Senin, 24 Februari 2014

ETIKA, ESTETIKA DAN LOGIKA PEMILU

Pada hakekatnya hanya pada peristiwa kelahiran saja manusia tidak bebas untuk memilih, selainnya manusia bebas memilih dan dipilihkan pada sesuatu, barang, dan kehidupan yang terbaik. Bayi dan anak-anak yang belum bisa berpikir dipilihkan oleh orang tuanya di RS bersalin mana ia akan lahir ke dunia dan sekolah apa yang harus dimasukinya. Kematian juga sesuatu yang bisa dipilih, apakah akan mati bunuh diri atau mati secara khusnul khatimah.

Sejak bangun tidur saja manusia telah dihadapkan dengan pilihan-pilihan etis, estetika dan logis. Dalam memilih baju misalnya, apakah akan mamakai baju transparan tembus pandang atau sopan dan sesuai budaya, ini adalah pilihan etis. Lalu apakah akan mengenakan baju bermotif kembang-kembang, kotak-kotak atau polos, ini adalah terkait estetika. Sedangkan jika harus menentukan apakah akan pakai jas atau tidak, ini adalah alasan logis, tergantung tempat dan persyaratan kerja. Jika hanya mau pergi jualan di toko misalnya, ya ngga logis klo harus pakai jas.

Bagaimana dengan Pemilihan Umum atau Pemilu? Tentu saja pemilu juga akan menimbulkan implikasi pilihan etis, estetika dan logika. Sejatinya ikut dan berpartisipasi dalam pemilu adalah hak bagi semua warga negara yang sudah cukup umur ( 17 tahun keatas), bukan kewajiban. Jadi ada peluang dan kebebasan orang untuk tidak memilih alias ‘golput’. Namun konsekwensi bagi mereka yang abstain ini, adalah tidak etis manakala ia juga menuntut ini itu pada negara, atau bersikap kritis pada semua produk perundang-undangan dan kebijakan sebagai pelaksanaan undang-undang. Karena sejak awal sudah tak percaya pada proses demokrasi yang berlangsung dengan memilih golput. Memang tidak ada larangan untuk bersikap kritis atau menuntut dari orang yang tak perduli pada pemilu, tapi ada tuntutan moral, paling tidak dari diri sendiri. Masa saya harus kritik sebuah produk UU sementara saya ikut memilih para legislator saja tidak. Dengan ikut pemilu legislatif atau presiden, kita telah menempatkan diri kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan perduli pada perubahan dan kemajuan bangsa.

Implikasi estetika pemilu salah satunya adalah jika kita tidak memaksakan kehendak untuk memenan gkan satu calon atau partai dengan bersikap sportif dan legowo jika partai atau calon kita kalah. Dengan kata lain kita main cantiklah. Akan tidak indah rasanya jika kita ngotot dan meributkan kekalahan calon yang secara emosional dekat dengan kita, padahal dia memang secara kapasitas dan elektabiltas tidak memadai. Dalam keadaan begini lebih baik kita bersikap sabar dengan prinsip ‘ next time better’, maka akan damailah nusantara tercinta ini. Estetika pemilu juga tampak pada alat peraga kampanye yang bagus dan tak merusak pemandangan dengan memasangnya secara serampangan dan sembarangan, misalnya di setiap pohon atau tembok jalanan. Dan juga tampak pada gambar calon yang dibagus-bagusin dan tampak lebih muda dari usia sebenarnya. Tentu saja para pemilih cerdas tidak akan memilih calon yang mukanya kusut dan tampak susah ngga ada indah-indahnya. Mungkin karena ini juga yang menyebabkan banyak artis yang lolos ke senayan pada pemilu-pemilu lalu.

Logika pemilu jelas sekali pada pemilihan kita pada multi talennya para calon dan juga pada melihat visi, misi dan program partai. Tak ada orang yang akan memilih wakilnya yang telmi, ndableg dan gatek. Dalam hal ini persyaratan pendidikan calon harus minimal SMA tidak tepat benar, karena banyak orang hanya tamat SMP atau SD bahkan tidak tamat sekolah apapun punya kemampuan berpikir lebih dan luas wawasannya. Anggota DPR bukan departeman teknis. Tapi adalah sebuah lembaga yang lebih mensyaratkan kemampuan general dan wawasan luas pada masalah kenegaraan dan kemasyarakatan. Jadi DPR lebih membutuhkan seorang dengan kapasitas intelektual yang tinggi dengan kemampuan melakukan abstraksi pada setiap masalah, dan kurang dibutuhkan teknikal kompetensi. Seorang professor sekalipun belum tentu punya kemampuan atau minat pada masalah-masalah umum yang luas, jika ia karam pada keahliannya sendiri yang bersifat khusus. Tapi seorang yang walau hanya tamat SD, SMP atau SMA jika punya keperdulian dan tanggung jawab moral akan kebaikan masyarakat dan bangsanya serta aktif secara praksis dan konkrit, dus menguasai permasalahan, akan lebih baik jika menjadi pemimpin atau wakil rakyat. Apalagi jaman sekarang, dimana akses informasi sudah terbuka luas, seorang calon pemimpin atau anggota DPR bisa setiap saat meningkatkan kualitas dan kapasitas dirinya. Tinggal bagaimana ia bisa mempertahankan konsisitesi, determinasi moral dan perjuangannya dengan menawarkan kapasitas bukan isi tas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar