Jumat, 04 Desember 2015

LANG TAHUN DAN ESTETIKA KEMATIAN

Kata-kata atau bahasa adalah simbol yang mewakili suatu objek atau satu pengertian. Terciptanya sebuah kata kadang bersifat arbiter atau semau gue alias suka-suka, seperti pada sosok yang melahirkan anak manusia, di dalam bahasa Indonesia disebut ‘Ibu’ sedangkan orang Inggris menyebutnya ‘Mother’, sementara orang Mandar memanggilnya ‘Kindo’. Bisa juga secara onomatopoe yang mengacu pada bunyi objek yang dimaksud. Seperti ‘Meong’ bagi binatang yang suka bersuara meong-meong, atau musik ‘kroncong’ yang memang bersuara crong, crong crong. Bisa juga muncul dari suatu pengalaman yang distortif, seperti nama sebuah benua yang konon berawal dari pertanyaan seorang bule ketika untuk pertama kali melihat benua tersebut dari atas kapalnya. Si bule bertanya kepada temannya yang orang Ambon, “ Apa nama daratan di depan itu?’ yang dijawab si orang Ambon, “ Ose tra lia” yang maksudnya ‘Saya tidak lihat’. Maka jadilah nama benua itu seperti sekarang, Australia.

Kita sering menertawai orang Malaysia yang memberi nama sebuah objek secara aneh dan lucu. Rumah sakit disebut oleh mereka ‘ Rumah korban laki-laki, atau pasukan terjun payung disebutnya ‘ Pasukan injak-injak bumi’. Tentu saja bagi orang-orang negri jiran tersebut, hal itu tidak aneh, malahan justru menunjukkan kesesuaian kata dengan objek. Barangkali mereka yang justru merasa aneh dengan sebutan rumah sakit kita, karna memang tempat orang yang sakit, bukannya rumah yang sakit. Demikian pula dengan pasukan terjun payung, bukan orang berpayung yang terjun dari ketinggian pesawat, tapi orang yang memakai parasut, bayangkan bila orang terjun dari atas ketinggian 10.000 ribu kaki dengan payung, kemungkinan besar akan mati.

Nah, demikian pula dengan kata ‘Ulang Tahun’ yang saya peringati hari ini, sebenarnya bermakna memperingati atau merayakan hari kelahiran yang dalam bahasa arab disebut ‘Milad’. Karna kita sering menyebutnya ulang tahun, maka tanpa sadar kita juga terkesan hanya mengulang-ngulang kehidupan saja yang berada dalam dimensi waktu yang terbagi dalam detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Bukan menyebutnya seperti Milad atau Birthday yang bisa bermakna konotatif, lahir kembali sebagai manusia baru. Disini ada aspek transformasi, atau perubahan, sedangkan ulang tahun, bisa berkonotasi mengulang tahun – yang sudah lewat, untuk kita jalani kembali tak perduli apakah kita juga bertambah matang dan dewasa sebagai manusia. Dan pada setiap moment ulang tahun itu kita hanya menambah jumlah lilin untuk ditiup sesuai dengan jumlah tahun yang telah kita jalani. Lalu diikuti potong kue yang punya makna tertentu dan membagikannya untuk dinikmati bersama. Setelahnya, orang yang ikut merayakan pada berpulangan, meninggalkan kita sendiri yang merasa bertambah tua dan kian kesepian.

Mengapa bisa terjadi begitu? Karena kita hanya mengingat dan menghitung-hitung bahwa usia kita kian bertambah, serta merasa lebih mendekat pada akhir usia alias kematian. Dan kita biasanya risau oleh hal itu, bukannya mencari makna dari realitas kehidupan yang pastinya punya awal dan akhir, lahir untuk hidup lalu mati. Martin Heidegger mengatakan bahwa dalam setiap kehidupan sudah tersimpul tanda kematiannya. Jadi kematian adalah sesuatu yang niscaya pasti kita akan alami, tinggal menunggu waktu, “ Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya ( Allah ).’ Al- Qashash ayat 88. Banyak yang berpilkir, mengapa kita harus mengngat-ngingat kematian ketika sedang merayakan hari kelahiran atau Birthday, mending kita senang-senang, makan-makan dan berpesta. Disinilah kita perlu memahami akan arti “Estetika Kematian”

Secara umum estetika adalah ilmu yang membahas dan mempelajari hal-hal yang indah, atau secara khusus mempelajari apa yang disebut seni itu. Apa makna keindahan, apa yang membangkitkan rasa indah. Islam memandang keindahan sebagai suatu yang objektif sekaligus subjektif. Secara objektif, bisa dibaca dalam surat An-Nahl ayat 6,” Dan kamu memperoleh keindahan (pandangan yang indah) padanya (binatang ternak) ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika melepaskannya ke tempat pengenbalaan.” Keindahan sebagai suatu yang subjektif terlihat pada Surat Jusuf ayat 18 tentang kesabaran atau fasobrum jamil. Atau sikap memaafkan atau ash-shofal jamil dalam Al-Hijr ayat 85. Serta tindakan menjauhi dusta serta bermewah-mewah, hajron jamiila dalam al-Muzammil ayat 10.
Jika kita melihat segala sesuatu itu dari kacamata keindahan atau seni, maka sesuatu itu akan mengalami sublimasi atau menjadi luhur dalam bayangan atau persepsi kita. Jika ada seni kehidupan, demikian pula ada seni kematian, bayangan tentangnya bisa disublimasikan dengan memberi makna atas penantian terhadapnya yang biasanya dibarengi dengan ketakutan, derita atau kengerian tanpa dasar.Bayangkanlah kita adalah seorang syuhada yang harus menerima kematian setelah menunaikan segala tugas membela agama Allah atau berjihad di jalan Tuhan. Tentu saja bentuknya bisa belajar menuntut ilmu, dengan bekerja mencari nafkah buat keluarga, mengeluarkan zakat, beramal dan berjuang dengan ilmu dan harta bagi kebaikan masyarakat, sembari tetap istiqomah menjalankan perintah agama, dan menjauhi apa yang dilarang. Dan kelak roh kita ba’da kematian akan menjelma burung-burung hijau yang beterbangan di atas surga sebelum dikembalikan lagi ke jasad.Dengan begitu segala macam duka dan derita, serta kematian yang datangnya takkan terduga itu menjadi semacam ‘Pathos’ menurut kategori Aristoteless, yakni “ Penderitaan yang luhur’.

Atau kita mensublimasi kematian dengan memaknainya sebagai jalan yang terbaik untuk beroleh balasan Tuhan atas segala pahala dan kebaikan yang telah kita lakukan di dunia, kita melihatnya sebagai sebuah drama kehidupan yang bermakna Tragedi atau Kesedihan yang luhur. Sejauh kita telah mengumpulkan banyak bekal buat akherat, maka, kematian akan datang sebagai sesuatu yang indah. Di alam barzakh nanti kita akan cerdas menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat, dan lalu akan tidur dengan tenang sampai hari kebangkitan dan perhitungan tiba bagi semua ummat manusia. Zakat dan puasa yang kita lakukan dengan benar di dunia akan menemani kita di kiri dan di kanan, dan semua amal kebaikan kita akan menjelma menjadi sosok yang indah menemani kita di alam kubur.

Orang Mandar punya estetika kematian yang bagus berupa ‘Kalindaqdaq” atau sastra lisan yang selalu mengingatkan orang untuk menghimpun bekal selama di dunia sebelum pindah ke alam kubur. Dan tentu saja bekal itu adalah akidah yang benar, ibadah dan amal-amal saleh. Bagi orang Mandar, dunia ini hanya ibarat pohon kayu tempat singgah untuk berteduh selama di dunia ini yang sejatinya hanyalah pinjaman belaka.
Aheraq oroang tongang
Lino dindang ditia
Borongi aju
Leppang dipettullungi

Akhiratlah tempat yang sesungguhnya
Dunia hanya pinjaman
Ibarat pohon kayu
Kita singgahi berteduh

Innai toiqo musanga
Aju sakka daunna
Na diengei
Mettullung mappesau

Sahadaq di tuqu tia
Aju sakka daunna
Na dioroi
Mettullung mappesau

Mana gerangan menurutmu
Pohon kayu lengkap daunnya
Yang akan ditempati
Bernaung beristirahat

Syahadat itulah dia
Pohon kayu lengkap daunnya
Yang akan ditempati
Bernaung beristirahat







Tidak ada komentar:

Posting Komentar