Minggu, 30 Maret 2014

PERIODISASI DAN KRITIK SASTRA

Ada yang menarik untuk dibahas dari kiriman saudari Alvi Yanita tentang sastra di kojama, yang mengangkat sebagian periodisasi sastra Indonesia yang berawal dari eksistensi Sastra Melayu Rendah, jaman Balai Pustaka sampai masa Pujangga Baru. Sebenarnya periodisasi sastra adalah masalah yang selalu problematis dan memunculkan banyak polemik karena ketidak akuratan untuk menetukan criteria tentang tokoh, jenis atau genre sastra yang mewakili satu periode tertentu. Sejatinya upaya membuat periodisasi hanyalah kerjaan orang yang sok mau dikenal sebagai paus sastra yang bisa mencetak sejarah sastra, sekaligus berhak melantik atau menobatkan seorang sastrawan jadi raja atau menjatuhkan reputasi sastrawan tertentu dengan kritik dan penilaian yang sangat bersifat subjektif.

Kecendrungan like and dislike akan selalu terjadi dan tak terhindari. H.B. Jassin telah begitu leluasa membuat kotak-kotak sejarah sastra, mengkatrol dan membongsai para tokohnya dengan memberikan ponten tinggi atau rendah terhadap karya sastra tertentu. Bagi H.B. Jassin tak ada sastrawan yang bisa melebihi nilai sastra Khairil Anwar. Apapun yang ditulis Khairil dalam puisinya, tak perduli sebagai ungkapan yang bernada omelan dan makian ala budaya Kankergeest orang Belanda yang suka mengerutu dan mengomel, akan tetap dinilai sebagai sastra. Sikap kepenyairan Khairil yang mutlak-mutlak-an dan arogan akan dicatat dengan tinta besar. Maka ketika Khairil mengomel “ dalam soal puisi yang lain adalah monyet’ atau ‘ yang bukan penyair tidak ambil bagian’, hal itu akan dianggap sebagai bukti konsisitensi dan profesionalisme dalam sastra, khususnya perpuisian. Karena opini yang dibuat secara konstan di majalah sastra Kisah atau dalam buku-buku karya HB Jassin tentang Khairil Anwar, maka kecendrungan plagiatoris dan membebek Khairil pun tertutupi atau direlatifkan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sajak Krawang-Bekasi karya Khairil adalah plagiat karya penyair Amerika, Archibald Mac Leish, “ The Young Dead Soldiers Don not Speak. Dan siapapun telah mafhum bahwa Khairil itu banyak dipengaruhi dan mengambil ide-ide penyair Belanda, Marsman dan Slaurhoff. Saya pribadi adalah pengagum banyak karya-karya Khairil Anwar dengan kecendrungan tak mendewakannya.

Dilain pihak sastra karya orang Tionghoa dan Belanda yang banyak berpihak pada nasib bangsa Indonesia yang dijajah dan diperas oleh Belanda, dianggap sastra Melayu Rendah. Dan oleh pihak Belanda yang mendirikan Balai Pustaka, sastra melayu rendah itu dianggap sebagai produk kesusastraan yang tidak menggunakan varian linguistik Melayu Riau sebagai tidak standar, rendah, cabul, dan liar.
Alasan sepele yang digunakan Balai Pustaka ketika itu adalah karena karya sastra peranakan Tionghoa itu lebih banyak berisi roman picisan. Maksudnya, selain berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, karya tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah yang tidak bisa dijadikan untuk perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia yang ketika itu menggunakan karya sastra Melayu Tinggi. Walaupun, banyak dari karya sastra Melayu-Tionghoa dari segi bahasa ataupun isi tidak kalah dengan karya sastra yang dianggap representatif oleh Balai Pustaka.

Namun, karena karya-karya tersebut lebih banyak menyoroti kondisi realitas kebusukkan yang terjadi di masyarakat akibat kolonialisasi, hal itu membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda. Terlebih lagi, Cikal bakal Balai Pustaka adalah Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volklectuur) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 untuk membendung atau menghadang bangkitnya kesadaran nasional yang pada tahun 1917 komisi ini berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur). Dikenal dengan Balai Pustaka.

Yang aneh juga, mengapa pihak Balai Pustaka menarik batas permulaan periodisasi sastra Indonesia sejak 1870 sebagai sebagai tahun munculnya angkatan Sastra Melayu lama, di mana sastra melayu rendah masuk di dalamnya. Catatan sejarah ini seperti hendak mengabaikan atau mencoret eksistensi sastra yang heroik dan anti penjajahan dari seorang pengarang Belanda, Multatuli atau Douwes Dekker,” Max Havelaar’. Seperti diketahui, Max Havelaar yang terbit pertama kali pada 1860, mengandung kutukan terhadap kolonialisme, ketidak pedulian sosial, pandangan sempit kelas menengah dan materialism yang kasar pada jamannya. Walau Max Havelaar dipuji dn dikagumi oleh sosok-sosok Vitus Bruinsma, J.C. Brandt Corstius, Karel Jonckheere, Josine WL Meyer, tapi dua kritikus Belanda telah mengecam Multatuli dengan mengatakan bahwa Multatuli tidak punya hak untuk mengecam pemerintahnya, karena dia sendiri tidak punya landasan moralitas yang kuat. Sedangkan J. Saks menyinggung pribadi Multatuli dengan menyatakan bahwa pengarang itu tidak berjiwa stabil dan ia orang yang selalu ingin berada di pusat perhatian orang. Namun di atas segalanya, Multatuli tidak masuk dalam daftar sastrawan lama karena dianggap telah memusuhi dan mengancam eksistensi Penjajah Belanda.

Mengapa pula kita tak melihat nama Vincent Mahieu dengan karyanya ‘ CIS’ yang justru telah diterjemahkan oleh Paus sastra kita H.B. Jassin, di dalam salah satu kurun jaman sastra Indonesia. Padahal nilai literer karya Vincent pasti tak meragukan lagi, karena telah diterjemahkan oleh pakar sastra yang juga telah menterjemahkan Al-Qur’an menjadi ‘ Qur’an Bacaan Mulia’, walau memunculkan kontroversi. Dalam kumpulan ceritanya yang disebut dongeng, Tjoek dan Tjies, Vincent dengan tajam dan cerdas telah menyorot dan meliput kehidupan dan budaya kaum Indo atau pribumi di masa mooi indie yang penuh romantisisme dan impian dunia ideal, meski juga secara realistis telah melukiskan watak-watak asli para protagonisnya yang cenderung ambivalen dan emosional sebagai penggambaran dari cara berpikir orang Belanda yang kerdil ( Hollands Denken ) yang berkolaborasi dengan Fatsoen-fatsoen kehidupan yang penuh basa-basi dan mementingkan aspek lahiriah. Dalam sebuah episode Cis, ‘ Berburu’ kita akan temui ungkapan yang menunjukkan watak orang Belanda yang suka mengomel dan menggerutu ( kankergeest )” Der Britte im Bunde ist ein Scwein” ( Dalam suatu persekutuan orang ketiga adalah babi).

Dalam sejarah sastra Rusia awal abad ke 20, orang hanya mencatat kebesaran Anton Chekov dan Maxim Gorsky. Tapi justru Ivan Bunin yang kurang dikenal di dalam dan luar negeri telah menjadi satu-satunya penulis Rusia yang mendapat Hadiah Nobel untuk kesusastraan di masanya. Pengarang yang low profile dan tak suka publikasi ini mampu mengatakan sebanyak-banyaknya dengan kata-kata se-dikit2nya adalah pengarang yang mampu keluar dari jebakan tradisi bangsanya, dan hegemoni sosial kaum Bolshevik, bahkan menantangnya, lalu melukiskan derita manusia yang abadi dan universal tentang kesepian dan ketidak mampuan manusia menghadapi maut. Sikap sosial dan politiknya jelas, ia melawan komunis dan pergi meninggalkan Rusia, negara yang dicintainya, dan tak kembali lagi.

Jadi kerja mengkritik atau memilah-milah, mendudukkan dan memasukkan seorang sastrawan pada posisi dan jaman tertentu adalah absurd. Apalagi menggolongkan satu karya atau periode lebih rendah dari yang lain dengan metode analisis yang rasional-subjektif , adalah kemustahilan yang absolute. Sebuah karya sastra atau seni itu terutama adalah masalah batin, sebuah rahasia, sebuah problem kepercayaan. Tapi sebuah karya tak ada yang tak bisa dipahami sama sekali. De Chirico, seorang pelukis terkenal dengan gagah mengatakan,” Hanya ada satu orang yang mengerti lukisan saya, dan dia adalah saya sendiri.” Betapapun, setiap penulis punya pendukung, dan itulah yang seharusnya menjadi batu penjuru baik atau buruknya, bagus atau tidaknya sebuah karya sastra. Dotoyevsky mengatakan “ Aku selalu mendapat dukungan dari pembacaku, tapi tidak dari para kritikusku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar