Minggu, 12 Desember 2010

MUDIK ATAU RETREAT ( SEBUAH PERSPEKTIF )

MUDIK


Mudik bagi ummat Islam, berarti orang kota pulang berlebaran ke desa menemui orang tua dan kerabat. Atau pulang ketempat yang asal ( primordial ) dan kembali ’Fitri’. Mudik adalah prosesi menjalani tradisi untuk melengkapkan rangkaian ritual peribadatan Puasa di bulan Ramadhan.

Namun dalam pengertian umum, mudik sejatinya adalah nyanyian kemanusiaan sepanjang jaman dan bersifat universal. Dimanapun atau kapanpun Kota kehilangan watak dasarnya sebagai tempat persemaian peradaban dengan sifat2 ramah, manusiawi dan perduli, maka secara serentak orang akan ramai-ramai meninggalkan kota, baik secara fisik maupun batin.

Tapi kota, terutama yang metropolis, senatiasa akan mempunyai watak-watak yang asing bagi jiwa manusia. Ironisnya sifat asing itu kebanyakan lahir dari kerja dan otak manusia sendiri, berupa mesin-mesin organisasi2 rigid, kaku dan overdirected. Ciptaan manusia inilah yang justru mengasingkan manusia dari kesejatiannya, bahkan manusia telah diperalat oleh ciptaanya sendiri.

Mesin-mesin telah melimpahi manusia lautan materi, kenikmatan dan kenyamanan, namun pada akhitnya megap-megap kepayahan didalamnya. Keberadaan mesin2 dan pabrik adalah symbol kekalahan manusia dari anak kandung peradabannya. Mesin telah menjadi kekuatan dominan saat ini. Dominasi mesin (technologi) ini, telah digambarkan secara ekstrim oleh Lewis Munford ”With no goals but it’s on ceaseless expansions and implation has broken down the continueties of history”.

Dalam dunia mesin dan organisasi itulah manusia merasa asing dan termekanisasi lalu kehilangan kebebasan dan kreativitasnya. Disaat manusia kehilangan diri dan terancam di kota, maka fenomena mudik (Retreat) pun merebak dimana-mana. Hanya saja sikap manusia dalam memaknai fenomena mudik berbeda-beda. Ada yang beranggapan mudik atau retreat adalah cara abadi untuk melepaskan diri dari jerat modernisme akut. Tak mungkin lagl ada rekonsiliasi antara kehidupan natural di desa atau alam dengan kehidupan yang kompleks di kota.

Pandangan serba negatif terhadap kota ini akan melahirkan sikap2 Escapisme. Ekspresi penentangan terhadap landscape urban industrial begitu refulsif. Bagi meraka kota adalah keburukan, kebisingan, udara yang terkontaminasi, disorganisasi sosial,inkoherensi dan ketidakberdayaan individu.

Sikap escapisme, biasanya akan berimplikasi sosial dan politik seperti munculnya paham2 ekstrim bernuansa lingkungan dan keagamaan spt paham agama semu dan aliran sesat.

Namun kebanyakn pelaku mudik dalam arti luas (retreat) akan mengalami tiga tingkat kesadaran yang selalu berulang-ulang, retreat, tinggal di desa (alam) lalu balik ke kota. Hanya sedikit orang yang benar-benar memutus hubungannya secara total dengan kota.

Pertama, mudik atau retreat dimulai dengan keinginan menjauh dari masyarakat yang begitu kompleks dan terorganisasi secara ketat, dimana ia merasa terasing. Hidup seperti didominasi dan ditekan oleh sistim nilai-nilai yang mekanistik,rutinitas yang menjemukan dan ketidak jelasan makna dan tujuan hidup. Ketidak mampuan menghubungkan pengalaman batin dengan lingkungan kota inilah yang menimbulkan hasrat untuk pulang ke desa atau alam.

Kedua, manusia mulai mengeksplorasi kemungkinan cara hidup yang simpel dan penuh harmoni di desa. Selama episode ini, yang seorang ahli menyebutnya ” Moment Of Spiritual Exaltasion”, manusia menikmati perasaan damai, tenang tentram, bebas dari kecemasan, kecemasan dan komplik. Akan tetapi disini manusia juga merasakan ketidak mungkinan hidup diluar batas-batas masyarakat normal.

Pada tahap ini manusia merasakan ancaman keterbatasan alam dan desa dalam menopang kehidupannya. Keterpencilan dan ketakberdayaan mulai mengganggunya. Pengalaman spritual di alam bebas dan pengalaman psikis di desa justru menimbulkan ketakutan baru. Manusia segera menyadari bahwa penyembuhan yang membuta dari peradaban bisa menghancurkan. Kini ada dua kekuatan yang menjadi musuhnya; ekses buruk peradaban dan kehidupan alam yang liar dan anarkis.

Kedua insight tsb membawanya ketahap ke tiga atau fase terakhir tindakannya. Setelah menemukan keterbatasan2 dan masalah selama retreatnya, manusia memutuskan kembali ke kota atau kemasyarakat.

Di kota, manusia kembali manjalani kehidupan biasa dan normal dengan segala kewajiban dan tanggung jawab, betapapun tidak sempurnanya. Manusia harus menerima konsekwensi2 kekotaan dan berusaha merenovasi ”kekitaan” yang pecah oleh turbulensi modernisme. Dengan menerima kenyataan dirinya hanya insan biasa dan lemah, lalu kemudian berusaha menyempurnakan kemanusiaannya, ia akan terhindar dari kecendrungan nihilisme dan absurditas.

Para pemudik lebaran yang berjumlah jutaan, masuk dalam kategori positif retreat ini. Pulang kampung adalah untuk merealisasikan  kefitriannya, menemukan akarnya yang tujang, menyungkemi para tetua, melarutkan dan menghanyutkan dosa-dosa dan kesalahan dan merayakan kemenangan. Lalu setelah itu kembali ke kota, kembali kemedan perang kehidupan dengan segala kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengukir dan mengawal peradaban. Mudik atau retreat tanpa semangat keagamaan yang benar adalah tersesat dua kali, di kota dan di desa.

Robert Prost – penyair Amerika – memandang fenomena retreat atau mudik sebagai ” A Momentary Stay Of Compulsion”. Prost telah mengekspresikan sikapnya itu dalam sajak klasiknya “ Stopping by Woods on a Snowy Evening “. Pada bait terakhir ia menulis “ The woods are lovely, dark and deep / But I have promises to keep/ and miles to go before I sleep / and miles to go before I sleep.



Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin


Jakarta, 30 Oktober 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar