Minggu, 14 Januari 2018

PEMIMPIN ISTIQOMAH


Kebesaran seorang pemimpin atau seseorang tidaklah ditentukan oleh apa yang di yakini, atau ideologinya, bahkan agamanya, tapi bagaimana ia konsisten atau Istiqomah dengan segala ajaran kebaikan yang bersumber dari apa yang di anut dan diyakininya itu. Makanya kita bisa melihat adanya orang-orang besar dari semua keyakinan, ideologi dan agama. Dari sudut pandang kemanusiaan, nilai orang besar terletak pada penghargaannya pada segala keterbatasan manusia, derita dan masalahnya, harapan dan ketakutannya. Sehingga sikap dan tindakannya akan bernada kasih dan toleran tak memaksakan kehendak. Tak menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk memperkuda sesama manusia. Harus punya Goodwill atau niat baik, tak menjadikan manusia sebagai instrumen demi kepentingan dan ambisi pribadinya seperti yang diteorikan Immanuel Kant. Dalam Islam seorang pemimpin harus Ikhlas, jujur dan amanah.

Pemimpin serupa Hitler atau Stalin boleh jadi punya kemampuan dan kekuasaan yang besar, namun terbukti telah dianggap sosok-sosok berjiwa kerdil karena ia telah banyak membunuh anak manusia dan memperkosa sejarah kemanusiaan. Karena ia telah melawan dan berperang terhadap kemanusiaan yang adil dan beradab, maka setiap kemenangan yang diklaimnya sejatinya adalah ‘kekalahan besar’ di depan mahkamah kemanusiaan. Kemenangan besar Otto von Bismarck atas Napoleon pada perang franco- Prusia 1871 bukannya disyukuri oleh Bismarck dengan berkhidmat, malahan telah membuatnya lupa diri. Ia kemudian menjadi seorang diktator juga dengan membungkam kebebasan bersuara bangsanya sendiri. Kemenangan besar Bismarck ini disebut Nietzsche ‘Kemenangan yang berbahaya” tentu saja bahaya buat kemanusiaan. Ein Groszer Sieg ist eine grosze Gefahr ( Kemenangan besar adalah bahaya besar ).

Apakah Harry Truman bisa disebut orang besar dalam sejarah kemanusiaan? Boleh jadi ia pahlawan besar bagi bangsanya, tapi di depan altar sejarah kemanusiaan, Truman jelas bukan orang besar. Dengan keputusannya untuk menjatuhkan bom atom di daratan Hiroshima dan Nagasaki yang membunuh ratusan ribu orang tak berdosa, yang membuat Jepang menyerah pada sekutu, maka ia pantas disebut ‘manusia yang berjiwa kerdil. Kendati dari sudut pandang rasional ia dibenarkan, tapi menurut nurani manusia ia harus dipersalahkan. Pertimbangannya untuk segera mengakhiri perang dan mencegah korban lebih banyak dari serdadunya jika Amerika harus mengivasi Jepang, telah membunuh hati nuraninya dan jiwa kemanusiannya. Apakah orang besar bisa menari diatas kehancuran dan penderitaan panjang pihak lain?

Mahatma Gandhi adalah teladan manusia berjiwa besar yang demi mendamaikan dua agama yang senantiasa berseteru – Islam dan Hindu, telah rela menempuh segalanya, bahkan kematian. Bahkan kepada penjajah bangsanya ia tak hendak melakukan kekerasan, namun toch sang jiwa besar berhasil mengantarkan kemerdekaan bagi India yang dicintainya sampai ketulang sumsum. Begitu juga Nelson Mandela, demi perjuangannya rela mendekam dipenjara berpuluh tahun. Dan setelah bebas tak mau menggunkaan kekuasaannya untuk melakukan ‘Revenge’ terhadap lawan-lawannya yang telah membuat diri dan bangsanya menderita beratus tahun.

Seorang pemimpin mestinya punya apa yang disebut Immanuel Kant ‘Goodwil{ atau niat baik yang penuh keikhlasan dan tak menjadikan manusia sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, dan istiqomah dengan niat baiknya itu, dengan kata lain seorang pemimpin dituntut untuk senantiasa punya Integritas moral yang mumpuni, satunya kata dan perbuatan. Dan ini berlaku mutlak untuk semua level kepemimpinan. Menurut Vaclav Havel, moral yang terkontaminasi adalah ketika seorang mengatakan sesuatu lain dengan yang dipikirkannya, mementingkan diri sendiri dan melecehkan dan memperkuda orang lain. Jadi seorang pemimpin tidak boleh menipu dirinya sendiri demi kepuasan pengikutnya atau tidak boleh menipu masyaraktnya demi kepentingan dan ambisinya sendiri.

Hanya saja dalam sejarah tidak banyak pemimpin yang mau Istiqomah dengan niat baik yang ada dalam dirinya dan yang dibawanya sejak lahir. Godaan kekuasaan dan untuk melanggengkan kekuasaan telah mengantarkannya untuk menteror bangsanya dan bangsa lain. Inilah yang telah terjadi pada diri seorang Roberspiere atau Lenin. Menurut Arnold Toynbee, keduanya adalah orang yang tidak mementingkan diri sendiri yang telah mengabdikan diri mereka dengan tulus dan sepenuh demi kesejahteraan ummat manusia. Tapi demi tujuan yang mereka anggap terbaik, keduanya karam dalam tujuan menghalalkan cara dengan teror dan kekuasaan.

Dalam konteks Indonesia, tentu kita tentu menaruh harapan dan kepercayaan pada Presiden Jokowi untuk tetap konsisten dan istiqomah dengan goodwill yang telah ditunjukkan untuk membangun bangsa ini. Salah satu janjinya adalah untuk tidak menjadi diktator ba’da disahkannya Undang-undang keormasan. Diktator adalah pemimpin yang kerap berbuat semaunya tanpa perduli pada kemauan rakyat dan menyepelekan hukum. Bagi diktator, kebaikan hanya ada pada dirinya, dan semua harus mengikuti apa yang telah didiktekan dan diputuskannya. Apakah Gubernur Anis Baswedan telah berlagak menjadi seorang diktator ketika memutuskan untuk membatalkan semua perjanjian dan aturan terkait reklamasi Teluk Jakarta?.

Jika keputusannya itu berlandaskan niat baik untuk membela kepentingan kaum nelayan dan membenahi lingkungan hidup yang terancam dengan adanya proyek reklamasi itu, dan istiqomah dengan niatnya itu hingga kapanpun, dan bukan sekedar untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya, maka tak pantaslah beliau disebut seorang diktator. Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah diskusi, bahwa keputusan Anis itu berpotensi melanggar hak para investor swasta karana keputusannya yang sepihak dan tak mengindahkan prinsip-prinsip hukum yang benar. Dalam hal ini kita harus melihat kepentingan yang lebih besar dan yang punya dampak jangka panjang.

Apakah hak para pemilik modal dan orang kaya raya mesti selalu dimenanglan atas hak kaum miskin yang tak punya sandaran dan pegangan hidup pasti? Apakah hukum yang katanya rasional harus selalu mengalahkan hati rurani manusia yang terenyuh dan nelongso melihat sesamanya yang hanya menganga bengong dibuldozer oleh tangan-tangan kekuasaan yang super cerdas. Apakah kelaparan hari ini bisa dihibur oleh mimpi tentang kemakmuran hari esok... Apakah gedung-gedung besar dan mewah lebih berharga dari lestarinya alam yang indah dan asri? Dan apakah yang bung Yusril yang pernah katakan bahwa 70 persen tanah di republik ini telah dikuasai oleh golongan tertentu. Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan benar oleh pemimpin yang Istiqomah.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar