Selasa, 06 Januari 2015

Cerita Rakyat MAMASA : RODAN-RODAN

Dahulu kala ada sebuah cerita bernama cerita Rodan-Rodan. Roda-Rodan berjalan mengelilingi kampung sambil membunyikan gendang. Ia memukul gendang di sepanjang jalan yang dilalui sembari berteriak-teriak. Tiga kali ia mengelilingi kampung hingga akhirnya ada yang tertarik membeli gendangnya seharga sebuah kerbau.

Kemudian ia berjalan lagi ke sana ke mari menarik kerbaunya. Rodan-Rodan menawarkan kerbaunya. Akhirnya ada yang mau membarternya dengan parang tua. Lalu Rodan-Rodan membawa parang itu sambil menawarkannya kembali untuk dijual. Tiba-tiba ia melihat seorang tukang yang sedang membuat dulang. Tukan dulang mempunyai sebilah pisau yang bagus. Maka bertanyalah Rodan-Rodan,” Saya sangat suka melihat pisau itu. Sudikah bila pisau itu kutukar dengan parang tua?” Mendengar tawaran itu tukang dulang pun setuju.

Setelah Rodan-Rodan menukarkan parang tua dengan sebilah pisau, ia pun berjalan-berjalan ke sana ke mari lagi. Tidak berapa lama, ia bertemu dengan seorang penganyam nyiru. Berkatalah Rodan-Rodan,” Berikanlah nyirumu itu, saya tukar dengan pisau. Penganyam nyiru itu tanpa pikir panjang mengambil pisau Rodan-Rodan, lalu digantinya dengan sebuah nyiru pembersih beras.

Seusai Rodan-Rodan menukar pisau dengan nyiru, ia pun melanjutkan perjalanannya. Sejurus kemudian, ia bertemu pula dengan seseorang yang sedang menumbuk padi. Ia pun mendekat untuk meminta beras penumbuk padi itu. Permintaannya itu dikabulkan oleh penumbuk padi. Lalu diberikannya dua cupak beras.

Simpulan dan Tafsir

Kisah Rodan-Rodan ini, bagi orang tua di Mamasa dulu dijadikan nasehat dan pesan agar setiap orang menghindar dari perbuatan Rodan-Rodan yang mengubah barang berharga menjadi tidak bernilai. Sastra lawas yang bernama cerita rakyat memang selalu mengandung amanat dan bersifat didaktik. Bersastra masih jauh dari pretensi untuk berekspresi secara pribadi atau untuk beromantik-romantikan. Semua isi sastra klasik bermuatan petuah, nasehat, atau petunjuk hidup.

Jika dipikir lebih jauh maka apa yang dilakukan Rodan-Rodan dan yang terjadi padanya adalah semacam misteri, mengandung hal gaib yang tak bisa dijelaskan secara rasional. Mungkin hanya Rodan-Rodan atau penulisnnya yang faham dan tahu pasti apa maksud dibalik pertukaran yang tidak seimbang dan menguntungkan itu. Menukar kerbau dengan sebilah parang tua tentu sebuah tindakan bodoh dan absurd. Tapi nenek moyang kita punya cara melihat benda yang berbeda dengan kita. Nilai suatu benda bagi mereka tidak saja dari segi mamfaat dan fungsinya tapi juga dari segi tuah atau mananya ( kekuatan). Sebuah benda atau barang tertentu diyakini pasti memiliki penunggu atau roh yang bisa memberi kekuatan gaib atau berisi tuah pertolongan dan perlindungan. Ini adalah ajaran dinamisme atau animisme. Dari perspektif ini, maka nilai gendang adalah yang paling teratas seperti yang termaktub di dalam kisah di atas. Di Mamasa ada sebuah gunung yang bernama Ganda Dewata atau gendang para dewa yang sangat sakral dan mistis. Diyakini jika gendang berbunyi dari puncak gunung maka akan nada orang yang meninggal di lereng atau di sekitar gunung.

Dalam masyarakat tradisionil alat-alat musik atau bunyi-bunyian punya pungsi mistik. Ada yang punya kekuatan untuk memanggil roh halus atau para dewa. Di jaman dulu, orang Jawa meyakini genta sebagai cikal bakal gamelan oleh dewa utama bisa dipakai memanggil para dewa untuk berkumpul. Bagi orang Jawa semua alat musik yang ada dalam rombongan gamelan mempunya makna dan nilai sakral. Tidak boleh memperlakukannya dengan sembarangan atau melangkahinya. Sebelum dibunyikan harus dimantrai dulu

Di Makassar hingga kini gendang punya banyak arti dan maksud. Dalam pesta perkawinan, ketika pengantin berjalan beriringan menuju pelaminan, gendang atau ganrang wajib ditabuh bertalu-talu dalam irama “ Pakanjara” , tujuannya untuk mengusir roh-roh jahat, pengganggu dan perusak. Tentu saja disublimasikan lagi dengan bunyi pui-pui yang misterius. Di Makassar Para pemimpin sanggar, seperti Dg Mile memiliki gendang khusus untuk dirinya dan sangat sakral yang disebut pa’tabba. Gendang itu, terang lelaki yang pernah memimpin pakarena di Gedung putih Amerika Serikat, adalah salah satu kebesaran dan kebanggaan bagi pemilik atau sanggarnya. “Gendang itu kalompoang jadi tidak bisa dimainkan oleh orang yang di luar sanggar,” terangnya.

Ditinjau dari pandangan masyarakat lama yang serba roh kita bisa memahami mengapa Rodan-Rodan mau bertindak membarter gendangnya dengan kerbau yang bagi masyarakat Mamasa kerbau juga sangat bernilai, ditukar lagi dengan parang tua, dan seterusnya sampai menjadi secupak padi. Bagi orang Toraja Mamasa, padi juga sebuah asset dan milik yang sangat bernilai serta terkait erat dengan kepercayaan aluk todolo mereka.

Mungkin kita bisa menafsirkan tindakan barter beruntun Rodan-Rodan yang tadinya punya gendang akhirnya mendapatkan beras adalah sebuah simbol peralihan secara evolutif kehidupam manusia, dari kehidupan tradisional ke yang lebih modern dan pragmatis. Gendang adalah simbol budaya tradisional. Tak ada budaya etnik di Nusantara yang yak memiliki perangkat gendang. Sedangkan beras adalah simbol kemajuan dan kemakmuran. Bangsa-bangsa yang maju sekarang seperti Jepang, Amerika Serikat bahkan Indonesia mengawali pembangunan dan penumpukan dananya dari sektor pertanian yang iconnya adalah padi atau beras. Sedangkan kerbau, parang dan pisau adalah peralatan yang harus dimiliki oleh para petani. Walalhu ‘Alam Bissawab.


4 komentar:

  1. Luar biasa ceritanya. Tafsirannya keren dan menggairahkan. Terimakasih. Ada cerita lain lagi?

    BalasHapus
  2. TOP the ceritanya, sampai-sampai tidak sadar kalo sudah selesai.

    BalasHapus
  3. Ada kah cerita rakyat berbahasa mamasa

    BalasHapus