Minggu, 23 Februari 2014

PENDIDIKAN DAN DAYA SAING

Dari ajang Konvensi Pendidikan yang diselenggarakan oleh Persatuan Guru Seluruh Indonesia ( PGRI), lagi-lagi kita dapatkan fakta bahwa dunia pendidikan tak ubahnya seperti pabrik yang maunya mencetak manusia-manusia lewat system pendidikan yang diidealkan. Dalam hal ini manusia yang berdaya saing tinggi. Tidak dijelaskan berdaya saing dalam hal apa. Secara sederhana dikaitkan saja dengan kecendrungan globalisasi yang kian menggila imbas dan pengaruhnya atau dalam rangka menyambut Masyarakat Ekonomi Asean sebagaimana yang ditulis harian Kompas dalam tajuk rencananya pada Kamis 20 Februari.

Para nara sumber pun yang muncul muka-muka lama yang ngga jelas pilosofi tentang manusia dan pendidikan. Para Guru Besar yang lebih banyak berpikir in box dan sekelebat saja pada semua hal termasuk pendidikan. Gelar mereka seolah sudah menjadi jaminan ketepatan dalam menyususn langkah ke depan. Prof. Emil Salim kita hormati dulu sebagai ahli ekonomi handal dari kelompok “ mafia berkeley” dan termasuk arsitek pembangunan rezim orde baru, tapi rasanya belum pernah melakukan penelitian yang sungguh di bidang pendidikan manusia. Prof Azumadi Azra, seorang pakar agama dan rektor sebuah perguruan tinggi Islam, hanya mengutip pandangan seorang Michel Foucault yang lebih terobsesi pada power atau kekuasaan, dimana sekolah dianggapnya sebagai hanya salah satu institusi untuk mempraktekkan power dan menteknologisasi manusia.

Dari jaman kolonial sampai jaman new kolonial ini, manusia sebagai anak didik memang hanya dianggap sebagai tanah liat, atau bahan yang bisa dibentuk ke dalam berbagai rupa ( formation humana), atau sekedar dipandang tak lebih dari tiga buah metafora, yakni manusia mesin, manusia merpati dan manusia semut. Dengan politik etis atau balas jasanya Conrad van Deventer, kaum bumi putera dididik atau disekolahkan untuk sekedar menjadi sekedar baut atau mekanisme kecil dalam system birokrasi raksasa dan menghisap pemerintah Hindia Belanda. Anak sekolah dianggap sebagai mesin yang bisa diprogram guna melakukan kerja-kerja mekanis tak berjiwa dalam mesin kolonial. Ini diperparah dengan pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang mengataka bahwa Indonesia bisa maju hanya jika telah mengadopsi cara berpikir dan mentalitas barat, yakni Individulisme, intelektualisme, egoisme dan materialisme. Pemujaan terhadap intelektualitas atau rasio ini sudah sejak Descarter dan Le Mettrie, berkelindan dengan pandangan manusia sebagai mesin.

Manusia juga sering hanya dianggap kumpulan dari dorongan, hasrat dan naluri yang bisa dikembangkan atau dikondisikan lewat mekanisme ‘ reward and punishments”, tak ubahnya merpati yang bisa dilatih dan diarahkan menjadi jinak dan terampil. Penganjur aliran ini mengatakan bahwa manusia bisa “ dikondisikan” seperti merpati. Uji coba mereka pada merpati yang dilatih main pimpong. Dan katanya terbukti merpati bisa main pimpong dengan memberi reward pada gesture merpati yang benar, dan punishment jika ada gerakan yang tak diinginkan. Cara ini tak berbeda jauh dengan manusia yang dianggap sebagi mesin. John B. Watson pernah mengatakan jika kita dapat mengontrol secara sempurna kehidupan manusia sejak kelahirannya, maka kita dapat meproduksinya menjadi penyair hebat, musisi handal dan ahli matematika jempolan, busyet!

Akhirnya pendidikan juga kadang hanya menganggap manusia sebagai semut atau lebah yang sekedar melayani fungsi tertentu dalam kehidupan sosial. Kedua binatang ini secara sosial sangat efektif dan efesien, tapi mereka dalam peranannya itu, mudah sekali disingkirkan atau dibunuh manakala sudah dianggap tak berfungsi lagi. Lebah pekerja jika sudah tak produktif lagi, akan dibunuh dengan kejam oleh sesamanya, atas perintah ratu lebah. Pandangan kesemutan manusia ini tampak jelas dalam ungkapan harapan para orang tua dan guru terhadap anak yang bersekolah, “ agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara.” Tak pernah dikatakan, “ semoga menjadi orang yang baik kelak” Maka yang telah terlanjur sesat dan criminal, kontan kehilangan semua hak-hak sosial untuk diperlakukan sebagai manusia dan dihargai serta dimengerti nasib buruknya.

Lihat saja nasib kaum jompo dan penyandang disabilitas di negeri ini. Mereka dianggap orang-orang yang tak berguna lagi sehingga tidak ada lagi perhatian atau aksessibilitas memadai terhadap mereka. Kota-kota tak lagi memberi mereka akses untuk berjalan-jalan secara bebas, pernah saya melihat seorang tuna netra terjungkal di trotoar karena tiadanya block warning d trotoar bagi mereka. Bahkan dana jaminan sosial mereka yang jumlahnya sekitar tiga ratus an ribu perbulan tidak jelas lagi nasibnya. Bandingkan dengan Australia yang memberi tunjangan lima belas juta tiap bulan bagi penyandang disabilitas yang memang kebanyakan telah tak berfungsi secara sosial. Tapi Australia tidak membedakan kaum disabilitas yang bekerja atau tidak, semua dapat tunjangan yang rata dan tak dikorup.

Kita menolak sistim depersonalisasi pendidikan di atas bukan karena kita takut menjadi manusia pasar bebas yang suka bersaing satu sama lain, atau ingin bergaul dengan para professor secara lebih wajar dan manusiawi, inginkan kelas yang lebih kecil dan lebih perduli, atau tak suka bergaul dan mengikuti perkembangan teknologi, tapi kita hanya keberatan pada cara penghilangan kita sebagai “ person” atau sosok “pribadi” yang utuh dengan atribut kemanusiaan yang baik pada dirinya. Tak sekedar menjadi “ ekpendable things” tereduksi menjadi sebuah komoditas belaka atau “ social conveniences” yang menjadikan manusia sekedar angka-angka yang bisa bertambah dan berkurang nilai dan kursnya sesuai kebutuhan ekonomi dan politik. Kita ingin menjadi manusia yang utuh, bebas dan mandiri, lepas dari upaya untuk dijadikan sekedar “ human resource’ atau Sumber Daya Manusia. Pembelajar sejati adalah yang mampu keluar dari bayang-bayang dan dominasi pengajar, lalu menentukan sendiri apa yang disukai untuk dipelajari secara sekolah, maupun otodidak. Kebanyakan jenius dan penemu dunia adalah otodidakus dan independen dari cekokan guru, ide, atau para mentor dan motivator karbitan. Mereka rata-rata seperti Columbus bagi penemuan diri sendiri ; bakat, potensi, minat dan passionnya.

Tahun 2016 kita memang akan memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean sebagai bagian dari rezim globalisasi yang mensyaratkan konpetensi dan kompetisi di segala bidang yang prima. Akan terjadi pergerakan barang, jasa dan pekerja yang bebas di antara negara-negara asean yang mengharuskan kita meresponnya dengan pas dan tepat agar bisa tetap survive dan “ save to cross the street, not getting knocked down”. Tapi tidak dengan cara reaktif dan tambal sulam, apalagi merombak dasar pilosofi dan nilai-nilai pendidikan yang sudah ada. Cukup dengan meningkatkan advokasi, training-training dan membangun “ man power system” dan memberi sertifikasi pada semua jenis dan jenjang pekerjaan. Hal-hal ini adalah tilikan jangka pendek, sedangkan system pendidikan yang sudah ‘ on the right track’- andai itu ada- adalah investasi jangka panjang yang goal-goalnyanya harus dicapai secara bertahap, sabar, taktis dan konsisten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar