Sabtu, 19 Juli 2014

PUASA, TAQWA DAN RAHMAT ALLAH

Tujuan berpuasa adalah agar mu’minin dan mu’minat dapat menjadi orang yang bertaqwa ( Al Baqarah ayat 183). Lantas apakah arti kata taqwa itu? Secara bahasa taqwa berarti memelihara, melindungi atau menjaga. Kita diharapkan untuk selalu bisa memelihara atau melindungi diri kita dari perbuatan maksiat dan dosa, menjaga seluruh lahir batin agar tak melakukan apa-apa yang dilarang, tapi menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. Dalam konteks puasa, bahkan dianjurkan untuk senantiasa menjaga lisan dari perkataan sia-sia, mata dari pandangan jalang, serta hati dari prasangka yang bukan-bukan. Semua itu untuk menuju kesempurnaan amal ibadah puasa yang pada gilirannya bisa menjadikan kita insan dengan kategori taqwa.

Taqwa menurut Umar bin Khattab adalah ‘ berhati-hati’ dalam melangkah agar tak tergelincir di jalan licin dan penuh onak duri. Sedangkan Rasulullah SAW membagi taqwa dalam tiga sifat yakni, Taat, ingat dan syukur. Dan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasulnya, sedangkan peminpin atau ulil amri bersifat kondisional. Jika pemimpin baik dan amanah ya ditaati, jika tidak dilaknat. Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah ( Athiullah, wa athiul rasul, wa ulil amri minkum). Dzikrullah dan syukrillah adalah prasyarat takwa yang lain, jika sifat dan prilkau itu tak ada pada diri mukmin, maka takkan ada kesempurnaan taqwa. Mengingat Allah harus dilakukan dimanapun dan kapanpun, sedang bersyukur pada karunia Allah harus punya dimensi horizontal yang melingkupi rasa syukur pada yang datang dari sesama manusia.

Man lam yaskurinnas, lam yaskurillah, jika tak mensyukuri nikmat dari sesama manusia, maka termasuk tak mensyukuri nikmat Allah. Di sini tekanannya adalah An naas, bukan muslim, jadi darimana pun datangnya suatu nikmat, rejeki dan kebaikan, dari sesama muslim atau non muslim, harus disyukuri. Kita yang bekerja pada perusahaan milik non muslim misalnya, mesti menghargai, bahkan mensyukuri gaji, bonus dan insentif apapun yang mereka berikan. Karena kebetulan rejeki dari Allah untuk kita melalui tangan mereka. Inilah makna Islam sebagai rahmatan lil alamin. Mukmin dan muslim tidak hanya harus membina Ukhuwah Islamiyah, tapi juga Ukhuwah Basyariah, persaudaraan antar sesama manusia dan anak cucu Adam.

Kita semua telah mafhum bahwa puasa dibagi atas tiga tingkat atau fase. Sepuluh hari pertama adalah puasa yang penuh rahmat Allah, sepuluh hari kedua adalah puasa yang sarat dengan maghfirah atau ampunan Allah, dan sepuluh yang terakhir adalah saatnya beroleh pembebasan dari api neraka. Tentu saja semua insentif dan opportunity dari Allah itu tidak tanpa syarat. Kalaulah sepuluh hari terakhir puasa yang akan kita jalani esok, kita jalani dengan sempurna, dalam arti kita berpuasa dengan baik dan benar, bertaraweh, bertadarus serta senantiasa berittikaf dan bersedekah, belum tentu kita secara otomatis akan beroleh kemenangan atau akan terbebas dari api neraka. Berapa sih usia yang kita habiskan untuk beribadah dan takarrubminallah, paling banter seratus tahun, itu kalau sampai.

Malaikat pernah bercerita kepada Rasulullah tentang seorang di masa lalu yang bisa mencapai usia lima ratus tahun. Dan semua usianya dihabiskan untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dia mengira bahwa dengan begitu ia pasti masuk surga dan menafikan rahmat Allah, dan ternyata bagiannnya adalah api neraka. Hikmah yang kita bisa petik dari kisah di atas adalah, beribadah dan beramal salehlah dengan ikhlas dan rendah hati serta berharap senantiasa pada ridho Allah, jangan sekali-kali menyombongkan diri dengan semua ibadah yang telah kita lakukan, kecuali berharap pada rahmat Allah semata. Kita akan masuk surga atau neraka nanti adalah sangat tergantung pada rahmat-Nya. Wallahu ‘alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar