Sabtu, 12 April 2014

MATINYA MANUSIA


Puluhan laki-laki dan perempuan dalam pakaian adat, mengantri menunggu untuk mencoblos di TPS 2 Kampung Marengo, Desa Kanekes, Lebak Banten, adalah suku Baduy luar. Yang laki-laki memakai baju dan celana hitam plus lomar, kain yang diikatkan di kepala bermotif batik berwarna biru. Sedangkan para wanita mengenakan atasan berwarna gelap dengan bawahan berwarna cerah. Salah seorang dari mereka mengatakan kepada wartawan bahwa mereka ikut memilih karena perintah adat. Tak ada intervensi dari tokoh adat apalagi mau terpengaruh iming-iming para caleg. Bisa dikatakan daerah mereka adalah steril dari kecurangan atau politk uang.

Fenomena ikut sertanya orang-orang Baduy dalam pileg adalah suatu partisipasi murni yang merayakan identitas tanpa terkoptasi oleh biopolitik yang cenderung menganggap kehidupan adalah “ Bare Life ( kehidupan telanjang) seperti yang diteorikan oleh Giorgio Agamben. Mereka tinggal dalam potensialitas dan probalitas hidup dengan esensi yang menyatu dengan atribut mereka. Tak menjadi aktualitas yang pecah dalam bagian-bagian yang melunturkan kemurnian. Pemerintah seperti kehilangan “ Sovereign Power” atas mereka, mereka tetap dalam singularitas komunitasnya yang jauh dari kepemilikan bersama yang menghancurkan identitas. Mereka dalam pemilu kayaknya berprinsip nothing to loose, ber-que sera-sera, atau dalam istilah Giorgio Agamben, “ Whatever Being.” Sebagai counter atau perlawanan terhadap cakar-cakar politik yang predatorik.

Tak seperti dengan ribuan orang di tempat lain yang bak barisan tak bergenderang dan tak terbendung menuju kamp-kamp penyikasaan dan kekerasaan nyata atau simbolik serta peniadaan hak dan status kemanusiannya. Di arena pileg mereka kehilangan hak kontestasi, membuat perubahan dan politik oleh kuasa uang yang disodorkan oleh struktur politik yang bermata satu seperti bajak laut atau Moshe Dayan, mantan PM Israel yang kejam itu. Kehidupan telanjang yang mereka alami adalah kehidupan yang mau saja dituntun oleh bujukan sovereign power, setelah dilucuti hak-hak sipil dan politiknya oleh kehendak dan ambisi power itu. Mereka tak ubahnya ratusan tahanan dan pesakitan Ikhwanul Muslimin di depan pengadilan militeristik Mesir yang kehilangan hak-hak dan statusnya sebagai warga negara dan manusia yang dengan semena-mena dan secara sepihak dijatuhi hukuman mati langsung atupun in-absentia oleh rezim al Sisi yang bersembunyi di balik pemerintahan sipil, Presiden ad-interim Mansour Adly.

Para pemilih buta dalam kehidupan yang telanjang di pileg kemaren memang tak terancam hukuman mati, tapi mereka telah dilucuti dari atribut kemanusiaan satu-satunya yang masih melekat, yakni kebebasan atau daulat kerakyatan mereka. Dan “ money politik ” sebagai agen pembunuh berdarah dingin itu telah dilakukan dengan terang-terang dan tanpa malu-malu oleh para caleg partai di mana-mana secara massif. Belum lagi bicara dengan pengambil alihan secara brutal hak-hak dan status pemilih dengan cara pencoblosan surat suara yang belum dibuka di TPS-TPS tertentu, dan sejumlah modus lainnya, seperti penetapan DPT atau undangan untuk memilih yang tidak sampai atau diselewengkan. Jadi apa bedanya mereka dengan para tawanan di kamp-kamp konsentrasi yang telah dianggap sebagai “ unlawful enemy combatants ( musuh perang yang tak diakui hukum ), yang diproduksi secara sengaja dan tidak jelas statusnya dalam ranah hukum dan politik, untuk kemudian diperlakukan secara sewenang-wenang dan dirampas hak-hak kemanusiaannya. Dalam pileg, rakyat telah dibunuh secara halus dengan uang dan cinta palsu para caleg, dan nanti bila telah menemukan cintanya yang baru ( harta, tahta dan wanita ) rakyat akan ditinggal nelangsa sendiri dengan harapan yang memudar.

Sejatinya politik bertujuan untuk menciptakan “ good life” atau hidup yang baik dan berkualitas, yang berbeda dengan “ natural life” ( kehidupan liar yang biasa-biasa saja ), begitu kata Aristoteles yang telah dianut selama berabad-abad. Jadi rakyat mestinya dalam pemilu ini berpartisipasi penuh dengan tanpa restriksi dan tipuan untuk turut menentukan nasib bangsa ke depan. Dalam masyarakat politik “ madani” menurut konsepsi mantan PM Malaysia, Anwar Ibrahim , hukum dan moral harus dianut dan melindungi setiap warga negara untuk bisa mengeluarkan suaranya secara bebas tanpa intervensi dan pencekalan dengan cara apapun, agar bisa melahirkan para pemimpin yang juga menghargai hukum, keadilan dan martabat manusia.

Namun yang terjadi pada pileg tanggal 9 april kemaren adalah hadirnya sebuah pertunjukan teater dimana aktor-aktor antagonislah yang menguasai panggung dan memenangkan pertarungan serta merebut simpati penonton. Penonton terkesima oleh wajah mereka yang ganteng dan ‘good looking’ daripada para protagonist panggung. Padahal mereka hanya mengenakan topeng yang menyembunyikan wajah mereka yang bopeng-bopeng dan penuh ambisi atau libido politik yang setinggi gunung. Mereka tak ubahnya Brutus yang setelah mengkhianati Julius Caesar dan membunuhnya, lalu berkata “ Bukan karena tak cinta pada Caesar, tapi karena cinta pada Roma.” Dan rakyat adalah Caesar sang penguasa republik dan protagonist demkorasi yang telah mengalami apa yang telah dikatakan oleh Giogio Agamben, “ Manusia modern adalah hewan yang keberadaannya sebagai makhluk hidup dipertanyakan oleh politik.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar