Sabtu, 15 Februari 2014

SOSIOLOGI BENCANA

Ada dua fenomena yang aneh dan menarik sebelum Gunung Kelud meletus hebat pada Kamis malam, 13 Februari. Pada hari selasa, 11 Februari dikabarkan sejumlah hewan penghuni hutan mulai turun gunung dan berkeliaran di kebun-kebun sekitar gunung Kelud, antara lain kera dan rusa. Hal itu terpantau di Desa Ngancar, Kediri. Sementara itu, tak jauh dari tempat bergerombolnya hewan gunung tersebut, di SDN Sugih Waras, tampak anak sekolah dalam pakaian seragam putih merah, asyik bermain dan tertawa gembira, seolah tak tahu akan bencana yang segera datang. Padahal menurut keyakian, bahwa bermunculannya hewan-hewan penghuni gunung itu adalah pertanda paling valid akan datangnya letusan Gunung.

Dalam hal ini, tentu ada yang salah. Mestinya pada saat kera dan rusa itu muncul, anak-anak tak ada lagi disekitar Desa ngancar, apalagi bermain-main dengan riangnya. Sebabnya adalah Gunung sewaktu-waktu bisa meletus pada status siaga satu itu. Dalam status waspada, siaga sampai awas, tak ada yang bisa memprediksi kapan gunung akan meletus dan memuntahkan segala isinya. Antisipasi warga pada hari turunnya hewan lucu-lucu dan peka itu hanya mengemas surat-surat berharga dan sibuk meminta pemerintah untuk juga bersedia mengungsikan ternak mereka bila gunung meletus.

Prilaku warga itu tak sepenuhnya salah karena mereka memang hidup dari bertani dan beternak. Jika sawah, kebun dan ternak mereka musnah tentu mereka akan jatuh miskin. Dan jika mereka miskin siapa yang akan menolong dan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Sikap bernafsi-nafsi itu agaknya telah dipicu oleh perilaku pejabat yang tampaknya tak bisa diharap dan dipercaya. Boro-boro akan menjadi sinterklas atau bapak asuh, uang negara hasil pajak dari rakyat saja telah ditilep di mana-mana. Budaya materialisme dan individualisme yang merebak dan menyebar rata di negara tercinta ini boleh jadi adalah imbas dari perilaku korup pejabat yang kehilangan rasa empati dan sifat melayani dan mengayomi. Hal ini dibaca rakyat tiap hari lewat pemberitaan media massa, sehingga menimbulkan budaya takut miskin yang akut. Ketika semua orang mementingkan diri sendiri, keluarga dan golongan bencanapun kian terasa sebagai bencana, bukan sebuah “ Blessing in Disguise” dimana yang sakit akan merasa tambah sakit, yang kehilangan merasa lebih kehilangan.

Kebanyakan kita hanya tampak bergotong royong dan prihatin menghadapi bencana pada hari atau saat bencana itu. Kendati ada yang betul-betul tulus dan ikhlas membantu, mau jadi relawan dan mengambil resiko untuk menolong para warga yang dalam kesulitan, seperti yang telah ditunjukkan oleh para tentara dan komandan Kodim Kediri – mereka yang paling sibuk wara-wiri mengungsikan warga pada Jum’a dini hari pasca letusan. Seandainya kita tanggap sedini mungkin sebelum bencana maka tak akan ada pengungsian yang tergopoh-gopoh dan penanganan bencana secara ‘ad hoc.’ Pada saat terjadinya bencana baru semua membentuk satuan tugas atau pelaksana yang tentu saja kurang dibekali dengan ilmu dan pengetahuan penanggulangan bencana yang memadai, apalagi akan menenangkan hati warga yang pasti cemas dan gelisah tentang pengetahuan selak-beluk atau prilaku Gunung Merapi. Mestinya setiap pemda membuat perencanaan pelanggulangan bencana sejak dini dan mandiri, sehingga bisa mengurangi dampak terburuk bencana sebelum pemerintah pusat atau BNPB turun tangan dan terjun ke lapangan menangani hal-hal yang lebih luas dan mendasar.

Yang juga memprihatinkan, adalah beredarnya hoax atau berita tidak jelas di media-media sosial dan internet tentang akan datangnya letusan yang lebih dahsyat disertai dengan awan panas atau lahar dingin yang hebat. Ini tentu saja menambah keruh suasana dan membuat malam tambah kelam. Seharusnya yang berwajib melacak orang-orang yang suka iseng dan tak bertanggung jawab itu, dan menghukumnya serta memberi efek jera. Mereka itulah yang disebut oleh Ebiet G, Ade dalam salah satu bait lagunya, “ Memang bila kita kaji lebih jauh, dalam kekalutan, masih banyak tangan, yang tega berbuat nista.”

Menghitung-hitung bencana secara kuantitas dan statistical memang perlu guna pertolongan yang lebih tepat dan tertata. Tapi yang juga tak kalah pentingnya adalah sebuah penanganan yang lebih berkualitas, yang lebih masuk ke lubuk jiwa orang pra dan pasca bencana, sehingga kecemasan, ketakutan, tangis dan kesedihan tak berlarut-larut dan berkepanjangan. Dengan sikap empati yang lebih dalam, maka bencana akan menimbulkan sikap sabar dan tawakkal pada Allah SWT. Orang tak akan merasa akan, sedang dan telah memasuki lorong gelap tanpa secercah cahaya di ujungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar