Sabtu, 04 Juli 2015

PERBEDAAN DI BULAN PUASA

Jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu. Dan untuk itu Allah mencipta mereka. ( QS, Hud : 118-119).
Menurut Jean Baudrillard, telah terjadi fluktuasi yang semakin meningkatkan kesamaran di ranah sosial, dimana realita telah ditelan oleh struktur, sistem, model produksi, representasi dan signifikasi. Terjadi penyerapan total dan pengolahan ulang prinsip realitas dalam sistem nilai dan sistem pemaknaan sebagai suatu hyperreality ( realitas yang berlebihan) dan simulasi. Segala realita tak punya pilihan lain kecuali mewujudkan diri mereka sebagai realitas yang tersimulasi.

Dalam simulasi orde-keempat, Baudrillard, sebagaimana yang dikutip Francois Debrix, berteori bahwa telah terjadi ‘transpolitical‘ dimana semua landasan politik telah dihapus. Suatu keadaan kebingungan terpatah-patah yang terus mengcengkeram. Sirkulasi tanpa henti menjadi karakteristik penentu bagi realitas yang radical, viral, dan virtual. Akibatnya kita tak lagi bisa membedakan antara benar dan salah, kawan atau lawan, positive dan negative menjadi saudara kembar siam. Maka kebudayaan, sosial ekonomi, agama, seni, rekreasi bahkan puasa, overlapping dan berkepingan dalam serpihan bentuk-bentuk politik yang serupa dan seirama belaka. Jangan tanya tentang ideologi, pseudo misi agama maupun libido sekularistik, semua bisa diperdagangkan seperti sapi atau dinego. Dibuatkan citranya yang paling indah, kendati semu, semua kini adalah polesan dan kemasan.

Di bulan puasa ini kita menyaksikan teater perbedaan pendapat antara para pejabat publik, sekaligus sikap alergi terhadap perbedaan itu. Kemudian dari sana memunculkan tokoh-tokoh mirip Durna yang memanas-manasi situasi dengan melakukan politicking. Implikasinya adalah kuatnya wacana reshufle kabinet oleh presiden Jokowi yang disambut dengan berbagai reaksi yang aneh-aneh dan dan lucu. Tambah lagi kalangan pers menyebar luaskannya dengan menyertakan misinya masing-masing yang juga sudah sukar dilacak warna dasarnya. Perbedaan pendapat antara presiden dan wakilnya ditaruh di bawah kaca pembesar, loyalitas para menteri dibedah tuntas, kinerjanya disorot tajam dengan lampu ribuan wat. Padahal secara subtansial hal-hal ini biasa dalam negara yang mengaku menganut faham demokrasi.

Sejak berdirinya republik telah terjadi perbedaan mendasar antara para pemimpin kemerdekaan kita. Tapi tidak membuat perahu kebangsaan lantas karam dengan mendadak. Baru saja merdeka, kira-kira dua bulan setelahnya, wakil presiden Hatta sudah mengeluarkan Maklumat No. X yang terang-terangan mendegradasi kekuasaan Presidensil Sukarno yang menurut UUD 45 nyaris absolut. Setelah kekuasaan membentuk GBHN diporoti oleh BP KNIP, di bulan November tahun1945 itu juga muncul kudeta terselubung dimana Kabinet Presidensil dibawah pimpinan Sukarno, diganti oleh kabinet baru yang dipimpin seorang Perdana Menteri, Sutan Sjahrir. Berkibarnya Sjahrir sebagai perdana menteri tentu saja membuat Sukarno gerah dan tak betah, tapi beliau ridho atau legowo demi keutuhan bangsa dan kelancaran jalannya pemerintahan . Tapi dalam perjalanan kabinet parlementer itu ternyata tak memberi hasil dan prospek bagus, kabinet jatuh bangun dibuatnya, maka perbedaan itu diselesaikan Sukarno dengan sebuah Dekrit di tahun 1959 untuk back to basic, UUD 45.

Menyikapi rencana perombakan kabinet oleh Presiden Jokowi, ada pihak yang seolah tidak setuju, tapi menyatakan bersedia jika kadernya masuk dalam formasi kabinet. Terhadap Wapres Jusuf Kalla ada yang melontarkan komentar yang bersifat pejoratif pada posisinya yang berbeda dengan presiden dalam masalah rencana revisi UU KPK. Ada yang menghubungkan pengaruhnya terhadap sikap mbalelonya seorang menteri senior. Apakah rumah putri ketua sebuah partai benar-benar tidak layak tampil hingga harus mengeluarkan pernyataan aneh ketika tak mengundang presiden berbuka bersama, beliau berkata,” Pak Presiden, mohon maaf ya, saya ngga ngundang Pak Presiden karena rumahnya ngga layak.” Sepertinya acara buka bersama sudah dipolitisasi, sehingga kehadiran ketua MPR di acara buka bersama di kediaman putri yang juga seorang menteri itu menjadi petanda rekonsiliasi antara kelompok penguasa dengan kalangan opposan. Memang ketika sang ketua MPR melaksanakan buka bersama di rumahnya sendiri tempo hari, sudah terkesan bukan buka puasa, tapi buka pintu-pintu politik.

Tentu saja para menteri yang was-was diganti membantah kemenduaan mereka. Salah seorang dari mereka mengatakan, “ Saya punya catatan semua menteri yang berasal dari parpol itu justru sangat loyal kepada Presiden.” Malah mengklaim bahwa performa menteri dari partai justru lebih bagus karena bisa bekerja sama dengan parlemen. Menanggapi ketidak pastian politik itu, para pengamat juga berbeda faham. Seorang peneliti senior berpendapat bahwa saran The Rulling Party untuk menggandeng koalisi non-pemerintah adalah suatu yang realistis, karena posisi pemerintah di parlemen saat ini lemah. Sementara peneliti senior yang lain justru menyayangkan sikap itu. Sebannya adalah karena sikap itu tak sejalan dengan komitmen Presiden yang sejak awal ingin membentuk kabinet yang ramping dan didominasi kaum profesional. Katanya, “ Seharusnya Presiden konsisten dengan program dan komitmennya.”

Karena bulan puasa adalah bulan tazkiyatun nafs dan bulan tarbiyah, mending kita bersikap lebih Islami dalam menyikapi perbedaan pendapat. Dalam tradisi Islam yang memandang penguasa adalah manusia biasa yang bisa salah bisa benar, alias tidak ma’sum, karena bukan Nabi, maka perbedaan pendapat, bahkan kritik terhadapnya adalah sah-sah saja, demi kebaikan dan kemajuan bersama. Bahkan suatu kritik atau nasehat adalah keharusan dalam relasi antar sesama anak bangsa, dan antar warga negara dengan penguasa, atau antar pemimpin dengan pemimpin. Semua diletakkan dalam kerangka non absoutik, bisa dimusyawarahkan ( wa amruhu syura bainakum). Pokoknya mesti ada keterbukaan dan partisipasi semua komponen masyarakat dan pemerintahan atas dasar prinsip persamaan dan kewajiban. Begitu kata Guru Bangsa, almarhum Nurcholis Madjid.

Menurut Islam, perbedaan bukan saja merupakan kebutuhan atau rahmat, tapi adalah suatu kekayaan. Lantas mengapa kita sekarang mesti alergi, bahkan meradang dengan perbedaan yang ada yang justru bisa memperkaya, memperbanyak alternatif pemecahan masalah dan mempeluas wawasan dan cakrawala pemikiran dalam rangka perbaikan bangsa. Antar para Malaikatpun terjadi perbedaan, juga antar para Nabi ; Musa vs Harun, Sulaiman vs Daud, antar para sahabat Rasul, atau antar keluarga dekat Rasulullah SAW, misalnya antara Aisyah vs Ali bin Abi Thalib yang berakhir pada perang Jamal atau onta yang traumatik bagi umat Islam itu.

Pada perselisihan antar Malaikat, Allah berfirman dalam surat Shaad ayat 69,” Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al mala’ul a’la ( malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan,” Nabi Musa dan Nabi Harun pernah saling berbeda pendapat sehingga Nabi Musa menarik jenggot saudaranya itu serta mengecamnya. Dan Nabi Harun melihat amarah Nabi Musa, serta perbedaan antara mereka sebagai sesuatu yang tak pantas dipertontonkan di depan umum. Tarbiyah menarik dari kisah para Rasul ini tercantum dalam surat Al-Araaf, terutama dalam ayat 150 “ Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan sangat marah dan duka cita, dia berkata. “ Amatlah buruknya pekerjaan kamu sepeniggalku, apakah kamu akan mendahului perintah Tuhanmu?” Dan Musa melemparkan Alwah itu dan memegang kepala saudaranya (Harun), sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata,” Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah, dan hampir mereka membunuhku; sebab itu janganlah engkau membuat musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”.

Lanjiutan kisah itu sungguh manis, sekaligus menunjukkan kualitas kepemimpinan dan ke-Nabian Musa yang berdoa di ayat 151 surat al-Araaf itu, padahal Nabi Musa termasuk Rasul yang tidak sabaran yang ditunjukkan oleh kisah perjalannya bersama Nabi Chidir ( lihat al-Kahfi ayat 78). Beliau juga pemarah, konon beliau pernah menonjok mata Malaikat ketika hendak mencabut nyawanya. Musa berdoa “ Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu, dan Engkau Maha Penyayang dari sekalian yang penyayang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar