Kamis, 01 Desember 2016

NILAI SEBUAH KATA


Dalam pelajaran bahasa Indonesia dikenal yang disebut nilai sebuah kata. Nilai kata bisa bersifat netral,bisa afektif atau punya beban rasa. Pada kalimat’ si Ali pulang kampung’ kata kampung bermakna objektif, sedangkan pada kalimat’ si Ali kampungan’ kata kampung sudah bermakna pejoratif, bahwa Ali adalah orang ketinggalan jaman. Begitu juga dengan kata serapan dari bahasa asing yang kini sangat banyak dipakai ‘ modern’. Kata itu bersifat netral jika ada dalam kalimat,’ kantor Susi membeli perlengkapan yang modern’ . Dalam kalimat ‘ si Susi orangnya nggak modern’ini bermakna bahwa Susi ngga up to date atau maju.

Kata ‘modern’ sebagai kata afektif , sejak dulu menjadi telaah pemerhati budaya dan sosial. Dalam konteks sosial budaya, modern disebut modernitas,bukan modernisme yang lebih berkarakter ideologis. Banyakyang mengindektikkan modernitas dengan hal-hal yang datang dari barat atau bersifat kebarat-baratan. Dan menurut saya orang tersebut punya cara berpikir ideologis. Terlalu berorientasi ke barat,apa-apa yang datang dari barat pasti keren, baik, dan selalu benar. Padahal pada dataran filosofis, arti modern, modernisme atau modernitas sudah didekonstruksi,dan perlahan ditinggalkan sebagai penanda kemajuan, menuju satu era yang disebut Post-Modernism.

Tapi kali ini kita tidak membahas apa itu modern atau tidak,tapi nilai sebuah kata. Nilai kata berbeda dengan kata-kata taksa atau ambigu yang berdwimakna, seperti kata ‘beruang’ yang bisa berarti binatang atau orang yang punya uang. Sedang soal nilai sebuah kata adalah sesuatu yang bisa hilang dan merosot. Arti atau nilai sebuah kata ditentukan oleh banyakhal, bisa oleh pengalaman pribadi, trauma sosial,atau perkembangan sejarah dan perubahan selera dan cara merasa dan berpikir orang. Kata PHK bisa bermakna objektif dalam kalimat, ‘ banyak perusahaan yang mem PHK karyawannya di jaman resesi ekonomi.” Tapi bagi orang yang pernah mengalami di PHK, akan sangat merasa sedih atau kesal jika mendengar kata itu. Pada jaman memuncaknya kehebatan dan keganasan kapitalisme, istilah, ‘ komunis’ tiba-tiba saja melejit tinggi sebagai kata yang penuh makna dan menjanjikan. Tapi pasca kebrutalan Stalin di Rusia, atau G30 S di Indonesia, kata komunis betul-betul telah menjadi sangat rendah nilainya, bahkan dianggap sampah.

Pada jaman kerajaan kata ‘kaki tangan’ punya nilai tersendiri pada seseorang, banyak yang bangga disebut kaki tangan raja atau pembantu raja. Tapi sejak banyaknya orang yang menjadi ‘kaki tangan Belanda, maka kata kaki tangan pun merosot tajam kursnya. Bahkan disebut sebagai kaki tangan sebuah bangsa besar pun seperti Amerika, orang sudah tak sudi. Karena ia berkonotasi antek asing,atau terkait erat dengan kejahatan. Orang jaman dahulu jika disebut sebagai ‘gelandangan’ tidak akan tersinggung dan marah, karena maknanya masih sebagai orang yang suka mengembara, atau berpetualang. Namun mana ada orang sekarang yang mau disebut gelandangan, bahkan si gelandangan itu sendiri. Begitu juga kata ‘gila’, orang tidak akan malu jika disebut ‘ gila bola’ atau gila kerja. Tapi jika dipanggil si gila harta, atau gila perempuan, pasti meradang, apalagi jika disebut gila benaran.

Nah, di era millenium yang berubah sangat cepat dalam segala hal, banyak sekali kata-kata yang derajatnya sangat cepat merosot. Beberapa tahun lalu apalagi di jaman reformasi, kata demo begitu keren kedengaran dan sangat membanggakan bagi pelakunya. Sehingga semua kalangan berlomba-lomba untuk melakukan demo atau unjuk rasa, kendati hanya pada urusan sepele, mendemo pak bupati yang kedapatan selingkuh atau poligami. Atau bapak menteri yang melalaikan karyawan. Saat itu orang bangga turun ke jalan memakai atribut tertentu, membawa bendera dan umbul-umbul, serta ikat kepala merah putih atau yang warna-warnilah. Bangga karena dianggap kritis dan aktivis. Tapi sejak demo-demo kerap disusupi dan jadi ajang ngalap berkah, maka kata demo juga dengan cepat menurun pamornya.

Dan kini, tak perduli apakah demo yang dilakukan benar-benar murni sebagai unjuk perasaan bagi yang merasa terzalimi atau disakiti secara kelompok, demo akan tetap dianggap sebagai suatu kesia-sian dan malahan sebuah anasir yang mengganggu ; kenyamanan dan ketertiban warga, atau stabilitas kekuasaan. Demo sekarang dengan gampang bisa dicari-cari keburukannya, tergantung seberapa besar ia mengguncang pihak yang yang didemo. Dan kata-kata yang paling ampuh untuk mendiskreditkan demo adalah ‘provokator’, aktor intelektual, dll. Hari ini, Jumat 212, kita hanya bisa berharap, jika ada demo, semoga tidak merusak dan dirusak.

Karena kata-kata sangat rentan mengalami devalusai makna dan melorot nilainya, maka setiap pekerja pada profesi tertentu agar mampu dan mau menjaga nilai pekerjaannya sendiri untuk tidak terjun bebas. Karena nyaris semua bidang kerja di republik ini sedang menuruni bukit ketinggian dan kemulyaannya. Banyak orang dewasa ini bergerak telinganya dan memicing matamya jika mendengar kata Jaksa, Hakim, Pengacara, Polisi, DPR, Bupati atau Gubernur serta Menteri. dsb. Rata-rata dirusak oleh tindak korupsi dan penyalah gunaan wewenang yang ada pada penyandang kata itu. Bisa juga karena ada pihak lain yang sengaja merusaknya. Dan yang parah, banyak pihak akhir-akhir ini dengan sengaja atau tidak telah merusak atau menurunkan nilai pekerjaan yang mestinya dianggap penjaga moral bangsa, yaitu Ulama, Ustadz, Kiyai, Pendeta, Pastur, Pedanda dan yang sejenis. Memang ada nila di sana tapi mereka bukan susu atau air yang gampang kotor dan tercemar.

Intinya adalah bahwa banyak arti dan nilai sebuah profesi jatuh karena terkait dengan yang namanya rupiah atau dollar. Lebih mengherankan bahwa banyak nama-nama besar di segala bidang yang rela jatuh gara-gara memburu uang. Dalam hal ini kata uang telah dinilai sangat tinggi bahkan dinomor satukan dalam kehidupan. Padahal seorang penyanyi remaja, Meja, malu jadi gila karena uang. Lalu kehilangan diri dan kepedulian….

"All 'Bout The Money"
Sometimes I find another world
inside my mind
when I realise
the crazy things we do
It makes me feel ashamed to be alive
It makes me wanna run away and hide

It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum.......
And I don't think It's funny
to see us fade away
It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum...
and I think we got it all wrong anyway

We find strange ways of showing
them how much we really care
when in fact
we just don't seem to care at all
This pretty world
is getting out of hand
So tell me how we fail to understand?
and I think we got it all wrong anyway
Anyway

……………………….







I SEBUAH KATA


Dalam pelajaran bahasa Indonesia dikenal yang disebut nilai sebuah kata. Nilai kata bisa bersifat netral,bisa afektif atau punya beban rasa. Pada kalimat’ si Ali pulang kampung’ kata kampung bermakna objektif, sedangkan pada kalimat’ si Ali kampungan’ kata kampung sudah bermakna pejoratif, bahwa Ali adalah orang ketinggalan jaman. Begitu juga dengan kata serapan dari bahasa asing yang kini sangat banyak dipakai ‘ modern’. Kata itu bersifat netral jika ada dalam kalimat,’ kantor Susi membeli perlengkapan yang modern’ . Dalam kalimat ‘ si Susi orangnya nggak modern’ini bermakna bahwa Susi ngga up to date atau maju.

Kata ‘modern’ sebagai kata afektif , sejak dulu menjadi telaah pemerhati budaya dan sosial. Dalam konteks sosial budaya, modern disebut modernitas,bukan modernisme yang lebih berkarakter ideologis. Banyakyang mengindektikkan modernitas dengan hal-hal yang datang dari barat atau bersifat kebarat-baratan. Dan menurut saya orang tersebut punya cara berpikir ideologis. Terlalu berorientasi ke barat,apa-apa yang datang dari barat pasti keren, baik, dan selalu benar. Padahal pada dataran filosofis, arti modern, modernisme atau modernitas sudah didekonstruksi,dan perlahan ditinggalkan sebagai penanda kemajuan, menuju satu era yang disebut Post-Modernism.

Tapi kali ini kita tidak membahas apa itu modern atau tidak,tapi nilai sebuah kata. Nilai kata berbeda dengan kata-kata taksa atau ambigu yang berdwimakna, seperti kata ‘beruang’ yang bisa berarti binatang atau orang yang punya uang. Sedang soal nilai sebuah kata adalah sesuatu yang bisa hilang dan merosot. Arti atau nilai sebuah kata ditentukan oleh banyakhal, bisa oleh pengalaman pribadi, trauma sosial,atau perkembangan sejarah dan perubahan selera dan cara merasa dan berpikir orang. Kata PHK bisa bermakna objektif dalam kalimat, ‘ banyak perusahaan yang mem PHK karyawannya di jaman resesi ekonomi.” Tapi bagi orang yang pernah mengalami di PHK, akan sangat merasa sedih atau kesal jika mendengar kata itu. Pada jaman memuncaknya kehebatan dan keganasan kapitalisme, istilah, ‘ komunis’ tiba-tiba saja melejit tinggi sebagai kata yang penuh makna dan menjanjikan. Tapi pasca kebrutalan Stalin di Rusia, atau G30 S di Indonesia, kata komunis betul-betul telah menjadi sangat rendah nilainya, bahkan dianggap sampah.

Pada jaman kerajaan kata ‘kaki tangan’ punya nilai tersendiri pada seseorang, banyak yang bangga disebut kaki tangan raja atau pembantu raja. Tapi sejak banyaknya orang yang menjadi ‘kaki tangan Belanda, maka kata kaki tangan pun merosot tajam kursnya. Bahkan disebut sebagai kaki tangan sebuah bangsa besar pun seperti Amerika, orang sudah tak sudi. Karena ia berkonotasi antek asing,atau terkait erat dengan kejahatan. Orang jaman dahulu jika disebut sebagai ‘gelandangan’ tidak akan tersinggung dan marah, karena maknanya masih sebagai orang yang suka mengembara, atau berpetualang. Namun mana ada orang sekarang yang mau disebut gelandangan, bahkan si gelandangan itu sendiri. Begitu juga kata ‘gila’, orang tidak akan malu jika disebut ‘ gila bola’ atau gila kerja. Tapi jika dipanggil si gila harta, atau gila perempuan, pasti meradang, apalagi jika disebut gila benaran.

Nah, di era millenium yang berubah sangat cepat dalam segala hal, banyak sekali kata-kata yang derajatnya sangat cepat merosot. Beberapa tahun lalu apalagi di jaman reformasi, kata demo begitu keren kedengaran dan sangat membanggakan bagi pelakunya. Sehingga semua kalangan berlomba-lomba untuk melakukan demo atau unjuk rasa, kendati hanya pada urusan sepele, mendemo pak bupati yang kedapatan selingkuh atau poligami. Atau bapak menteri yang melalaikan karyawan. Saat itu orang bangga turun ke jalan memakai atribut tertentu, membawa bendera dan umbul-umbul, serta ikat kepala merah putih atau yang warna-warnilah. Bangga karena dianggap kritis dan aktivis. Tapi sejak demo-demo kerap disusupi dan jadi ajang ngalap berkah, maka kata demo juga dengan cepat menurun pamornya.

Dan kini, tak perduli apakah demo yang dilakukan benar-benar murni sebagai unjuk perasaan bagi yang merasa terzalimi atau disakiti secara kelompok, demo akan tetap dianggap sebagai suatu kesia-sian dan malahan sebuah anasir yang mengganggu ; kenyamanan dan ketertiban warga, atau stabilitas kekuasaan. Demo sekarang dengan gampang bisa dicari-cari keburukannya, tergantung seberapa besar ia mengguncang pihak yang yang didemo. Dan kata-kata yang paling ampuh untuk mendiskreditkan demo adalah ‘provokator’, aktor intelektual, dll. Hari ini, Jumat 212, kita hanya bisa berharap, jika ada demo, semoga tidak merusak dan dirusak.

Karena kata-kata sangat rentan mengalami devalusai makna dan melorot nilainya, maka setiap pekerja pada profesi tertentu agar mampu dan mau menjaga nilai pekerjaannya sendiri untuk tidak terjun bebas. Karena nyaris semua bidang kerja di republik ini sedang menuruni bukit ketinggian dan kemulyaannya. Banyak orang dewasa ini bergerak telinganya dan memicing matamya jika mendengar kata Jaksa, Hakim, Pengacara, Polisi, DPR, Bupati atau Gubernur serta Menteri. dsb. Rata-rata dirusak oleh tindak korupsi dan penyalah gunaan wewenang yang ada pada penyandang kata itu. Bisa juga karena ada pihak lain yang sengaja merusaknya. Dan yang parah, banyak pihak akhir-akhir ini dengan sengaja atau tidak telah merusak atau menurunkan nilai pekerjaan yang mestinya dianggap penjaga moral bangsa, yaitu Ulama, Ustadz, Kiyai, Pendeta, Pastur, Pedanda dan yang sejenis. Memang ada nila di sana tapi mereka bukan susu atau air yang gampang kotor dan tercemar.

Intinya adalah bahwa banyak arti dan nilai sebuah profesi jatuh karena terkait dengan yang namanya rupiah atau dollar. Lebih mengherankan bahwa banyak nama-nama besar di segala bidang yang rela jatuh gara-gara memburu uang. Dalam hal ini kata uang telah dinilai sangat tinggi bahkan dinomor satukan dalam kehidupan. Padahal seorang penyanyi remaja, Meja, malu jadi gila karena uang. Lalu kehilangan diri dan kepedulian….

"All 'Bout The Money"
Sometimes I find another world
inside my mind
when I realise
the crazy things we do
It makes me feel ashamed to be alive
It makes me wanna run away and hide

It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum.......
And I don't think It's funny
to see us fade away
It's all 'bout the money
It's all 'bout the dum dum...
and I think we got it all wrong anyway

We find strange ways of showing
them how much we really care
when in fact
we just don't seem to care at all
This pretty world
is getting out of hand
So tell me how we fail to understand?
and I think we got it all wrong anyway
Anyway

……………………….








1 komentar:

  1. Wellness Pitch is a single place where you find everything about your Wellbeing . From wellness to health; Fitness to beauty and nutrition to parenthood.

    BalasHapus