Sabtu, 04 Januari 2014

MANDARINDO


Alhamdulillah, sampai hari ini, 5 Januari 2014 tahun baru, Mandarindo masih seperti dulu, sepi, jarang pengunjung dan tak disorot oleh jutaan mata pemirsa. Tapi justru karena itu Mandarindo bisa tetap eksis sebagai wadah untuk bercermin dan merenung, sejauh mana kita telah berbudaya atau menjadi manusia, wa bil khusus manusia Mandar. Hal yang sangat bernilai ini, akan raib manakala Mandarindo telah menjadi media yang punya massa banyak dan berjubel, atau menjadi media massa yang harus mengikuti hasrat-hasrat atau kebutuhan massa. Pada strata ini Mandarindo akan kehilangan jati diri sebagai media untuk saling menyapa dan berbagi kasih secara personal dan akrab sebagimana layaknya sebuah komunitas.
Dengan karakternya yang bak sebuah desa, kita masih bisa merasakan sensasi-sensasi alam dan budaya yang asli, murni dan spontan. Di sini sebuah kata bintang masih seperti bintang beneran yang berkelip, laut dan pantai bagai berombak dan berdebur sungguhan. Kita masih bisa melihak kata Mandar dalam pengertian yang sebenarnya, belum bercampur dengan tilikan ekonomi, politik. komersial atau pemamfaatan. Bagi saya pribadi menulis di Mandarindo bagai melakukan napak tilas menyusuri wilayah-wilayah Mandar yang pernah saya datangi di masa kecil dan masa lalu. Vibrasi alam pegunungan dan pantai masih besar dan menggetarkan, frekwensi atau amplitude suara-suara alam, fauna dan anak-anak nun jauh di sana di bumi Mandar masih sebesar mendengar sebuah siaran radio, bahkan terbayang secara visual bak televisi
Jangan harap sebuah budaya genuine akan lahir dari pola atau system perkotaan yang sumpek, ramai dan mekanis technologis. Karena di sini, oleh karakter speednya, orang jarang bermuhasabah, iktikaf, atau melakukan tirakat secara instens dan dalam. Orang-orang bahkan telah kehilangan dirinya di tengah hasrat pengejaran kebutuhan-kebutuhan duniawi dan bendawi. Kebudayaan yang memberi pencerahan hanya akan hadir manakala manusia berada dalam harmoni dan kedekatan dengan alam, ada dalam alunan hidup yang relaks, tenang dan damai. Menurut Arthur Schopenhauer, pengalaman kontemplatif atau perenungan adalah bebas dari keinginan dan kehendak. Seorang kelana bathin bebas dari kepentingan apapun. Ia adalah tipikal kegitan para pemikir, penyair, seniman, atau seorang yang mengasingkan diri. Bukan kegiatan para ilmuwan yang sekedar mengamati, menganalisa, mengklasifikasi, menguji fakta-fakta lahiriah dan kasat mata. Seorang suluk yang berciri ndeso, masuk kedalam inti kehidupan batinnya sendiri untuk mengenali dirinya dan tempatnya di dunia ini. Ini adalah sebuah ikhtiar internal yang berbeda dengan proses belajar dan pendidikan sekolah yang berkarakter kota.
Kota dan desa. Dipisahkan oleh dua pengertian yang berbeda tapi kadang diidentikkan begitu saja. Kota adalah pusat peradaban, sedang desa adalah pusat kebudayaan. Peradaban berkembang secara evolusionis ala Darwinian, sedang kebudayaan layaknya sebuah agama adalah diciptakan. Atau diturunkan dari langit oleh Sang Maha Pencipta. Peradaban tidak bersifat baik atau buruk pada dirinya. Manusia memang harus menciptakan peradaban sebagaimana halnya ia mau makan, minum, bernafas dan berkembang biak. Ia adalah femonena kewajiban sekaligus keterpenjaraan. Sedangkan kebudayaan, sebaliknya adalah perasaan kekal untuk memlilih dan mengungkapkan kebebasan.
Untuk mengembangkan peradaban, orang harus sekolah dan belajar, sedang kebudayaan didapat dari banyak merenung dan beriktikaf. Pencipta-pencipta kalindaqdaq dahulu pastilah manusia penuh renungan dan rasa. Kalaupun harus menciptakan benda-benda budaya sebagai sarana dan alat kehidupan maka orang Mandar akan memberi makna-makna spiritual pada ciptaannya. Makanya rumah-rumah adat, perahu sandeq atau lipa’ sa’be kaya akan makna yang bersifat ruhani dan spiritual. Tanpa makna-makna yang merupakan simbolisasi dari kerinduan abadi orang Mandar pada realitas langit dan bayangan sorgawi, maka semua artefak budaya itu akan menjelma jadi fossil dalam ruang sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar