Rabu, 18 November 2015

MR JIM MOFFETT PUN TERTAWA LEBAR

Socrates memandang ‘ keadilan’ sebagai patokan politik tertinggi. Baginya keadilan iialah melaksanakan apa yang menjadi fungsi atau pekerjaan sendiri sebaik-baiknya tanpa mencampuri pungsi atau pekerjaan orang lain ( The practise of minding one’s own bussiness). Dia menambahkan bahwa suatu masyarakat atau rezim dikatakan adil bila masing-masing bisa bekerjasama secara maksimal dan harmonis. Tapi beliau juga mengatakan bahwa ada tiga tipe manusia atau masyarakat yakni : pertama, sifat nafsu (desire) dilambangkan sebagai seorang pedagang yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya. Kedua, sifat semangat (spirit) simbolnya adalah seorang prajurit yang setia menjaga tata kehidupan masyarakat. Ketiga, sifat akal budi (reason) dilambangkan sebagai filsuf yang berfungsi sebagai seorang penguasa.

Kendati teori atau filsafat politik Socrates di atas sudah lama sekali dicetuskan, tapi gema kebenarannya masih meraja di sekitar kita sampai kini. Lihat saja carut- marut yang sekarang melanda bangsa ini seperti tak habis-habisnya, yang kebanyakan didominasi oleh realitas keadilan yang mati suri, tapi logika ekonomi yang justru hidup dan menyala terus dikalangan elite. Alih-alih saling bekerja sama secara harmonis demi kesejahteraan rakyat sesuai ideal Socrates, malahan antara pejabat negara ini telah terjadi saling tuding dan jegal. Yang satu memasuki urusan yang bukan bidang tugasnya dengan menjadi pebisnis atau makelar, bahkan tukang catut, dimana seharusnya mewakili rakyat mengawasi pemerintah. Yang lain menjadi pelapor tentang adanya tukang catut itu ke lembaga yang bersangkutan, yang mestinya disampaikan dulu ke bosnya. Maka terjadilah gonjang-gonjang politik yang mengancam keutuhan bangsa bila ia berekskalasi menjadi bola liar.

Karena saling tuding itu, Sontag rakyat, media dan pengamat menjadi ceriwis dengan melontarkan komentar-komentar yang bernada terlampau memuja, atau sangat merendahkan. Ada yang mengecam pelaku, ada yang mengkritik dan mencurigai pelapor, padahal duduk masalahnya belum tampak nyata dan jelas, karena bukti-bukti yang valid belum cukup. Maka dosa lama pelaku pun habis dikupas tuntas, sedangkan motif pelapor dipertanyakan kemurniannya. Jeroan keduanya terburai lepas. Yang satu terungkit kasus-kasusnya di masa lalu yang kesemuanya terkait rupiah. Yang lain dianggap menyalah gunakan kekuasaan dengan memberi hak privelege kepada korporasi besar pertambangan terkait dengan keharusan membangun smelter sesuai dengan UU no. 4 thn 2009 Tentang Minerba.

Yang menyusul terjadi, rakyat berantem sendiri dengan argumen-argumen yang ngambang serta saling membodohi pula. Pengamat yang netral dibilang kurang kompeten, pekomen yang tajam dibilang tidak tahu apa-apa. Hatters dan lovers saling kelahi di media-media sosial, sementara mungkin Mr. Jim Moffet nun jauh di sana, di Arizona, tertawa terkekeh-kekeh, karna berhasil membelah angkasa Indonesia jadi dua, sehingga tak mampu lagi menahan laju mesin uangnya yang membor kekayaan bangsa sampai tak tersisa lagi nantinya. Kendati banyak yang menolak perpanjangan kontrak PT FI yang dibangunnya, tapi banyak juga yang mendukung dan datang minta ini-itu padanya.

Benar kata Noam Chomsky bahwa beberapa pemerintahan di dunia pun rata-rata tak mampu melawan kedigjayaan Korporasi besar yang bergerak atas dasar logika kapitalisme sekelas PT. FI. Sering terjadi penguasa menjadi hamba pengusaha, bukan sebaliknya. Memang menurut Karl Marx, ekonomilah yang serba menentukan peri kehidupan manusia, masyarakat dan negara. Dan di sini kita mengkonfirmasi semuanya dengan peragaan politik yang berlogika ekonomi . Padahal kita mengaku berfaham dan bersistem demokrasi. Kita ikut-ikutan karam dalam logika ekonomi predatorian yang saling mematikan dan bersifat raja tega. Segala sesuatu telah menjadi komoditas, termasuk kekuasaan, maka merebaklah politik uang di pemilu dan pilkada, sogok menyogok demi jabatan, saling bersaing mencari sumber atau tambang uang, cari muka dan prilaku ABS adalah hal yang sudah lumrah di negeri ini.

Kebanyakan kita hanya sibuk memburu kekuasaan dengan mengandalkan uang, bukan kekuatan ilmu dan gagasan. Maka para penguasaha atau pemodal pun berkibar, dan jadi pemancing dengan umpan uang, yang tentu saja disertai seabrek hasrat tersembunyi yang tak terdeteksi, utamanya dibidang-bidang yang paling besar keuntungannya. Jadi jangan bermimpi akan terjadi alih tekhnologi yang memampukan kelak, jika prilaku para elite kebanyakan bersifat ‘Rent Seeker’”. Jika PT FREEPORT masih bisa bertahan dengan perpanjangan kontrak dari 2021 sampai 2041, itu karena kita belum sanggup mengoperasikan pertambangan yang berbasis tekhnologi canggih itu, tidak mau bercape-cape menunggu lama, bekerja keras dengan resiko gagal dalam mengusahakan pertambangan mandiri, dan terutama kita sendiri yang sedari dulu, mau disogok oleh mereka karena libido kekuasaan yang kelewat.

Akan keberadaan PT FI sendiri yang sudah lebih dari 40 tahun mengeruk emas dari perut bumi Indonesia, rakyat sedari dulu hanya bisa berpolemik tentangnya. Selalu yang menjadi sumbu perdebatan adalah urusan Nasionalisme vs Kesempatan kerja, atau perbenturan gaung pasal 33 UUD versus pasal 27 UUD yang mewajibkan pemerintah menjamin lapangan kerja seluas-luasnya, serta penghidupan yang layak bagi warga negara. Saking powerfulnya PT FI, sampai setiap urusan penting menyangkut kebijakan kontrak kerja, atau urusan jadi mitra kerja dan pemasok, selalu dikembalikan kepada Presiden. Sentralisasi kekuasaan di era Soeharto terkait usaha pertambangan penting itu, telah memunculkan mental-mental korupsi dan kolusif yang saling bersaing dan menjatuhkan. Dan bisa ditebak siapa yang bisa beroleh peranan besar berhubungan dengan Freeport adalah orang-orang dekat Soeharto. Dan tampaknya prilaku itu terwariskan sampai kini dimana PT FI telah menjadi dewa penolong, sekaligus dewa perusak bagi segelintir politisi, pengusaha, serta kelompok kepentingan. Konon freeport masih belum bisa dinikmati keberadaannya bagi sebagian besar bangsa Indonesia, bahkan poses Papuanisasipun belum. Kecuali dirayakan oleh nyonya2 dan noni2 penggila perhiasan, atau suku-suku tertentu di negara ini yang gemar memakai ‘Gigi Emas’.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar