Kamis, 02 Januari 2014

NELSON MANDELA

Barangkali tidak ada atau belum ada seorang sosok peminpin yang wafatnya membuat lima benua merunduk haru dan hormat. Para presiden dari negara-negara yang saling bersebrangan secara ideologis berkumpul di Johannesburg pada 15 Desember untuk memberi penghormatan terakhir kepada pejuang kemanusiaan tiada tara itu. Bahkan Negara yang dulu memperbudak kaum negro, Amerika Serikat datang bersama Presiden dan tiga mantan presidennya; Barack Obama, Bill Clinton, Jimmy Carter dan Geoge W Buash.
Nelson Mandela adalah pejuang anti apartheid yang gigih dan konsisten. Untuk itu ia rela dipenjara selama 27 tahun 6 bulan 6 hari dengan tanpa sedikitpun berkurang determinasi dan persistensinya. Penjara di pulau Robben yang dikelilingi laut dan dijaga ketat, sama sekali tidak menghilangkan cita-cita dan harapannya untuk sebuah dunia yang bebas dari diskriminasi racial, segregasi dan pemisahan berdasar warna kulit atau apartheid. Selama di penjara beliau rajin menulis dan mengajar untuk memberi insppirasi dan motivasi bagi dunia yang bebas dari kekerasan dan penindasan, kemiskinan dan kesenjangan.
Di sini tidak akan dibahas mengenai sepak terjang perjuangan, sejarah dan biograpi pribadi Nelson Mandela kaitannya dengan negaranya dan dunia. Tapi akan diangkat tentang kualitas jiwa dan karakter pribadinya yang mampu mengangkatnya menjadi sosok pemimpin yang disegani oleh kawan maupun lawan, meraksasa seperti yang dikatakan oleh Barack Obama “Nelson Mandela adalah ‘raksasa sejarah’. Dia mencapai tempatnya saat ini melalui perjuangan, hikmat, dan kekuatan dalam tindakan politiknya. Obama menggambarkan tokoh antiapartheid itu sebagai saksi hidup bagaimana seseorang bisa mencapai perubahan dengan berjuang untuk gagasan- gagasannya dan mengedepankan akal sehat dan argumentasi melalui pengorbanan pribadi.
Konon karakternya dibentuk oleh nilai-nilai budaya di kampungnya, Mveso, Afrika Selatan. Mandela kecil begitu terkesan dengan nilai-nilai penghormatan pada orang tua dan sepuh serta prinsip demokrasi desa yang sering diikutinya. Salah satu kualitasnya jiwanya, keberanian dan ketegaran yang dibentuk oleh kebiasaannya berburu.
Ada tiga kualitas jiwa dan karakter yang diakui oleh semua pemimpin dan pengamat dunia, yakni Kebesaran hati, pengampunan tanpa dendam dan demokrasi dalam hati. Ketiga afektif konspigurasi inilah yang membuatnya menjadi sosok yang besar dan mendunia serta diakui sebagai sumber mata air kepemimpinan.
Dengan kebesaran hati ia bisa menciptakan ruang kegagalan di mana tak membuatnya surut dan berhenti untuk memperjuang cita-cita dan gagasan-gagasan ideal yang diyakininya. Kegagalan dan keterpenjaraan membuat ia tambah tegar, tabah dan konsisiten. Kebesaran hati beliau jugalah yang bisa menerima segala perbedaan dan kemajemukan masyarakat, menghormatinya dan melakukan rekonsiliasi.
Pengampunan tanpa dendam yang membuat beliau bisa melupakan kepahitan dan penyikasaan selama di penjara dan memafkan lawan-lawan politik yang telah mengusir, menghina dan membelenggunya. Waktu dibebaskan setelah 27 tahun diterungku pada 11 Februari 1990, beliau berpidato. “
Saya menyambut Anda semua atas nama perdamaian, demokrasi, dan kebebasan untuk semua. Saya berdiri di sini bukan sebagai nabi, tetapi sebagai hamba yang rendah hati. Pengorbanan yang tak kenal lelah dan heroik Anda semua telah memungkinkan bagi saya untuk berada di sini hari ini. Karena itu, saya menempatkan sisa hidup saya di tangan Anda.”
Demokrasi dalam hati adalah sifat Nelson Mandela yang agung. Ia tak pernah memaksakan kehendak dan mendikte untuk keuntungan diri senidiri. Itulah sebabnya ketika beliau telah menjadi presiden, dengan kekuasaan yang mungkin untuk berbuat sekehendak hati, beliau malah melakukan rekonsiliasi dan mencptakan perdamain, melupakan semua perbedaan dan permusuhan, lalu menjadi bapak bagi semua. Mandela selalu mengedepakan perundingan dan dialog dalam setiap masalah.
Dengan tiga kulitas jiwa dan karakter itu, Nelson berhasil membuat hitam dan putih duduk sama rendah , berdiri sama tinggi, hidup bersama dalam harmony sebagaimana yang diyanyikan oleh Paul Mc Carney dan Stevie Wonder dalam lagu Ebony and Ivory, meski di sana sini masih ada penyimpangan dan distorsi. Capaian Neson Mandela mungkin telah mengkorfirmasi apa yang pernah dikatakan essayist dan novelis kulit Hitam Amerika, James Baldwin dalam eseinya “ Notes of a Native Son, 1955, “ This world is white no Longer, and it will never white again.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar