Kamis, 10 April 2014

KUTUKAN MACHIAVELLI


Dalam bukunya ‘ Sang Penguasa’ ( Il Principe ) yang ditulis pada tahun 1512, Niccolo Machiavelli, seorang filsuf politik Italia menguraikan bagaimana seharusnya sikap moral politik seorang raja dalam mempersatuka bangsanya, dalam hal ini bangsa Italia. Dalam mencapai tujuannya, seorang raja sah dan halal untuk melakukan segala cara ( end justify the means). Sepertinya taglinenya ini telah menginspirasi banyak pemimpin-pemimpin di seluruh dunia dari dulu hingga kini. Napoleon Bonaparte, Hitler, Mussolini, dan Stalin adalah icon utama pandangan Machiavellstik itu. Tapi banyak penulis yang memasukkan juga ke dalam daftar murid-murid Machiavelli pemimpin yang dalam sejarah dunia justru dianggap sebagai pahlawan dan pemimpin besar bangsanya, seperti Otto von Bismarck, Lenin, Mao Tze Tung atau Abraham Lincoln.

Impian Machiavelli tentang Italia yang bersatu baru terwujud empat abad sesudah hidupnya ( abad XIX ). Konon Napoleon, dictator Perancis itu, senantiasa menyelipkan buku Sang Penguasa di bawah bantalnya, sama halnya dengan tingkah laku Hitler, Mussolini dan Stalin. Hanya Benito Mussolini salah seorang dari sedikit penguasa negara-negara modern yang secara terang-terangan di depan publik menyatakan rasa kekagumannya atas ajaran Machiavelli. Sedang para pemimpin lainnya tidak atau enggan berterus terang.

Salah satu nasehat politik Machiavelli yang banyak diikuti dan populer adalah, “ seorang raja lebih baik ditakuti dari pada dicintai.” Sebenarnya pandangan Machiavelli ini lahir dari persepsinya tentang dilemma moral yang selalu dihadapi oleh setiap raja dan pemimpin. Ia dalam hal ini berpandangan realistis dan melihat banyaknya bahaya yang bisa muncul dari pilihan-pilihan moral yang ada. Machiavelli menulis,” Seorang raja baru, merasa tidak mungkin menghindari julukan kejam, karena banyaknya bahaya yang ada dalam negara yang baru saja dikuasainya”. Ia mengutip Virgilius yang berkata,” Res dura, et regni novitas me talia cogunt Moliri, et late fines custode tueri.” ( situasi serba sulit, dan kerajaan yang baru memaksaku melakukan hal-hal semacam itu, dan harus mempertahankan garis-garis perbatasan negara di manapun juga) Nah, berangkat dari persepsi negatif tentang manusia yang dikatakan secara konstitutif bersifat plin-plan, penipu, pembohong dan tidak tahu berterima kasih, Machiavelli pun membatin, “ Dari semuanya ini muncullah pertanyaan, apakah lebih baik dicintai atau ditakuti, atau sebaliknya. Jawabannya ialah bahwa orang tentunya menginginkan keduanya, baik dicintai maupun ditakuti ; tetapi karena sulit untuk mempertemukannya, jauh lebih baik ditakuti daripada dicintai, jika anda tak dapat memperoleh keduanya.”

Tambahnya lagi, persahabatan yang dibeli dengan uang dan bukan diperoleh karena jiwa besar dan mulia, memang dapat terjadi, tetapi tidak akan kekal dan menghasilkan apa-apa. Ikatan cinta merupakan ikatan yang mudah putus, karena manusia adalah makhluk yang lemah ; ia akan memutuskan ikatan cinta, kalau itu menguntungkannya ; tetapi rasa takut diamplifikasi oleh kengerian akan hukuman yang selalu efektif. Jadi seorang raja harus membuat dirinya ditakuti sedemikian rupa, sehingga kalau ia tidak ditakuti rakyatnya, setidak-tidaknya ia tidak dibenci.

Bahkan menurut Machiavelli, seorang raja tidak harus mengoleksi di dalam dirinya banyak sifat-sifat baik dan menjadi penganutnya yang setia. Lebih efektif jika ia hanya pura-puran memilikinya, karena pada situasi tertentu kebaikan-kebaikan hanya akan merugikanya. Bagi raja kebaikan atau kekejaman adalah instrument yang bisa efektif dalam menunjang kelanggengan kekuasaannya. Raja mestinya tampak seolah-olah penuh pengertian, setia pada janji, bersih dan alim. “ ia tak boleh menyimpang dari yang baik jika itu mungkin, tetapi ia harus mengetahui bagaimana harus bertindak jahat, jika perlu.” Dan perang akan selalu menjadi keniscayaan demi sesuatu yang dianggap adil, “ Iustum enim est bellum quibus necessarium, et pia arma ubi nulla nisi in armis spes est.” ( Bagi orang yang memang harus berperang, perang adalah adil ; dan bila harapan hanya dapat diraih dengan perang, perang itupun suci) Seorang raja hanya perlu memperhatikan satu hal yang akan membuatnya dibenci atau direndahkan, dan sebisa mungkin untuk menghindarinya, yakni sifat “ rakus atau serakah”. Sifat itu akan mendorongnya untuk menggagahi harta dan istri para bawahannya.

Dalam konteks Indonesia, sifat rakus dan serakah inilah yang telah menjatuhkan banyak pemimpin. Terlalu banyak contoh yang bisa dijejer, korupsi, suap dan skandal seks begitu sering menerpa para pemimpin dan pejabat kita. Rakus pada uang telah menjatuhkan mereka secara public dan terang-terangan, skandal seks yang terbawa angin dari dunia remang-remang, membuat mereka direndahkan, hilang wibawa dan legitimasi moral. Contohnya Aceng Fikri, tapi anehnya, kok bisa jadi caleg DPR ya Sebesar apapun jasa dan bakti seorang pemimpin pada bangsanya, jika ia rajin menilep uang dan harta rakyat, maka cepat atau lambat ia akan jatuh. Rakyat tidak rela susah dan jatuh miskin hanya karena harus terus mentaati seorang pemimpin korup. Rakyat akan merasa muak dan jijik pada seorang pemimpin yang suka main perempuan dan gonta-ganti pasangan, karena menganggap itu identik dengan sifat binatang, dus, tak pantas untuk memimpin manusia. Itulah sebabnya, dulu seorang raja atau mara’dia di Mandar, Tomatindo dimarica telah mati mengenaskan dengan kepala dipenggal oleh rakyat karena telah merebut istri orang, dan suka selingkuh. Kendati telah membebaskan Mandar dari serbuan raja Bone.

Jelas pada kita, bahkan seorang Machiavelli pun yang dianggap memberi ajaran sesat tentang ‘ leadership’ dan telah mempengaruhi banyak pemimpin-peminpin dunia lama atau dunia baru, begitu kekeuh mempertahankan pandangan agar para pemimpin tidak rakus harta dan merendahkan derajat perempuan. Terkait dengan masalah penyelewengan seks, Arnold Toynbee telah berkata. “ Hubungan seks manusia yang terlepas dari kasih sayang dan martabat, menjerumus menjadi pemuasan nafsu hewani, secara spiritual menjadi kenistaan. Pada hewan, reaksi terhadap dorongan sex merupakan hal yang ia tak sadari, sehingga bukan kelaliman, lagi pula, dalam kehidupan sex hewaniah, hubungan kelamin diatur oleh suatu kendala alamiah yang merupakan bagian tak terpisahkan pada hewan itu. Dalam kehidupan manusia, seks tanpa martabat dan kasih sayang bahkan mirip hewan pun tidak ; yang semacam itu bahkan secara spiritual dan moral lebih rendah derajatnya daripada naluri hubungan seks pada binatang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar