Sabtu, 19 Juli 2014

MANUSIA SATU DIMENSI

Di abad pertengahan, sebelum masa renesans atau abad-abad rasional manusia, ada adagium yang berbunyi,”extra ecclesiam nulla salus” (di luar gereja tidak ada keselamatan). Sedangkan pada masa renesans hingga kini telah muncul ungkapan yang tidak kalah absolutnya oleh para ilmuwan,”extra scientiam nulla salus” (di luar ilmu pengetahuan tidak ada kebenaran).

Jika abad pertengahan sering dikatakan sebagai abad-abad penuh mitos, maka era renesan, humanisme serta aufklarung juga telah dipenuhi oleh mitos-mitosnya sendiri yang bersumber pada pemujaan rasio manusia dalam manifestasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Rasionalisme akut yang dipicu oleh pernyataan Descartes ‘Aku berpikir maka saya ada ( cogito ergo sum) telah memunculkan rezim totaliter dan dominatif yang baru, namun tak disadari sebagai demikian dalam waktu yang lama. Rezim ilmu yang juga sering disebut rezim saintisme, telah melahirkan paradigm positivisme yang dicetuskan oleh August Comte yang sangat berkuasa dan refsresif sehingga telah membelenggu manusia dalam pengaruhnya yang bukan saja bercokol di dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti seperti matematika, kimia, fisika, biologi atau fisika sosial. Tapi kemudian telah merambah dan berkecambah di dalam ilmu-ilmu sosial dan para ilmuwan sosial pun rame-rame menggunakan metode ilmu-ilmu alam dalam proyek-proyek penelitian mereka terhadap gejala-gejala manusia termasuk politik. padalah Hannah Arentd telah mewanti-wanti bahwa “dalam politik tak ada yang lebih sering terjadi selain dari yang tak terduga”

Maka terjadilah arogansi paradigma positivistik, yaitu cara pandang yang melihat bahwa yang modern harus positif, pasti, dan tak menimbulkan tafsiran-tafsiran yang berbeda. Dasar pertimbangan kaum positivistik adalah bahwa gejala manusia pada prinsipnya adalah sama dengan gejala-gejala alam lainnya, seperti angin, air, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian penjelasan causal terhadap gejala manusia adalah mutlak adanya.

Ketika muncul hasil dan tafsiran yang berbeda terhadap hasil pilpres berupa quick count dari beberapa lembaga survey, maka terjadilah kekisruhan dan thruth claim, di mana masing-masing lembaga saling adu argumentasi bahwa merekalah yang paling absah dan akurat dalam menghitung, yang membuat masyarakat bingung dan nelongso. Bagaimana mungkin suatu gawean yang menggunakan metode ilmiah yang tidak jauh berbeda – Central limit theorem dan Law of Large Number- bisa menghasilkan perbedaan yang begitu significan. Yang satu menclaim bahwa yang lain mungkin tidak melaksanakan kerja dan prosedur yang benar dan baku atau bias kepetingan dan pilih-pilih ( tidak secara random) dalam pengambilan sample dari populasi pemilih. Lalu mengatakan bahwa jika toch ada perbedaan maka mestinya tidak dalam rentang deviasi standar yang menyimpang dari kurva normal. Pokoknya mereka saling claim bahwa masing-masing mereka yang paling benar dan professional dalam mentabulasi dan mengkalkulasi hasil pilpres secara kilat.

Terlepas dari siapa yang benar dan menang nantinya, agaknya mereka yang berseteru dalam aneka survey, exit poll dan quick count itu adalah manusia-manusia yang sangat tertindas oleh paradigma positivism, sehingga menjadi manusia satu dimensi, pro status quo, berkacamata kuda yang tak melihat alternatif lain serta opposisi yang mungkin ada dari kebenaran yang telah diyakininya. Bagi mereka kemungkinan adanya fenomrna Black Swan adalah mustahil. Dan kalaupun mengakui adanya oposisi maka itu tak lebih dari bagian dari pelestari kemapanan dari system yang ada, ini yang disebut oleh Herbert Marcuse ‘ represif tolerance’, suatu keadaan yang tampaknya toleran dan memberi kesan solah-olah memberi kebebasan seluas-luanya, namun padahal maksudnya tidak lain adalah ‘ penindasan’.

Cara pandang positivistik itu yang oleh Herbert Marcuse disebut ‘ Rasional Teknologis’ telah menghilangkan dimensi-dimensi kualitatif manusia berupa nilai-nilai, keyakinan dan ideology yang mestinya menjadi pertimbangan utama dalam sosial politik. Atau juga telah menyembunyikan kecendrungan ideologis dan ambisi manusia di balik dimensi kuantitatif yang menekankan pada efisiensi, produktivitas, kelancaran dan kepastian-matematis. Akhirnya cara berpikir positivistik ini akan melahirkan system yang represif dan dominatif di mana ilmu telah menjadi sesuatu yang mekanistik dan instrumental, yang menafikan kamampuan alamiah manusia untuk mengungkapkan kebebasannya sebagai suatu yang esensial dan inheren dalam kemanusiaannya.

Sebagai counter attack terhadap kemapanan ilmu dan teknologi yang telah memperbudak manusia,-padahal dulu adalah kepanjangan tangan manusia-, maka ada baiknya kita sertakan pandangan seorang filsuf yang anti pada dominasi rasio dan sains dalam kehidupan, Paul Karl Feyerabend. Beliau mengikuti prinsip Karl Popper dan Thomas Kuhn yang mengintrodusir filsafat ilmu baru dengan prinsip’ Falsibilitas’ yang mengatakan bahwa ciri utama pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikn salah.

Dalam melawan metode kelimuwan yang mapan, Feyerabend memajukan dua prinsip, yakni prinsip “ pengembangbiakan” dan prinsip ‘ apa saja boleh’. Yang pertama mengandaikan kehidupan yang terbebas dari kerangka institusional yang tunggal dan system pemikiran yang membatasi. Pluralism teori dan metodologi harus berkembang biak, diakui dan diapresiasi. Kemajuan ilmu tidak bisa dicapai dengan mengikuti teori tunggal, aturan atau metode apapun yang maunya mendominasi. Prinsip apa saja boleh ( anything goes)berarti bahwa segala sesuatu mesti berjalan tanpa banyak aturan. Manusia bebas untuk mengikuti kecendrungannya secara kritis hingga mencapai tingkat pengungkapan dan kesadaran yang tinggi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar