondotamai barona tau mae’di ”, ( Tempatkan kebutuhanmu pada garis luar, utamakan kebutuhan orang banyak ).

Prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan yang ditanamkan oleh To Dilaling, boleh jadi telah mengilhami Lopa dalam kiprahnya di Pemerintahan dan Masyarakat. Sikap tanpa kompromi dan keberanian Lopa, adalah tipikal Raja-raja Mandar dahulu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Salah satu dari sekian banyak yag telah menginspirasi Lopa, adalah ungkapan ” Ada tammakeana, tamakkeappo” ( Hukum itu tidak beranak dan tidak bercucu ). Beliau menjelaskan bahwa hukum harus diberlakukan sama pada setiap orang. Tidak boleh lantaran orang berpangkat tinggi maka dibebaskan dari tuntutan hukum walaupun ia bersalah. Sebaliknya, jangan karena ia seorang penduduk biasa, maka diperberat hukumannya.

Dalam hukum tatanegara ( Politik dan Pemerintahan ), beliau selalu berpedoman pada adat Lontara di Langgana halaman 18 yang berbunyi ” Kalau terjadi perselisihan dalam soal-soal pemerintahan antara Raja dengan para anggota Dewan Adat, maka penyelesaiannya ditentukan oleh rakyat yang berarti keduanya tunduk pada kehendak Rakyat ” ( Baharuddin Lopa, Pidato Kebudayaan di TIM 1999 ).

Nyatalah pada kita, bahwa beliau dalam setiap kesempatan dan pidatonya selalu mengangkat pesan-pesan dan kearifan dari kebudayaan leluhurnya.

Kalinda’da adalah salah satu bentuk sastra lisan Mandar yang sering dikutip oleh Lopa dalam tulisan-tulisan dan orasinya. Beliau paling suka memilih Kalinda’da yang berisi pesan-pesan agar mau bekerja keras, hemat dan menjaga harga diri ( Siri’ ). Kalinda’da yang berisi anjuran untuk bekerja keras berbunyi” Dipameappai dalle, Diletteangi pai, Andiang dalle, Napole mettiroma ” ( Rezeki itu harus dicari, titiannya harus dibuat, karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong kita ).

Untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia yang kini terpuruk disegala bidang, kita memang harus mencari berbagai altenatif perbaikan, lalu meramunya dengan model-model yang telah ada, baik yang datang dari luar maupun dari masyarakat sendiri.

Adalah seorang ahli teori pembangunan Brazil, Alberto Guerreiroo Ramos yang telah memajukan teori P ( Probability ) sebagai alternative atas teori N ( Normative ) yang berciri konvensional. Asumsi teori N adalah, negara-negara yang sedang berkembang sekarang pastilah secara berangsur – angsur menuju kearah tingkat perkembangan yang telah dicapai oleh negara-negara maju. Teori ini berkonotasi totalitas  dan positivistik. Sebaliknya, teori P tak mau terikat pada model-model empiris yang ada. Harus ada alternative2 dan kemungkinan2 baru dalam rangka pembangunan masyarakat. Pendekatan teori P memungkinkan kita untuk mencari kearifan-kearifan dari budaya sendiri guna mendorong perbaikan masyarakat. Dan itu telah dilakukan oleh negara-negara Naga di Asia Timur dengan menoleh pada kearifan2 yang terkandung dalam budaya, agama dan pilsafat mereka, seperti dalam ajaran-ajaran ; Konfucionisme, Taoisme, Budhisme ( Zen Budhism ) dan Shintoisme ( Mokhtar Naim, 1995 )

Dalam kaitan itulah, eksplorasi Lopa pada kebudayaanny, pantas kita hormati dan teladani. Beliau dengan tak bosan-bosannya berusaha mengangkat dan mengaktualisasikan nilai-nalai dan kearifan2 yang terkandung dalam budaya leluhurnya untuk dipersembahkan bagi perbaikan masyarakat. Beliau sangat meyakini, bahwa hukum yang diturunkan dari nilai-nilai dan kearifan yang hidup dan diyakini rakyat, berptensi untuk dihargai dan ditaati sehingga dapat berperan sebagai ” A Tool of Sosial Control and A Tool Of Social Engineering”.

Jakarta, 22 Juni 2007
Syafiyullah Pilman


0 komentar:


Poskan Komentar


Posting Lama

Suatu fakta yang menggembirakan adalah, bahwa orang-orang Mandar di perantauan khususnya di Jakarta masih setia menggauli dan cinta pada budaya leluhurnya. Ini terlihat jelas pada waktu-waktu perayaan hari-hari besar nasionl dan keagamaan, dimana biasanya akan ada saja penampilan group kesenian maupun perseorangan yang mengusung Ayangang ( lagu-lagu ) mandar, Kalinda’da, Sayang-sayang dll.

Bagi orang Mandar, baik yang lahir, besar dan baru di Jakarta, hambar rasanya bila dalam acara2 perayaan bersama dan perhelatan2 tak ada orang yang ma’ Ayangang, makkalinda’da dan massayang-sayang. Bahkan bisa dibilang pada moment-moment tersebut semua orang Mandar tiba-tiba jadi Seniman dan larut dalam histeria kemandaran. Disini, segala batas-batas yang dikonstruksi manusia jadi cair dan kehilangat relevansi. Tak ada lagi Mandar Mamuju, Mandar Majene Mandar Balanipa dan Mandar Mamasa. Hilang sekat-sekat kelas dan sosial, menyatu dalam ikatan kultural yang sama.

Namun apakah integrasi kultural emosional tersebut telah juga dikuti  integrasi sosial yang otentik? Rasanya jauh panggang dari api. Bahkan yang namanya solidaritas kemandaran saja sudah semakin menipis. Kalau ia mewujud, paling hanya sebagai kosmetik dan basa-basi belaka.

Bukan salah bunda mengandung jika hal tersebut kini terjadi. Semua akibat tuntutan dan skala kehidupan yang kian meluas sekaligus mendera dan menghimpit. Di thn 70 an, orang-orang Mandar masih saling mencari antar sesama saudara, teman sekampung. Saat itu kalau tak bersama luluare-luluare, hidup rasanya hampa dan terasing di tengah riuh dan hingar bingarnya Kota Jakarta ; Yang tinggal di Grogol akan selalu datang ke saudara atau temannya di Tanjung Priok ; Yang di Senen ke Cililitan dst. Kini orang-orang Mandar sepertinya saling menghindar dan menjauh bukan saja secara pisik, tapi juga dalam hati. Nantilah pada moment-moment tertentu, barulah ada saling kontak dan berkomunikasi, itupun dalam rangka pragmatisme belaka.
Kalau ada kebersamaan, maka itu berdasar pada hubungan clan dan kelas sosial,. misalnya pada kelompok2 arisan. Disinipun sering kali hanya jadi ajang unjuk status dengan pameran Handphone, busana atau mobil baru. Yang tak mau dan sanggup unjuk gigi perlahan- lahan undur diri. Budaya konsumerisme jelas mengemuka di sini. Jarang sekali muncul percakapan intelektual yang serius ; dalam arti percakapan berkisar pada masalah dan pemecahan masalah sosial. Paling banter yang muncul gossip-gossip politik atau tentang kande-kande dan ande-ande Mandar

Jadi terjadi kesenjangan antara nilai-nilai budaya yang tersirat dan tersurat dalam senibudaya dengan kehidupan sosial orang Mandar, prilaku ideal dengan prilaku real. Sejauh ini kesenian belum memberi effek pencerahan ke hati orang Manda. Padahal sebagian besar seni budaya Mandar dicipta dan tercipta untuk memberi nasehat dan panduan kehiduapan. Sebagai contoh; lagu Passurungi Salili, jelas mengandung nilai persatuan dan solidaritas. Banyak lagu Sayang-sayang yang bersyair Kalinda’da mengandung nilai-niali agama dan sosial.


Menurut D. H. Lawrence, ” The essential function of art is moral, not aesthetic, not decorative, not pastime and recreation, but moral ”. Yang dimaksud di sini adalah moral dalam arti passion yang mentrasformasikan jiwa dan pikiran. Jadi melihat realitas yang terjadi pada orang Mandar di Jakarta, dapat disimpulkan, kesenian belum berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengarah kepada kesalehan sosial..

Nah, pada keadaan inilah KKMSB ( Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat ) seharusnya berperan sebagai fasilitator untuk merumuskan kembali politik dan strategi budaya khususnya kesenian agar dapat berfungsi sebagai media pencerahan, perubahan dan pendewasaan. Untuk sebuah kesenian yang mencerahkan, tak perlu mewah dan mahal, Asal saja ia mengekspresikan dan merepleksikan nilai masyakatnya walau sederhana dan seadanya, akan lebih baik bagi Mandar kedepan.

Menipisnya nilai-nilai kemandaran dikalangan orang mandar, terutama pada kalangan TO Mawuweng hendaknya jangan dipelihara dan diwariskan ke generasi muda. Caranya, adalah dengan memberi kesempatan pada mereka untuk lebih berperan aktif dalam setiap aktivitas seni budaya. Dengan begitu akan terjadi proses sosialisasi nilai-nilai secara langsung.dan enjoy tanpa merasa terbebani ketimbang lewat ceramah-ceramah, buku-buku atau sbagai pelaku pasif kebudayaan. Tentu saja untuk itu, perlu dikaji dan disajikan seni budaya yang secara implisit maupun eksplisit mengekspresikan nilai-nilai budaya Mandar yang positiv. Sebab sering terjadi apa yang diberikan pada generasi muda hanya bentuk-bentuk seni hiburan belaka, yang tidak mengarah pada pencerahan jiwa dan penghayatan nilai-nilai. Dengan kata lain itu kalau ada, hanya aspek Estetikanya saja yang ditonjolkan.Belum sampai pada seni yang dapat menimbulkan kesadaran moral dan penghayatan ke-Tuhanan. Preskripsi ini wajar, karna menurut Kiskegard, seorang filsuf eksistensialis theistis, bahwa tahap perkembangan jiwa manusia mulai dari tahap Estetis ke Etis hingga ketahapan penghayatan ke-Tuhanan.

Penting juga dicermati, bahwa permasalahan budaya bagi generasi muda adalah, mereka terancam dan rentan terasimilasi kedalam budaya kosmopolit ibukota dimana mereka akan masuk ke dalam rimba nilai-nilai yang tak berujung pangkal dan pasti, yang pada gilirannya mencerabut mereka dari nilai –nilai budaya nenek moyang. Dan jika ini terjadi, akan sangat berat mengembalikan mereka kepusaran nilai kemandaran. Bahkan mereka akan memandang rendah segala yang berbau Mandar. Maka kita perlu memasuki wilayah permasahan ini secara arif.

Menyuguhkan pada mereka bentuk-bentuk seni tradisi asli tanpa memahami ideom-ideom folklorik perkotaan mereka, riskan dan problematik, sebab justru akan membuat mereka kaget dan bingung dan malah akan membuat mereka tambah terasing dari budaya nenek moyangnya. Alih-alih mau menyanyikan lagu-lagu mandar atau Mattu’du, mereka akan semakin tenggelam dalam kehidupan enjoy dan santai yang distimulir oleh kepiawaian mereka nge-Rap, nge-Renbi, nge-Disco dan seterusnya. Mereka adalah generasi digital yang telah dimanjakan oleh kemudahan-kemudahan serta kesenangan2 instan lewat media-media Komimfo seperti ; Telivisi, Internet, Facebook,twitter dan Hang Up secara langsung di Cafe-cafe. Tidak mudah untuk mengembalikan mereka pada kebiasaan2 dan harapan2 orang tua-tua. Satu-satunnya jalan yang mungkin bisa ditempuh adalah dengan beradaptasi pada cara hidup mereka dan buakan sebaliknya. Mengajak mereka untuk menyanyi dan menarikan  mandar harus sabar dan pelan-pelan. perlu juga mengemas tampilan seni yang lebih kena kehati mereka, misalnya dengan mengaransir lagu-lagu Mandar yang lebih  ngetrend dan futuristik untuk dinyanyikan mereka.Ini adalah bagian dari strategi budaya dan Entry point bagi kepulangan The Lost Generation. Tabe






Jakarta, Senin, 25 Oktober 2010
17 Dzulqaidah 1431 H

Penulis : Syafiyullah Pilman

0 komentar:


Poskan Komentar


Posting Lebih Baru

MUDIK ATAU RETREAT ( SEBUAH PERSPEKTIF )

MUDIK


Mudik bagi ummat Islam, berarti orang kota pulang berlebaran ke desa menemui orang tua dan kerabat. Atau pulang ketempat yang asal ( primordial ) dan kembali ’Fitri’. Mudik adalah prosesi menjalani tradisi untuk melengkapkan rangkaian ritual peribadatan Puasa di bulan Ramadhan.

Namun dalam pengertian umum, mudik sejatinya adalah nyanyian kemanusiaan sepanjang jaman dan bersifat universal. Dimanapun atau kapanpun Kota kehilangan watak dasarnya sebagai tempat persemaian peradaban dengan sifat2 ramah, manusiawi dan perduli, maka secara serentak orang akan ramai-ramai meninggalkan kota, baik secara fisik maupun batin.

Tapi kota, terutama yang metropolis, senatiasa akan mempunyai watak-watak yang asing bagi jiwa manusia. Ironisnya sifat asing itu kebanyakan lahir dari kerja dan otak manusia sendiri, berupa mesin-mesin organisasi2 rigid, kaku dan overdirected. Ciptaan manusia inilah yang justru mengasingkan manusia dari kesejatiannya, bahkan manusia telah diperalat oleh ciptaanya sendiri.

Mesin-mesin telah melimpahi manusia lautan materi, kenikmatan dan kenyamanan, namun pada akhitnya megap-megap kepayahan didalamnya. Keberadaan mesin2 dan pabrik adalah symbol kekalahan manusia dari anak kandung peradabannya. Mesin telah menjadi kekuatan dominan saat ini. Dominasi mesin (technologi) ini, telah digambarkan secara ekstrim oleh Lewis Munford ”With no goals but it’s on ceaseless expansions and implation has broken down the continueties of history”.

Dalam dunia mesin dan organisasi itulah manusia merasa asing dan termekanisasi lalu kehilangan kebebasan dan kreativitasnya. Disaat manusia kehilangan diri dan terancam di kota, maka fenomena mudik (Retreat) pun merebak dimana-mana. Hanya saja sikap manusia dalam memaknai fenomena mudik berbeda-beda. Ada yang beranggapan mudik atau retreat adalah cara abadi untuk melepaskan diri dari jerat modernisme akut. Tak mungkin lagl ada rekonsiliasi antara kehidupan natural di desa atau alam dengan kehidupan yang kompleks di kota.

Pandangan serba negatif terhadap kota ini akan melahirkan sikap2 Escapisme. Ekspresi penentangan terhadap landscape urban industrial begitu refulsif. Bagi meraka kota adalah keburukan, kebisingan, udara yang terkontaminasi, disorganisasi sosial,inkoherensi dan ketidakberdayaan individu.

Sikap escapisme, biasanya akan berimplikasi sosial dan politik seperti munculnya paham2 ekstrim bernuansa lingkungan dan keagamaan spt paham agama semu dan aliran sesat.

Namun kebanyakn pelaku mudik dalam arti luas (retreat) akan mengalami tiga tingkat kesadaran yang selalu berulang-ulang, retreat, tinggal di desa (alam) lalu balik ke kota. Hanya sedikit orang yang benar-benar memutus hubungannya secara total dengan kota.

Pertama, mudik atau retreat dimulai dengan keinginan menjauh dari masyarakat yang begitu kompleks dan terorganisasi secara ketat, dimana ia merasa terasing. Hidup seperti didominasi dan ditekan oleh sistim nilai-nilai yang mekanistik,rutinitas yang menjemukan dan ketidak jelasan makna dan tujuan hidup. Ketidak mampuan menghubungkan pengalaman batin dengan lingkungan kota inilah yang menimbulkan hasrat untuk pulang ke desa atau alam.

Kedua, manusia mulai mengeksplorasi kemungkinan cara hidup yang simpel dan penuh harmoni di desa. Selama episode ini, yang seorang ahli menyebutnya ” Moment Of Spiritual Exaltasion”, manusia menikmati perasaan damai, tenang tentram, bebas dari kecemasan, kecemasan dan komplik. Akan tetapi disini manusia juga merasakan ketidak mungkinan hidup diluar batas-batas masyarakat normal.

Pada tahap ini manusia merasakan ancaman keterbatasan alam dan desa dalam menopang kehidupannya. Keterpencilan dan ketakberdayaan mulai mengganggunya. Pengalaman spritual di alam bebas dan pengalaman psikis di desa justru menimbulkan ketakutan baru. Manusia segera menyadari bahwa penyembuhan yang membuta dari peradaban bisa menghancurkan. Kini ada dua kekuatan yang menjadi musuhnya; ekses buruk peradaban dan kehidupan alam yang liar dan anarkis.

Kedua insight tsb membawanya ketahap ke tiga atau fase terakhir tindakannya. Setelah menemukan keterbatasan2 dan masalah selama retreatnya, manusia memutuskan kembali ke kota atau kemasyarakat.

Di kota, manusia kembali manjalani kehidupan biasa dan normal dengan segala kewajiban dan tanggung jawab, betapapun tidak sempurnanya. Manusia harus menerima konsekwensi2 kekotaan dan berusaha merenovasi ”kekitaan” yang pecah oleh turbulensi modernisme. Dengan menerima kenyataan dirinya hanya insan biasa dan lemah, lalu kemudian berusaha menyempurnakan kemanusiaannya, ia akan terhindar dari kecendrungan nihilisme dan absurditas.

Para pemudik lebaran yang berjumlah jutaan, masuk dalam kategori positif retreat ini. Pulang kampung adalah untuk merealisasikan  kefitriannya, menemukan akarnya yang tujang, menyungkemi para tetua, melarutkan dan menghanyutkan dosa-dosa dan kesalahan dan merayakan kemenangan. Lalu setelah itu kembali ke kota, kembali kemedan perang kehidupan dengan segala kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengukir dan mengawal peradaban. Mudik atau retreat tanpa semangat keagamaan yang benar adalah tersesat dua kali, di kota dan di desa.

Robert Prost – penyair Amerika – memandang fenomena retreat atau mudik sebagai ” A Momentary Stay Of Compulsion”. Prost telah mengekspresikan sikapnya itu dalam sajak klasiknya “ Stopping by Woods on a Snowy Evening “. Pada bait terakhir ia menulis “ The woods are lovely, dark and deep / But I have promises to keep/ and miles to go before I sleep / and miles to go before I sleep.



Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin


Jakarta, 30 Oktober 2007

0 komentar:


Poskan Komentar


Posting Lebih Baru Posting Lama

Budaya mandar yang progressive


Tentu ada yang bertanya, dimana progresivitasnya budaya mandar?.,Sebab Kebanyakan dari kita akan selalu mengasosiasikan Mandar dengan tari Pattu’du yang lemah gemulai,tenang atau mala’bi, walau ditengah hentakan dan pukulan gendang yang gemuruh dan bertalu-talu. Ditambah lagi bila kita melihat sikap pakkacaping yang selalu tenang tentram dan terkesan pasif. Pergi dan temuilah orang Mandar, maka seketika anda akan mendapat kesan lembut bagai angin kata2 mereka,dengan kecendrungan Plegmatis atau menarik dan menutup diri dari relasi dan percakapan terlalu jauh

Namun sering apa yang tampak lahir belumlah bisa dijadikan entry untuk mengetahui apa yang terkandung dilubuk hati manusia ( mentalitas atau budaya ). Dan hal ini terjadi pada orang Mandar. Dibalik apa yang digambarkan diatas tentang orang Mandar, sebenarnya tersimpan jejak-jejak budayanya yang progressiv dan dinamis.
Sudut pandang ini didukung oleh kenyataan bahwa orang mandar adalah bangsa pelaut yang berani mengarungi lautan untuk pergi kenegri-negri dan tempat-tempat jauh untuk mencari ikan atau menetap di sana. Hal ini telah terjadi berabad-abad dan tentu telah membentuk kepribadian orang mandar dengan sifat-sifat berani, tabah, aktiv dan dinamis.

Ketika hampir semua kerajaan atau pusat-pusat kekuasaan nusantara di masa  lalu mempraktekkan sistim kekuasaan absolut, despot dan otoriter, di Mandar, Todilaling ( Mara’dia pertama Balanipa ) telah mempraktekkan Demokrasi,hal ini dibuktikan dengan ucapannya yang terkenal “ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di’ ( Tempatkan kepentinganmu disebelah luar dan kepentingan orang banyak disebelah dalam ). Dan sikap demokratis ini tentu saja telah jadi Role Model bagi raja2 dan rakyat Mandar sepeninggalnya.

Ketika perempuan ditempat2 lain di Nusantara masih terbelenggu oleh budaya Patriarki yang ketat, dimana wanita hanya dijadikan pasangan hidup dengan peran domestik yang terbatas, di Mandar wanita telah setara dengan laki-laki baik dilingkungan rumah maupun diwilayah publik. Jika nelayan (Laki-laki ) telah sampai dipantai dari mencari ikan, maka selesailah tugasnya. Selanjutnya adalah tugas sang istri apakah akan memasak ikan, mengeringkan atau menjualnya ke pasar. Disini jelas ada pembagian tugas yang setara dan emansipatif ( Sibaliparri )

Ciri progresivitas budaya Mandar juga terlihat pada design sarung sutra mandar  ( lipa’ sa’be ). Tadinya penulis beranggapan bahwa design dan motif2 kain Mandar dipengaruhi Estetika Islam, yang cendrung pada garis-garis linear vertikal dan horisontal dengan prinsip denaturisasi atau menghidari penggambaran alam dan machluk hidup. Namun akhinya berasumsi bahwa design sarung Mandar dipengaruhi oleh estetika seni modern ( modern art ) karna adanya penonjolan bahan ( sutra ) yang dihindari dengan sangat oleh seni Islam. Ciri modern art seperti gaya Plastis ( meruang ), linear dengan garis2 horisontal dan vertikalisasi, ada pada design sarung mandar. Estetika mesin yang dingin dan lugas serta warna2 dasar menonjol pada sarung Mandar.Ciri modern art juga terlihat pada design perahu Sande dengan bentuk stremline dan aerodinamis. Ini adalah cara untuk mempercepat laju perahu Sande dengan modus mengurangi hambatan angin.Tentu saja disamping tafsir ini, ada juga tafsir lain tentang estetika Lipa' Sa'be dan Sande.

Dari pakta tsb diatas dapat dikatakan bahwa selain kandungan tradisinya yang kental, budaya mandar juga dalam aspek-aspek tertentu bersifat Progressive. Kedua entitas ini selalu sejalan seiring melandasi dan mewarnai perjalanan peradaban dan kebudayaan Mandar. 

JAKARTA, 14 DESEMBER 2010

SYAFIYULLAH

0 komentar:


Poskan Komentar


Posting Lebih Baru Posting Lama