Minggu, 25 Oktober 2015

MATERIALISME DAN SPRITUALISME

Problem utama manusia, kaum beragama, atau ummat di masa-masa lalu, adalah keinginan untuk ‘maju’ dalam arti berdaya secara material, intelektual kendati harus dengan jalan mengorbankan agama. Ketika agama diidentikkan dengan masa-masa kegelapan (dark ages), maka orang beramai-ramai mengkritik atau melengserkannya dari puncak bukit untuk melihat sebuah matahari baru yang dianggap lebih cerah dan terang, yakni’ ilmu pengetahuan’. Obelisknya yang paling tinggi adalah Descartes dengan tesisnya “ Saya berpkir maka saya ada” ( cogito ergo sum). Descartes bukannya meninggalkan agama, tapi menilai bahwa akal yang difungsikan secara maksimal bisa menemukan Tuhan. Kebenaran agama dan moral bisa dianalisis akal untuk diurai benar salahnya. Dengan kemampuannya di bidang matematika, bahkan memper-ilahnya, ia mengatakan lagi bahwa Tuhan bisa diketahui dengan cara yang lebih mudah dan pasti ( facilius et certius) lewat penalaran belaka.

Revolusi Cartesian telah menciptakan dikhotomi agama vs sience yang di masa sebelumnya adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisah di dalam diri para tokoh-tokoh cerdas dan bijak, ulama ya ilmuwan, pendeta juga intelektual, pokoknya agamawan adalah yang serba tahu urusan dunia serta akhirat sekaligus. Makanya orang China tak bisa membedakan dengan tegas apakah Kong Hu Chu itu seorang Nabi atau seorang filsuf, atau seorang ilmuwan sosial dan pakar pemerintahan. Islampun susah memisahkan kualitas keagamaan dan kelimuan dari sosok-sosok seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al Kindi, Ibnu Al Haitzam, Al Razi atau Ibnu Arabi, dsb. Bagi kaum Nasrani, awal mula seorang menanggalkan prinsip keagamaannya demi intelektualitas belaka dimulai justru oleh seorang pendeta, Thomas Aquinas, dan mungkin juga Agustinus, guru descartes. Bak gayung bersambut, manusia renesans pun mulai menggali artefak dan simbol-simbol keilmuan dan kepilsafatan kuno Yunani yang dianggap sebagai model bagi masa depan karena semangat belajar dan tradisi keilmuan warganya yang tinggi dan mendalam, iconnya adalah Socrates, Aristoteles, Plato, Hipokrates, Pithagoras, dll. Tentu saja revolusi mental itu dimulai dengan sosialisasi dan kampanye lewat narasi. pamplet atau bahkan lewat karya sastra, dengan kisah-kisah yang mengolok-olok agama dan agamawan. Bacalah karya-karya Boccacio dalam Decameron yang banyak mengungkap kemunafikan kaum agamawan, bahkan kebobrokan kaum bangsawan di jamannya.

Lebih maju lagi dalam perihal kian beringasnya sikap kaum Intelektual pencerahan terhadap agama, adalah di masa Nietsche, ketika ia untuk pertama kali memproklamirkan “ Tuhan sudah Mati”, dan melahirkan ide manusia superman yang begitu percaya pada ilmu sehingga berkata’ Knowledge is Power’. Dan waktu Karl Marx mengatakan ‘ Agama adalah candu masyarakat’, maka mulailah agama dianggap sebagai kambing hitam segala bentuk dekadensi, dan kemerosotan. Akibatnya, ribuan masjid dirobohkan di era komunis berjaya di seantero dunia. Lantas apakah dengan begitu manusia kian menjadi lebih baik dan sehat hidupnya. Lihat saja hasil ketinggian nalar manusia pada keberadaan bom atom penghancur dua kota besar di Jepang, Nagasaki dan Hirosima, serta nuklir yang wajahnya begitu seram serta menakutkan, itulah penjaga modernisme dan materialisme par excellence.
Abad ke 19 adalah abad ateisme yang akut. Saat sience dan teknologi mencapai puncaknya, maka muncul pula kesombongan manusia yang tiada tara, sampai-sampai Tuhan tak diberi ruang lagi di alam macrokosmos dan microkosmos manusia atas nama otonomi dan kebebasannya. Tokoh-tokohnya Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Sigmud Freud, dan Nietzsche. Menurut Karen Armstrong, pada akhir abad ini, banyak manusia bahkan berpikir, bahwa sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk membunuhnya, busyet!

Akan tetapi Di puncak kekosongan, kegelisahan dan kecemasan jiwanya akibat kebanyakan dan ketinggian ilmunya yang menyingkirkan Tuhan dari panggung-panggung peradaban, perang dan ancaman perang yang tiada pernah usai, dan ketakutan kemiskinan serta kebangkrutan, material maupun spritual, di tengah anomali sosial dan antinomi hukum atau pembangkangan hukum yang akut, manusia mulai lagi kembara dan pencariannya yang justru kembali ke alam spritual sinkrenik tradisonalisme timur dengan keruhanian atau pengetahuan barat, walau dengan embel-embel seperti yang diteorikan Fazlur Rahman, “ Konservatisme yang diterangi”. Alih-alih kembali kembali ke agama yang terformulasi secara benar dan tepat, manusia malahan kembali ke alam kerohanian yang penuh emosi dan histeria dengan seabreg mitos dan takhayul, yang mematikan sama sekali nalar dan akal sehat, dus meredupkan agama yang sejatinya juga menghargai tinggi akal, Rasul bersabda “ Menuntut ilmu adalah kewajiban kaum muslimin”, untuk itu, manakala perlu kejarlah sampai ke negri China, begitu kata Rasul lagi. Maka muncullah paradigma bernafas baru yang katanya lebih melegakan katanya, karna merupakan harmonisasi kekuatan dan potensi manusia yang terpendam, dan juga mobilisasi energi tubuh, jiwa dan spritual (body, mind, and soul) yang berdasar pada credo panteistik, “ God is ALL and All is God’. Sebenarnya era ini adalah kontinum dari masa kesufian yang kecewa pada dunia dan penguasa Islam di masa Seribu Satu Malam di sekitas Baghdad yang hedonis, dan hubbud dunia sekali. Teladan kecendrungan mesianistik, keratu adilan ini adalah Nabi Muhammad sendiri, Nabi Isa, Tao, Sidharta Gaotama, Rabiah al Adawiah, Al Hallaj, Hamzah Fansuri atau Syech Siti Jenar. Dan guru utamanya adalah Dana Zohar dengan buku-bukunya yang seakan menjadi bibel nya kaum New Age atau Gerakan Dunia Baru.

Suluk kaum spritual jaman kini tak jauh beda dengan kerjaan pendahulunya di abad-abad jauh berselang. Entah benar atau sekedar fiksi, bahwa Kabbalisme Yahudi adalah model spritualisme gaya baru sekarang ini. Atau mungkin juga serupa aliran ‘Honky Tonk’ dalam musik yang arti harafianhnya adalah ‘comot sana comot sini, tambal sana, tambal sini, lalu simak dan nikmati serta bertenang-tenaglah.’ Dalam agama Yahudi terdapat kisah bahwa di tengah transendensi Tuhan yang terasa jauh, orang-orang kembali merindukan sebuah pengalaman ketuhanan yang lebih langsung dan imanen. Di Safed, kerinduan ini memperoleh intensitas yang nyaris bersifat erotik. Kaum Kabbalis biasa mengembara di bukit-bukit Palestina dan berbaring di makam-makam para Talmudis terkemuka agar bisa, seolah-olah menyerap visi para tokoh itu ke dalam kehidupan mereka yang galau. Persis seperti kerinduan manusia kontemporer pada para tokoh spritual kontemporer yang dianggap bertuah, kharismatik dan banyak karomahnya. Bahkan yang sudah wafat lama dcoba untuk dihidupkan lagi dan dianut ajarannya, sekarang ini di toko-tokoh buku kita bisa dapatkan banyak buku-buku tentang ajaran-ajaran Syech Siti Jenar.

Bagi umat Islam, mempelajari ajaran sufi serta spritualnya Syech Siti Jenar, takkan begitu menyimpanglah, paling banter merisaukan karena prinsip wahdatul wujudnya yang masih kontroversial. Yang aneh adalah jika umat rame-rame mencari ajaran penenang jiwa dan kedamaian hati kepada guru-guru ‘New Age”. Jelas-jelas Islam mengajarkan bahwa jalan ketenangan jiwa adalah dengan Salat dan berzikir, atau membaca Al Qur’an, kok banyak yang pergi belajar dan mempraktekkan yoga atau meditasi untuk berdamai dengan hatinya, atau menyembuhkan penyakit batinnya. Ini bunuh diri secara agama yang bersifat massal. Ketika Qur’an dan Hadis tak lagi jadi pegangan, salah-salah akan terjadi, seperti para pengikut ajaran agama sempalan Kristen ala pendeta Jim Jones di hutan Guyana Amerika, yang bahkan tergerak dan mau mau bunuh diri massal demi mengikuti perintah sang pendeta.

Saya tak persis apa itu Yoga atau meditasisme, tapi sekedar tahu bahwa yoga adalah salah satu ritual dalam agama Hindu. Dewasa ini, orang pada ramai menjajakan cara-cara penyembuhan dengan joga atau meditasi di mana-mana, disamping program-program hipnoterapi, hipnotisme, reiky, atau seminar-seminar motivasional dan pengembangan diri. Jangan-jangan maksud manusia kontemporer yang liberal, bahwa pluralisme, inklusivitas atau toleransi beragama itu adalah mencampur adukkan agama. Kalau tujuannya penyembuhan, ya jangan bawa-bawa konsep atau simbol agama tertentu. Lebih baik terang-terangan mengatakan itu adalah cara berdakwah, jangan jadi terselubung. Bukan hanya hal yang berkaitan dengan agama lain, sebuah spritualisme jadi tampak aneh, asing, dan mboten-mboten, tapi dalam ajaran islam tertentu pun terdapat pembauran yang tak bertanggung jawab, yang merupakan pelestarian perkawinan agama dan budaya.

Mungkin akan lebih arif dan syari’ jika orang pergi menemui Ustadz Arifin Ilham dengan majelis zikirnya yang mengatakan bahwa zikir menjalin kedekatan hati seorang hamba dengan Tuhannya, dan membawa ketenangan dan kedamaian dalam jiwa. Orang-orang yang melakukan zikir Qalbiyah tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan, ketakutan dan kecemasan, dan kegelisahan. Atau bagi umat Kristiani pergi pada Romo Mardi Atmojo yang mengajarkan bahwa doa Rosario mengarahkan hati kepada Allah, bersama dan lewat Bunda Maria. Di mana Rosario dimulai dengan memperbarui iman, mendaraskankan syahadat. Darasan itu menyiapkan pendoa pada suasana iman, bukan sekedar mengocehkan kata-kata. Kemudian pendoa menyatukan diri dengan Pengantara utama manusia, Jesus Kristus.

Atau sekalian mendatangi bapak Adi Soeripto, Sekjen PHDI ( Parisadha Hindu Dharma Indonesia) yang pernah menegaskan bahwa tujuan hidup setiap manusia pasti tak akan lepas dari upaya mencapai kebahagian hidup, terpenuhinya kebutuhan jasmani dan materi. Untuk mencapai tujuan itu, manusia harus bekerja keras, mengerahkan seluruh perangkat dalam dirinya, termasuk di dalamnya hawa nafsu. Tak jarang dalam upaya memenangkan persaingan mencapai tujuan itu, nafsu menjadi begitu dominan, sehingga sifat-sifat kemanusiaan terdesak. Untuk itu manusia perlu sesekali berhenti sejenak, melakukan instrospeksi diri. Menghentikan pikiran, agar terbebas dari penjajahan hawa nafsu. Di sinilah tapa brata berperan. Bentuknya tentu dengan melakukan semedi-yoga dengan berusaha menghentikan pikiran, berkonsentrasi, dan berkontemplasi untuk berserah diri sepenuhnya hanya kepada Tuhan (Atman). Yang dilakukan selama tapa brata adalah bersikap serileks mungkin, agar bisa berkonsentrasi (semedi atau beryoga) dengan sikap yang dipilih.

Jadi dalam upaya untuk kembali ke jalan spritual, harus ada pembedaan yang jelas mana jalan Islam dengan salat atau praktek zikirnya yang otentik, mana jalan Kristen dengan doa rosario, serta jalan Hindu dengan meditasi ataupun yoganya. Jangan dikaburkan, karena masing-masing punya cara dan tujuan yang unik dan beda. Kendati punya tujuan umum yang sama, yakni ketenangan jiwa dan batin terbebas dari rasa cemas, takut dan risau atau galau. Banyak anak muda yang karena terdesak oleh keadaan sakit batin, karena kecanduan narkoba misalnya, lari keseorang guru spritual, tanpa penjelasan apa hakekat jalan yang ditempuhnya. Mungkin untuk sementara ia akan sembuh dan terbebaskan dari kecanduan dan penyakitnya, tapi dalam jangka panjang ia akan mulai menganggap bahwa ‘taqarrub ilallah’ dengan salat atau berzikir yang di ajarkan agamanya tak ada gunanya lagi. Disinilah terjadi sebuah pencarian spritualitas yang mengorbankan agama. Padahal apa see yang tak diajarka agama, utamanya oleh Islam? Seorang sufi muslim mengatakan, “ diamlah, dan biarkan Tuhan mengangkat luka batinmu”. Itulah arti Islam, atau pasrah atau berserah pada Allah, SWT.

Kalau kita jeli, kita akan tahu bahwa dari para pejalan spiritual dan bahkan guruya juga banyak yang belum bisa membebaskan diri dari penonjolan ego, masih punya banyak obsesi dan keinginan, pamer misalnya. Jauh dari arahan Rasul dalam hadis qudsinya, ‘Mutu qabla an tamutu” atau matilah sebelum engkau mati. Mereka sukar memahami pengertian ‘non self’ dan peniadaan diri. Jika begini, apa yang akan didapat dari perjalanan. Seorang biksu atau pelatih meditasi dari Thailand, Ajahn Chah pernah mengatakan, “ The real foundation of the teaching is to see the self as being empty. But people come to study the Dhamma to increase their self view, so they don’t want to experience suffering or difficulty. They want everithyng to be cozy. They may want to transcend suffering, but if there is still a self, how can they ever do so”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar