Senin, 10 Maret 2014

AMAN ITU INDAH

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menerapkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2014 jo Inpres Nomor 2 Tahun 2013 tentang langkah-langkah penanganan konflik sosial melalui keterpaduan, baik antar- Aparat Pusat, antar-Aparat Daerah maupun antar-Aparat Pusat dan Daerah.
“Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan,” bunyi Inpres yang dikeluarkan pada 28 Februari 2014 itu.
Seperti dilansir laman Seskab, disebutkan terdapat delapan instruksi yang ada dalam Inpres No. 1/2014, yakni:

1. Meningkatkan efektivitas penanganan konflik sosial secara terpadu, sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan,
2. Melakukan upaya-upaya pencegahan dengan merespon secara cepat dan tepat semua permasalahan di dalam masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik sosial guna mencegah lebih dini tindak kekerasan,

3. Melanjutkan proses penyelesaian berbagai permasalahan baik yang disebabkan oleh sengketa lahan/sumber daya alam, SARA, politik dan batas daerah administrasi maupun masalah industrial yang timbul dalam masyarakat dengan menguraikan dan menuntaskan akar masalahnya,
4. Melanjutkan proses hukum dan mengambil langkah-langkah cepat, tepat, tegas, dan proporsional berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat konflik sosial,

5. Melakukan upaya pemulihan pasca konflik yang meliputi penanganan pengungsi, rekonsiliasi, rehabilitaso, dan rekonstruksi agar masyarakat dapat kembali memperoleh rasa aman dan melakukan aktivitas seperti sedia kala,
6. Menyusun Rencana Aksi Terpadu Penanganan Gangguan Kemanan Dalam Negeri Tahun 2014 dengan berpedoman pada langkah-langkah, a. Pencegahan, b. Penghentian/Penyelesaian Akar Masalah, dan c. Pemulihan Pasca Konflik. 7. Anggaran untuk pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2014 ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
8. Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Dari melihat judulnya saja kita sudah ngeri seolah-olah ada yang salah memgenai rasa aman dan keamanan di negri ini, kita seperti digiring pada opini bahwa masalah dan potensi konplik, keamanan dan kerawanan sosial sudah parah banget dan telah sampai ke pelosok-pelosok negeri, sepertinya di negeri ini sudah tidak ada tempat yang aman. Sehingga petinggi-petinggi di daerah pun diingatkan dan disiapkan untuk mengantisipasi situasi rawan tersebut. Kalau sudah begini ruang gerak rakyat di mana-mana bisa jadi terbatasi dan sikap kikuk akan merebak menggantikan rasa damai dan tentram di hati rakyat. Bukan saja karena mereka takut sewaktu-waktu bisa dikriminalisasi jika memprotes sedikit saja pada kebijakan pemerintah, atau pemda, tapi juga mereka pasti telah membayangkan akan datangnya petaka dan renjana yang setiap saat. Jika memang aman-aman saja dan tak begitu meluasnya potensi konplik mengapa harus ada kedua inpres tersebut.

Andaipun potensi itu ada, lebih baik dilakukan pendekatan sosial budaya, bukannya secutity approach. Dengan memberi diskresi pada lembaga-lembaga tertentu dan pemda untuk bertindak sebagai pemadam kebakaran, maka bisa terjadi prilaku asal semprot, atau sampah yang terbakar dibawain mobil Damkar. Pokoknya apapun bisa terjadi di arena power play. Unsur like and dislike bisa timbul dan pemihakan pada kepentingan asing bisa lebih menonjol katimbang kepentingan rakyat, karena tuntutan pemerintah untuk memperbesar Pendapatan Asli Daerah dan pendapatan asli pribadi. Para bupati dan gubernur sepertinya mesti mengganti seragamnya dari baju coklat ke baju hijau nih.

Republi Indonesia adalah termasuk ke dalam golongan negara kesejahteraan ( welfare state ) yang cirinya adalah bahwa negara bertujuan mensejahterahkan rakyatnya secara merata dan memberi pelayanan yang sebaik-baiknya bagi rakyat, bukannya menakut-nakuti dengan menonjolkan kekuasaan yang memang dimiliki oleh pemerintah. Dalam negara kesejahteraan yang juga disebut sebagai negara hukum modern, kekuasaan itu tidak tak terhingga, kendati memang harus lebih banyak mencampuri urusan masyarakat dan kadang memang pemerintah memerlukan diskresi guna kelancaran tugas pemerintahan. Kita sejatinya bukan negara jaga malam dengan prinsip yang pernah dilontarkan mantan Presiden AS, Ronald Reagan, “ Gouverment is enemy to progress” tapi bukan juga negara yang berprinsip ‘ l’etat ce moi’ ( negara adalah saya). Sehingga dengan gampangnya mengeluarkan inpres, perppu, penpres, dekrit, Surat Perintah, dll, padahal negara dalam keadaan normal, tidak dalam keadaan darurat seperti latar dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 untuk kembali ke UUD 45, atau Supersemar yang memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keamanan dan ketertiban terkait G 30 S PKI. Untuk keamanan dalam negeri rasanya telah cukup memadai UU tentang kepoliasian No 2 tahun 2002 atau undang-undang tentang pertahanan keamanan negara kalau ABRI harus terlibat, atau jika masyarakat mesti aktif menjaga keamanan, maka pasal 30 UUD telah cukup memayungi kok, tinggal membuat aturan pelaksanaannya saja serta juklak dan juknisnya.

Jika pemilu ingin berlangsung aman dan sukses, maka semua pihak harus bersikap dan bertindak adil, netral dan taat asas. Ngga logis bila penyelenggara pemilu dan pemerintah menghendaki lancarnya pesta demokrasi, tapi tak mau bersikap tegas dan adil dalam memberi sanksi kepada para pihak yang melanggar aturan-aturan kampanye dan pemilu. Rakyatlah yang paling menginginkan rasa aman dan tentram karena kehidupan mereka yang ibarat ada di ujung tanduk, sedikit saja sapi, kambing, atau kerbau bergerak apalagi ngamuk, tergelincir dan matilah mereka.
Uda ach ntar diinpreskan lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar