Kamis, 24 November 2016

CERDAS MEMBACA DAN MENULIS


Banyak orang yang mengatakan bahwa puncak dari kecerdasan belajar dan membaca adalah menulis. Logika sederhananya adalah bahwa menulis mengandaikan kebiasaan dan kecerdasan membaca. Menulis adalah hilir dari semua ketrampilan mendengar, menyinak,memperhatikan dan membaca. Dapat juga dikatakan ketrampilan menulis tidak akan didapat jika kita tak cerdas membaca. Sementara membaca bisa berarti membaca buku, membaca alam dan lingkungan, membaca prilaku manusia atau makhluk lainnya, dsb. Dengan cara membaca yang cerdas, kita akan dapatkan simpulan-simpulan, pemikiran, dan aneka asumsi dan hipotesa yang bisa diaplikasikan secara mudah dan praktis dalam bentuk tulisan fiksi ataupun non fiksi. Jadi tindak penulisan tak bisa dipisahkan dari peristiwa pembacaan. Begitu juga sebaliknya, karena yang kita baca selalu adalah tulisan, pada buku atau di semesta alam raya.

Tapi untuk menulis esei sederhana saja banyak orang yang malas atau takut-takut. Takut salah, takut dikritik dan takut tampak bodoh. Padahal realitas apapun di dunia ini tidak ada yang sempurna, maka segala kekhawatiran dan ketakutan itu tidak beralasan. Jika Kita mau belajar dari pengalaman tentang salah, kegagapan dan kegagalan, insya Allah kita akan berkembang dan bertumbuh sebagai manusia yang sanggup memfungsikan segala potensi dan bakat yang kita miliki. Dan pengetahuan tentang bakat dan potensi pribadi tersebut hanya bisa didapat dari mencoba dan berpraktek. Realisasi diri hanya ditemukan dalam realitas kerja.

Salah satu metode membaca cerdas adalah dengan membuat ‘ Mind Mapping’, atau peta mental terlebih dahulu. Membaca mestilah sebuah upaya untuk mengerti dan memahami isi tulisan atau aneka fenomena eksternal dan internal, di dalalm dan di luar diri manusia. Untuk memahami sebuah buku atau novel sederhana adakah mudah, tidak begitu untuk buku dan novel tebal, apalagi yang sangat teknis dan filosofis. Ini membutuhkan keseriusan dan kerja keras.Tapi untuk keperluan menulis kita hanya butuh memberi resume atau ringkasan tentang garis besar buku,lalu melakukan mind mapping. Dengan menaruh tema utama atau ide besar sebuah buku di pusat kesadaran dan akal kita, dan selanjutnya sub-sub tema atau anak-anak pikiran akan dengan mudah diserap dan difahami. Misalnya anda membaca buku tentang ‘ Reformasi Birokrasi’ maka yang pertama yang harus di garis bawahi adalah kata ‘ Reformasi’.

Kita tentu perlu mencari tahu apa itu definisi reformasi hubungannya dengan birokrasi. Secara sepintas semua orang telah tahu apa itu reformasi, dan apa itu birokrasi. Dengan demikian kita bisa membayangkan apa-apa saja yang seharusnya dirubah dan diperbaiki dari sebuah birokrasi. Kata reformasi itu sendiri sudah mengandaikan ada yang tidak beres atau rusak pada tubuh birokrasi. Bisa pada aspek mentalitas pegawai, cara dan budaya kerja, motivasi atau penghargaan pada kerja, sikap dan loyalitas, atau organisasi atau strukturnya yang berbelit-belit, lantas apakah telah terjadi pelayanan yang baik kepada masyarakat, apakah banyak terjadi korupsi dan penyelewenganm dst. Lalu bagaimana solusi dan metode perbaikan dan pembaruan itu dilakukan.

Di sini tidak pada tempatnya untuk membahas tentang apa itu reformasi biroksasi, melainkan hanya sebagai contoh saja untuk sebuah ketrampilan membaca. Jadi dengan memahami betul arti sebuah tema dan ide dasar buku maka akan mudah membayangkan apa yang kemudian akan menjadi detail penulisan. Agar peristiwa membaca itu memberi kita sesuatu, bukan sekedar mendapatkan trasfer lalu menghafal ilmu dan pengetahuan, kita harus berani memberi makna pada segala sesuatu yang kita baca. Jangan terikat pada makna baku dan konteksnya. Harus ada keberanian untuk memberi makna-makna baru dan melakukan kontektualisasi.

Sebuah mobil pada hakekatnya adalah alat tansportasi, itu makna dasarnya. Tapi sebuah mobil juga bisa menjadi berubah maknanya secara kontekstual. Ketika pengacara Hotman Paris Hutapea membeli sebuah mobil Lambhorgini, maka makna mobil di sini bukan lagi sebuah alat transportasi, tapi sebuah simbol status. Konteknya juga sudah tidak sama ketika pengacara kondang itu masih butuh sebuah alat transportasi agar lebih mobil melakukan kerja-kerja advokasinya. Kini pembelian mobil mewah itu sudah pada dataran pencitraan agar gengsinya sebagai pengacara top tetap terjaga bahkan menaik lagi.

Jadi sebuah mobil atau apapun bisa sangat bersifat polisemi atau bermakna banyak tergantung konteksnya. Mobil bisa juga berarti sumber pemenuhan hobby otomotif, bisa berarti sebuah penginapan berjalan, sebuah media investasi, dan pemenuhan rasa aman, untuk melancarkan pergaulan dengan masuk sebuah klub mobil, misalnya klub Moge, dll. Kita juga bisa membuat kontekstualisasi dalam arti membangun sebuah konteks baru pada keberadaan sebuah mobil. Dewasa ini ada sebuah kecendrungan baru di kalangan masyarakat sederhana untuk memprioritaskan membeli mobil katimbang membenahi kediamannya yang agak kumuh mendekati reyot, atau membiayai sekolah anaknya yang putus atau terbengkalai. Dengan mudah orang sekarang bisa punya mobil dengan cara kredit atau beli seconhand. Tapi itu juga takkan semudah yang kita bayangkan, karena angsuran bulanan sebuah kredit mobil juga tidak kecil. Akan tetap saja ada unsur memaksakan diri pada fenomna tersebut.

Daripada mencurigai apalagi menuduh orang-orang sederhana yang punya mobil, lebih baik melakukan kontekstualisasi untuk bahan penulisan kita. Agak keliru untuk mengatakan hal tersebut adalah mode investasi, atau pemenuhan rasa aman. Karena mobil akan sangat menurun harganya apalagi jika dia diperlakukan serampangan hingga sering serempetan dan tabrakan. Orang-orang sederhana juga jarang atau tak pernah melakukan safari ke tempat-tempat berbahaya, sukar dan penuh ancaman dari manusia atau binatang. Paling banter ke taman safari. Jadi dalam konteks apa mobil dibeli kendati bukan prioritas. Sudah kuno jika mengatakan itu akibat faktor ‘demontrasion efek’ , karena itu sudah terjadi sejak dulu kala.

Jangan-jangan di masyarakat telah tumbuh semacam kebiasaan persaingan diam-diam yang dipicu oleh lenyapnya rasa saling percaya dan saling menghargai secara genuine. Orang hanya dipandang jika punya kekayaan dan kekuasaan. Ada kemungkinan timbulnya kebiasaaan jor-joran dan persaingan itu dipicu oleh politisasi dalam masyarakat yang semakin massif. Yang berakibat orang saling berebut pengaruh atau memperkuat eksistensinya di lingkungannya masing-masing. Dan itu bisa diperoelh dengan kepemilikan sebuah mobil. Dalam kaitan ini, kita telah melakukan semacam kontekstualisasi. Dan ini butuh keberanian berpikir dan untuk hadapi kemungkinan dari salah membaca serta salah tafsir.

Nah, dengan modal kecerdasan membaca seperti yang diterangkan di atas, maka secara otomatis kita akan punya kemampuan dan keterampilan menulis tinggal dicoba dan dilatih saja hingga mencapai taraf bagus dan memadai untuk dibaca. Tapi di sini juga dibutuhkan keberanian untuk salah dan melenceng secara kaidah dan bahasa, dan kemauan untuk meluruskannya. Juga ketabahan untuk tegar menghadapi kritikan dan cemoohan. Dengan prinsip ‘ Eveything that I eksperience, when I’m not die, shall make me stronger’, maka pada akhirnya semua bisa kita lewati untuk meraih kemenangan.

Dengan kebiasaan membaca yang benar kita juga akhirnya bisa membuat aneka prosa dan puisi. Bedanya dengan menulis esei adalah bahwa prosa atau puisi lebih menekankan pada unsur ekspresi f atau ungkapan perasaan. seni lebih mengarah kepada pembacaan dan pencatatan kehidupan pribadi atau orang lain. .Ada unsur pengalaman di sana, dari diri sendiri ataupun orang lain. Yang penting diperhatikan jika hendak mengarang prosa atau puisi yang bagus, kita harus mengasah dan memtajamkan rasa, intuisi dan jiwa artisktik. Itu bisa didapat dengan mau lebih mengakrabi diri, alam dan manusia, tetu saja dengan berusaha mengenal Tuhan. Semua seni mensyaratkan kebaikan hati yang peduli dan mudah tersentuh pada segala yang bernama derita dan duka makhkuk ciptaan , dan tentu saja kekaguman, serta rasa cinta yang mendalam pada Sang Pencipta.

Disamping persyaratan kejiwaan yang wajib tersebut, seorang calon cerpenis atau penyair mestilah juga punya keberanian untuk menafsir sebuah tanda lalu memberinya makna-makna baru yang relevan dengan tujuan menulis. Jika hendak menulis puisi tentang cinta misalnya, maka sebuah hembusan angin bisa jadi inspirasi dan media untuk mengungkapkan diri. Tapi hindari ungkapan yang sudah klise dan sangat banal seperti pada syair “ wahai angin nan lalu, sampaikanlah pesanku ini......” disini angin dimaknai hanya sebagai penyampai pesan, atau tanda bagi ‘pak pos’ belaka. Atau dalam syair, “ oh angin, kabar apa yang kau bawa dari dia.....” disini angin dianggap sebagai wartawan saja, penyampai kabar berita.

Bagimana kalau angin kita ibaratkan adalah nafas cinta sang kekasih yang hembusannya sudah pelan dan tak teratur. Yang berarti sudah mulai kekurangan passion dan atau semangat. Dengan begitu kita bisa membuat syair berikut,” Cintamu hembus angin di daun yang merunduk.....” dan andai cerita tentang cinta yang di awalnya begitu menggebu, kemudian mulai memudar perlahan dan itu terbaca jelas dalam hati, maka kita bisa merangkai sepotong puisi tentangnya,” Kini anginmu terkulai dipelukan malam yang hening / Sampai padaku serupa cericit burung balam / Sebuah gumam yang membiaskan tanya / Tentang badai yang hembus di hulu

Sering yang menghambat orang untuk mulai menulis adalah karen a ia bersikap pasif dan tidak berani untuk merumuskan sendiri pikiran dan rasanya secara otentik. Ia lebih banyak bertanya tentang apa itu kehidupan, apa itu kebudayaan , apa definisi negara, apa syarat sebuah cerpen, roman, dan apa itu kiasan, plastis atau asosiasi. Tanpa keberanian untuk memberi makna sendiri pada segala sesuatu, maka kita akan kembali mengutak-atik dan membolak-balik buku untuk mencari apa sejatinya semua itu. Lupakan semua itu, mulailah menulis, dan segala makna-makna itu akan terungkap dan datang sendiri. Kita bisa memberi makna sendiri, atau mencarinya pada waktu proses penulisan sedang berlangsung. Menulis itu sama dengan membangun rumah yang berlangsung bertahap, pelan tapi pasti. Mulai dengan membuat pondasi, lalu menyusun bata demi bata lalu menyemennya. Dan bila mana perlu melakukan perombakan atau revisi-revisi.

Tapi untuk menulis sebuah cerpen atau cerita, kita tidak harus bersikap seperti seorang yang membangun rumah. Yang mulai kerjanya dengan membuat fondasi terlebih dahulu. Agar sebuah cerpen bisa langsung menarik untuk dbaca, kita bisa menggunakan metode yang saya sebut metode ;”Kebakaran”. Bukankah hanya dengan melihat asap yang mmbumbung tinggi dan hitam di kejauhan, hati kita akan tergerak untuk segera tahu apa yang terjadi. Belakangan baru kita akan selidik apa penyebab dan dasar kebakaran itu. Kita bisa mulai dengan kalimat atau dialog yang mengejutkan atau provokatif, misalnya dengan menulis, “ Apa kau sudah mendengan kabar kematian Amir yang aneh dan tak wajar?....” atau bisa juga, “ Banjir tahun ini sungguh kejam, ia telah mengambil semua yang berharga dariku...”

Atau bisa juga dimulai dengan membuat sebuah prelude dengan narasi yang aneh dan menarik. Dalam cerpennya ‘Pesan Calon Penganten Kepada Istri Dan Anaknya”, Arswendo Atmowilito mulai dengan paragraf yang bagus, “ Istri dan juga anak-anaku,kita semua ini ibarat kata sepasang calon penganten. Tinggal menunggu tanggal main, untuk bersanding dalam pelaminan. Saat itulah kita singkap kain rindu, kita tumpahkan segala gairah, kita sajikan menu rindu-cemburu-nafsu tanpa terburu-buru” Atau seperti Kuntowijoyo dalam cerpennya,” Kuda Itu Seperti Manusia Juga”, yang diawali dengan kalimat yang merangsang rasa ingin tahu lebih jauh, “ Huizinga menyebut manusia sebagai Homo Ludens, makhluk yang suka bermain-main. Itu benar, kecuali untuk pak Satari, tetangga sebelah rumah. Ia lebih suka bekerja, sejak muda ia sudah bekerja di sebuah perusahaan. Seluruh waktunya, kecuali tidur dan makan, ialah waktu kerja. Sungguh tidak sekalipun ia memikirkan kesenangan. Saya menyebutnya ia penganut mistik kerja.”

Seorang penulis, pengarang atau seniman yang baik, akan memperhatikan apa yang disebut oleh Edward Billough “ aesthetic state of mind’ atau kesadaran estetis yang terjaga. Sebuah sikap estetik yang begitu gandrung pada nilai seni suatu kejadian dengan tanpa mempertimbankan urusan untung-rugi, kepentingan bahkan keselamatan diri sendiri. Misalnya pada waktu seniman berada di atas kapal yang diserang angin badai di tengah kabut yang tebal. Seniman sejati tidak akan begitu perduli pada suasana ketakutan yang muncul, tapi akan lebih memperhatikan konfigurasi awan atau gelombang yang meninggi,kalau-kalau di sana ada sesuatu yang unik. Indah dan bisa diabadikan.

Selanjutnya seorang seniman sejati hanya akan perduli pada aspek intrinsik seni. Menurutnya seni tidak tergantung pada wadah luaran dari seni itu sendiri. Mutu seorang penyanyi hanya pada suaranya saja, tidak dicampur dengan wajah serta penampilan penyanyi. Dia akan menghargai sebuah lukisan yang bagus kendati dilukis di atas sebuah kertas, kayu, bahkan tembok, tidak harus di atas kanvas dan berfigura indah. Tentu saja sebuah tulisan, puisi, atau cerpen yang bagus tidak ditentukan apakah ia ditulis di sebuah majalah sastra, koran, atau di internet pada blog, FB dan aplikasi lain. Tapi ditentukan oleh seberapa besar dan bermutu isinya, dan seberapa indah bentuknya. Terlebih lagi seeorang seniman tulen tidak butuh pengakuan eksternal, dari para kritikus atau seniman ternama,karena ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri akan keabsahan dan kemurnian karyanya.

Untuk bisa menulis puisi bahkan untuk menjadi penyair seseorang tidak perlu-perlu amat membaca semua karya penyair terkenal atau banyak membaca buku tentang filsafat, budaya, psikologi dll. Kita hanya perlu membaca secara cerdas, dan itu lebih terkait dengan kedalaman katimbang keluasan. Banyak membaca hanya menambah bahan penulisan, serta perbandingan tentang kualitas serta perkembangan sastra. Tapi dengan membaca sebuah puisi secara mendalam dan cermat, itu akan memberi kita potensi dan motivasi yang besar untuk menulis sebuah puisi. Jhon Ciardi dalam eseinya ‘Robert Frost : The Way to the Poem’ yang membahas secara mendalam puisi Frost yang terkenal ‘ Stopping By Woods On A Snowy Evening, mengatakan “ The School System has much to say these days of the virtue of reading widely, and not enough about the virtues of reading less but in depth...”

Ciardi menambahkan bahwa dengan membaca sebuah puisi yang bagus secara cerdas dan cermat, itu akan menjadi persiapan yang bagus untuk lebih mengerti puisi-puisi yang lain. Hanya puisi jualah yang bisa mengilustrasikan bagaimana sebuah puisi bekerja. Dan puisi yang bagus tidak harus dalam bentuk yang kompleks, rumit dan panjang. Tapi seperti puisi Frost yang telah menjadi klasik itu, hanyalah sebuah narasi sederhana, atau sebuah insiden biasa saja, namun telah mensugestikan makna-makna yang bagai tiada habisnya. Di sana,sebuah hal yang spesipik telah menciptkan sebuah dunia makna yang bersifat luas dan universal.

Menyikapi tanya tentag makna sejati puisi Frost itu, dimana Frost sendiri bungkam tentang itu, tak pernah memberi jejak tentangnya, di bagian akhir eseinya Jhon Ciardi menulis, “ ...Finally, in every truly good poem, ‘how does it mea?’ must always be answered Triumphamtly. Whatever the poem is about. How it means is always how genesis mean : the word become a form, and the form become a thing, and when the bcoming is true – the thing become a part of knowledge and experience of the race forever.”
STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING

Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.

My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.

He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound’s the sweep
Of easy wind and downy flake.

The woods are lovely, dark and deep,
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar