Sabtu, 08 Maret 2014

HUKUM, HATI NURANI DAN PANDANGAN HIDUP

Max Weber mengatakan bahwa di dalam Islam ( juga negara-negara dan agama timur lainnya, penulis ) tak ada penciptaan hukum, yang ada hanya penemuan hukum. Tidak adanya perbedaan yang jelas antara etika dan hukum Islam berarti bahwa suatu sistem hukum yang koheren tidak dapat melayani kaum borjuis untuk melindungi hak milik pribadi dalam suatu suatu sistem rasional yang komprehensif. Sementara Carl von Savigny berpendapat,” Law grows with the growth, and strengthens with the strength of the people and finally dies away as a nation loses its nationality…law is found not made…”

Dua pandangan tentang cara hukum ada dan mengada ini mewakili dua pandangan hidup yang secara diametral bertentangan. Pandangan hidup Barat dan alam pikiran Timur Bagi masyarakat barat yang menganut faham individualistik-liberal, hukum memang selalu diciptakan sesuai perkembangan ekonomi politik untuk melindungi hak milik perseorangan dan tata perekonomian yang berlandaskan pada prinsip materialisme dan sekularisme. Lebih jauh Max Weber beranggapan bahwa etika protestan yang melahirkan kapitalisme awal adalah satu-satunya cara hidup yang bisa mencetak kemajuan dan perkembangan yang lebih luas, karena kompatibel dengan hukum modern. Hukum legal-formal yang rasional itu bertugas melindungi dan menjamin agar kemerdekaan dan kebebasan individu memperoleh kedudukan yang mapan. Asas-asas serta doktrin hukum yang dianggap modern, yang adalah legacy kemenangan kaum borjuis ini telah dianggap bersifat universal dan alami oleh pendukungnya.

Bagi masyarakat Timur yang berdasar pada kolektivisme dan lebih banyak unsur spiritual dan intuitisinya , hukum adalah ditemukan dan merupakan warisan yang harus terus menerus digali dan disempurnakan agar lebih mencakup dan merangkul semua kebutuhan hidup masyarakat. Hukum yang ada adalah hukum yang hidup dan kontektual, sesuai dengan budaya dan agama komunitas dan kosmologinya. Jadi tidak tepat jika menilai hukum Islam atau hukum adat dari kacamata barat yang sepenuhnya rasional dn pragmatis dalam cara berpikir dan bertindak. Dalam masyarakat timur yang lebih mengedepankan spiritual, ada juga cara berpikir rasional tapi bukan yang utama. Wahyu, petuah leluhur lebih berperan untuk melahirkan kesepakatan dalam bidang hukum, hukum Islam bersifat “ Ma’ulima min aL- din bi al-dharurat ( sesuatu yang diketahui dari agama dengan pasti )Hukum Islam akan selalu merujuk pada Qur’an dan Hadis Nabi dengan telaah akal yang terdidik dan terbimbing ( ijtihad bi al-rayi ). Tidak asal berpandangan, namun harus berdasar dan berakar pada nilai-nilai keislaman, keimanan dan spritualitas.

Memang hukum tidak begitu saja jatuh dari langit atau lahir dari vacuum, tapi berakar kuat pada sosio cultural masyaraktnya. Hukum selalu berakar pada sesuatu “ Peculiar form of social life” sebuah cermin yang merefleksikan ikatan antara hukum dan basis sosialnya. Sacipto Raharjo mengutip Tamanaha yang mengatakan “ Every legal system stand in a close relationship to the ideas, aims, and purpose of society, law reflects the intellectual, social, economic, and political climate of its time.”Hukum modern yang beralma mater Eropa melalui sistem kolonialisme, akhirnya menglobal, mendominasi seluruh dunia dan dianggap sebuah kebenaran universal padahal tetap saja membawa di dalamnya karekteristik sosio-budaya lokal Eropa.
Telah ratusan tahun proses inplanting, transplantasi adopsi atau kopi paste hukum-hukum borjuis barat terjadi di negara-negara jajahan. Termasuk Indonesia. Hukum agama dan hukum adat terdesak sampai ke titik marginal untuk menjadi invalid dalam melayani kepentingan-kepentingan dan kebutuhan tradisional yang hakiki. Tak pernah terjadi amandemen atau perubahan hukum pada dasar palsafah dan etikanya. Pancasila yang di Indonesia dkatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum, tak pernah benar-benar bisa menggantikan dasar palsafah hukum barat yang indivisdualis dan liberal dan egalitarian. Hukum berlandas syariah dan kewajiban untuk mempraktekkannya terpangkas sebelum negara bisa merangkak. Ia ada tapi tak bersifat konstitutif namun muncul dan berserak secara serampanga dan reaktif pada produk-produk yang berlabel syariah. Mungkin nanti akan ada yang sepak bola syarian, setelah penbankan syariah, asuransi syariah, hotel syariah, pegadaian syariah dsb.

Karena kehilangan dasar orientasi dan spritualnya, maka semua produk hukum yang telah, sedang dan akan muncul di Indonesia hanya bersemangat menangkap dan menghukum orang, menghindari hukum dan untuk menakut-nakuti warga. Lihat saja pada ribut-ribut soal amandemen KUHP-KUHAP. Satu pihak merasa was-was jika wewenangnya untuk menangkap orang dibongsai, pihak lain berupaya memoderasi status perbuatan tercela korupsi sampai ketitik tak lagi menimbulkan kehebohan. Hukum tak lagi menjadi simbol keprihatian dan kebencian kolektif pada setiap yang bernama kejahatan dan pelanggaran, namun telah menjadi sumber perpecahan dan perdebatan yang tak putus-putusnya. Padahal jika semua pihak tegas dan kompak untuk memberantas korupsi, mestinya ia sudah lama lenyap dari bumi pertiwi, karena sejak Sukarno dengan PNPS nya, Suharto dengan UU Korupsinya di tahun tujuh puluh satu sampai eksistensi KPK dewasa ini,rumusan tentang korupsi, hukum, hukum acara dan sanksinya sudah lengkap dan tinggal move on saja. Tapi karena para pelaku korupsi lebih lihai dari pada para penegak hukum , dan juga para penegak hukum sangat rajin berdebat -di masa orba tentang asas legalitas vs asas berlaku surut- maka para tikus keburu kabur menyelinap dan mencuci habis uang hasil korupsinya. Sayang para babu cuci ngga kebagian kerjaan mencuci itu.

Negara Jepang yang juga berusaha untuk disebut up to date dan modern dalam bidang hukum, telah merombak hukum-hukum tradisionalnya di masa Restorasi Meiji. Dalam waktu singkat, kurang dari sepuluh tahun antara tahun 1890-1899, telah selesai membuat hukum dan undang-undang barunya yang mengacu pada hukum Perancis dan Jerman. Konstitusi Meiji 79 pasal, hukum perdata 1046 pasal, hukum dagang 689 pasal, hukum pidana 264 pasal, hukum acara perdata dan hukum acara pidana yang masing 805 dan 344 pasal bisa cepat rampung karena semangat bushido dan harga diri Jepang yang selalu merasa tak mau kalah dengan barat dalam segala hal termasuk dalam perlombaan hukum dan perekonomian. Bandingkan di Indonesia, yang sampai kini tak satupun hukum positif berhasil dibentuk dan berdasar pada palsafah Pancasila yang genuine dan otentik.

Namun harus dicatat, kendati Jepang telah berhasil membuat hukum dengan standar barat itu, namun ia tetap hukum yang dengan rasa Jepang. Dalam kehidupan sehari-hari dan pergaulan kongkrit, hukum barat itu tetap tak bisa diberlakukan secara tegas dan penuh. Bagi orang Jepang, hukun barat yang mereka namai ‘ Kenri’ itu, tetap tak bisa mencakup semua pengertian hukum tradisional Jepang yang disebut ‘ HO’ yang bermakna air, dengan konotasi makna yang banyak, seperti hukum, jalan, cara, arah, alasan dan doktrin. sehingga sebuah hukum kontrak tidak bisa berlaku zakelijk, bagi orang Jepang hukum bisa untuk direnegosiasi apabila diperlukan, prinsip ini mereka sebut ‘ honne’ yang bersumber dari ‘ kokoro’ atau hati nurani.

Di Indonesia mana pernah mempertimbangkan hati nurani dalam berhukum dan bernegara. Kendati selalu menyebut dirinya berbudaya dan berbudi pekerti luhur, penuh rasa dan hati nurani. Bahkan bisa dibilang manusia Indonesia, terutama pejabatnya telah kehilangan hati nurani, atau paling tidak telah tumpul nuraninya. Jika tidak, mengapa masih massif kemiskinan yang disebabkan oleh prilaku korupsi yang terjadi dan tersebar di mana-mana. Mengapa ada pencuri buah atau kutang harus dihukum penjara, dan mengapa banyak koruptor yang masih bebas berkeliaran di dalam dan luar negeri. Kalaupun ada yang telah divonnis, hukumannya tak mencerminkan keserasian antara kesebandingan dan kepastian hukum. Banyak lagi kasus atau masalah yang telah membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang tak punya hati nurani yang peduli dan berempati pada nasib rakyat dan masa depan negara. Duduk sama rendah, berdiri beda-beda, ringan sama dijijing, berat masing-masing, ada sama dimakan tak ada rasa sendiri. Malilu sipamalilu, ra’ba sira’bangang, manus sipelei.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar