Selasa, 04 Februari 2014

CERITA LAGU-LAGU POP


Konon yang mengalahkan Amerika Serikat dalam perang Vietnam adalah Bob Dylan. begitulah adanya, gara-gara lagu-lagu anti perang Bob seperti " Blowing In The Wind" para mahasiswa dan kaum muda di seluruh penjuru AS di tahun 60 an melakukan demonstrasi besar-besaran menentang perang Vietnam dan perang di wilaiyah lainnya, dan menuntut ditariknya pasukan Yankee dari zona perang di manapun adanya. dan akhirnya kaum "Flower Generation" itu menang, Presiden Richard Nixon pada 23 Januari 1973 mengumumkan berakhirnya perang dan secara berangsur-angsur menarik pasukannya dari Vietnam.

Jelas bagi kita betapa besar pengaruh lagu-lagu pop jika ia dikarang dan dinyanyikan oleh penyanyi yang berkarakter dan cinta damai seperti Bob Dylan. bukan hanya lagu-lagu nasional yang bisa menggugah patriotisme, kemanusiaan dan kemerdekaan, tapi juga lagu-lagu pop yang sederhana tapi dinyanyikan secara sungguh-sungguh dan penuh perasaan, apalagi jika liriknya sudah menyentuh seperti salah satu larik syair Blowing in The Wind ini, " how many times must a man walk down, before you can call him a man....,"

Lagu pop juga dapat menjadi sarana protes sosial dalam rangka menentang suatu kebijakan atau prilaku pemerintahan yang dianggap salah, diskriminatif dan tak adil. Ketika pemerintah Jamaica menerapkan kebijaksanan Birth Control yang merupakan kebijakan global dan dipelopori oleh UNDP di bawah kontrol negara-negara Kaya, Bob Marley dengan Band serta gerakan Rastafaranya yang kekiri-kirian, melakukan protes dengan lagu " I Shot The Sheriff." Dalam lagu tersebut ada niatan Bob Marley menembak sang dokter bernama Sherif yang menganjurkan pamakaian Pil atau alat kontrasepsi lainnya di mana-mana. ia berkata, " Sheriff John Brown always hatedme, for what, I don't know. Every time I plant a seed, He said, kill it before it grow."

Dengar juga kekecewaan dan kekesalan Woody Guthrie, penyanyi blues legendaris tahun 30 an. di masa Great Depression Amerika serikat ia melihat ketidak adilan di mana-mana sementara national Anthem terus saja diperdengarkan, " God Bless America." Woddy melampiaskan rasa frustasinya dalam lagu " This Land is Your Land." dan salah satu baitnya berbunyi, " In the shadow of the steeple I saw my people / By the relief office, I'd seen my people / As they stood there hungry, I stood there asking / Is this land made for you and me?...

Dalam lagu Ticket to Ride nya The Beatles, John Lennon ingin memperingatkan betapa kotornya kehidupan malam yang penuh prostitusi di Hamburg, Jerman, tempat Beatles dikontrak main tiap malam sebelum kembali ke Liverpol rekaman dan meledakkan dunia dengan lagu-lagunya yang dianggap ringan, polos dan ngga mutu. Tapi salah satu lagu mereka telah dianggap menjadi lagu yang punya kualitas klasiek " Yesterday" dan hanya dibuat dalam waktu singkat, lima menit. Lagu itu sebenarnya juga punya kisah tersendiri, dimana larik pertama syairnya sebenarnya bukan berbunyi " Yesterday, all my troubles seems so far away," tapi " Scrambled eggs, oh, my baby, how I love your leeegs...."

Bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya banyak seniman musik atau penyanyi yang mencoba untuk menegakkan idealismenya, seperti Iwan Fals, Ebiet G, Ade, Leo Kristi, Franky Sahilatua, dll, tapi paradigma lagu cinta yang cengeng dan mellow sepertinya masih kuat melekat dan sukar terhapus dari wajah lagu-lagu pop Indonesia. sejak era Kus Bersaudara lagu-lagu pop Indonesia telah identik dengan perasaan cinta yang buta, romantisisme yang mellow, cengeng, lembut dan tak punya gairah serta energi. Sampai-sampai Soekarno pernah memenjarakan Kus Bersaudara karena dianggap telah menyebarkan musik dan lagu-lagu dekaden dan kebarat-baratan. Era melankolia dan renjana musik Indonesia diperparah dengan munculnya Rahmat Kartolo dengan syair cintanya yang hanya menimbulkan rasa kasihan pendengar yang kritis, " Patah hatiku jadinya / merana berputus asa / merindukan dikau yang tiada / terbayang setiap waktu...."

Wow, Quo Vadis musik Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar