Senin, 21 Juli 2014

ISLAM, MANDAR DAN BUDAYA



Bukanlah sebuah apologia jika dikatakan bahwa Islam adalah agama yang benar-benar sesuai dengan dengan zaman dan tempat ( salihli kulli zaman wa makam), tak ada yang mengatasi ( wa la yu’la alaih). Dan ummatnya adalah ummat terbaik (kuntum khairu ummah khuriat linnaas). Segala yang baik dan positif itu ada karena Islam memang agama yang selalu punya concern pada kebaikan dan anti pada keburukan ( ta’muruna bil ma’ruf wa yanhauna anilmungkar). Ibnu Taymiyyah pernah mengatakan bahwa dari smua agama, Islam adalah yang paling sukses dalam memelihara Tawhid, visi keilaahian atau rabbaniyah yang ada pada Islam ( tu’minu billah) sungguh tak tertandingi, sehingga membuat semuat seterunya berlomba-lomba untuk memadamkan cahayanya dengan berbagai cara.

Bangsa-bangsa barat dan terbaratkan – Belanda, Portugis atau Jepang- melakukan proyek imperialism dan kolianilisme yang ditumpangi dengan misi Gold, Gospel dan Glory. Kaum zionis and the gangs melakukan provokasi dan pelecehan dimana-mana, terutama di Palestina yang selalu menjadi bulan-bulanan nafsu amarahnya. Dan musuh-musuh Islam sejak dulu sampai kini tiada henti memproduksi wacana dominan dalam ranah budaya untuk memberi gambaran Islam yang kumuh, terkebelakang, miskin dan bodoh (Islam is de godsdienst van de armen en verdrukten).

Bahkan ada sterotipe orang Barat tentang Muslim yang masih terjaga dan terawat hingga kini bahwa Islam dahulu disebarkan dengan pedang dan kekerasan oleh pasukan serdadu Arab fanatik yang memegang Qur’an di tangan kiri dan pedang di tangan kanan.” Terhadap wacana gila yang berkembang ini, seorang orientalis barat sendiri, Bernard Lewis dalam bukunya ‘The Jews of Islam’ telah membantahnya : Stereotip itu tidak saja keliru, tapi juga mustahil. Keliru, karena kaum muslim Arab tidak pernah memaksa siapapun, kecuali kaum musrik untuk masuk Islam. Mustahil, karena tabu bagi orang Islam mengangkat kitab sucinya dengan tangan kiri, sebab berarti menghina. Dan jika dibalik, tentu lebih mustahil lagi, karena berarti pasukan Islam dulu terdiri dari prajurit yang semuanya bertangan kidal ( left handed)

Tidak usah jauh-jauh, di Mandar kita sering mengutip dan tergantung pandangan penjajah atau sarjana asing dalam mendeskripsikan agama, budaya dan sejarah Mandar. Dari mulai kehidupan dan intrik-intrik di Istana sampa kehidupan orang-orang marginal dan terpinggirkan, seperti para nelayan dan kaum miskin. Dalam menuliskan Mandar, mereka sering hanya melakukan framing yang mengedepankan angle tertentu yang serba negatif. Memberi label-label tertentu yang penuh muatan ideologis, dengan hasrat untuk melestarikan hegemoni dan dominasinya. Tujuannya adalah agar mereka punya justifikasi untuk melakukan misi pembudayaan atas etnik atau budaya yang digambarkannya masih primitif atau barbarian.

Dalam buku Ensiklopedi Mandar yang ditulis oleh Suradi Yasil, kita akan menemukan deskripsi Nooteboom C 1912 yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda, ‘ Nota van Toelichting Betreveffende het Landschap Balangnipa’ Dalam deskripsi yang tendensius dan bias tersebut antara lain tertulis penggambaran tentang agama : Secara nama seluruh Balanipa telah diislamkan kecuali beberapa kelompok suku, tetapi dalam keadaan yang sebenarnya, Islam pada hakekatnya belum dapat menembus sampai kepada rakyat, dan masih dijumpai orang-orang dengan kebiasaan-kebiasaan menyembah berhala seperti dahulu kala…..Upacara kelahiran : Dalam hal upacara, apabila janin telah berusia 7 bulan dilakukan upacara. Upacara berlanjut terus sampai pada hari kelahiran sebagai acara puncak. Apabila muncul malapetaka maka orang menyalakan api besar di muka pintu, untuk merintangi arwah masuk rumah. Di dalam rumah semua orang duduk mengunyah kunyir dn meludahkannya dimana-mana, untuk mengusir setan pergi yang sedang berada di dalam rumah….”

Gambaran tentang Islam yang sinkretis itu juga muncul pada setiap etnik di Nusantara. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Islam secara umum belum tertancap dalam dan merasuk ke lubuk hati kaum muslim. Dus, bukanlah faktor transformatif yang mengarahkan ummatnya menuju ke pada kemajuan dan kesejahteraan. Deskripsi yang seolah mengakrabkan Islam dengan budaya lokal, sebenarnya bermuatan ideologis dan politik budaya tertentu, agar terjadi benturan antara Islam dan adat budaya. Dan itu dilakukan secara sistematis dan terencana. Hasilnya adalah, orang Islam kini banyak yang berceloteh tentang substansialisme Islam, anti formalis dan simbolisme Islam. Seolah Islam itu bukan entitas budaya yang juga punya karakter dan ciri khas yang tampak dari atribut-atribut lahiriahnya seperti Jilbab, bendera, bentuk dan kubah masjid, lebaran, upacara, perikelakuan dan tindakan, bahkan simbol partai. Memarkir semua simbol-simbol Islam dari rakyat kecil dan dari ruang publik, berarti membuat Islam jadi tidak membumi dan asing bagi masyarakatnya. Padahal Islam juga berhak bicara dan bergelut di ranah budaya yang sarat simbolisasi dan pagelaran karatkter dan ciri-ciri khas itu. Kalau begini keadaannya, pantaslah partai-partai Islam selalu kalah dan terpinggirkan, paling banter menjadi partai mediocre.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar