Senin, 06 April 2015

MUSIUM, MESUM DAN PARANOID

Minggu, 5 April kemaren saya berkunjung ke Musium Sejarah Jakarta (MSJ), atau Musium Fathahillh yang dulunya adalah Balaikota ( Stadhuis) pemerintahan kolonial. Musium itu terletak di kawasan Kota Tua Jakarta. Kaget juga saya melihat antusiasme warga yang antri dan berjubel untuk masuk melihat-lihat, sekedar berfoto atau belajar sesuatu di musium yang dulu dikenal juga sebagi tempat penyiksaan yang kejam terhadap para, kriminal berat, pembangkang dan pemberontak sistem kolonial. Sayang waktu kunjungan hanya dibatasi sampai jam tiga saja, sehingga tak sempat menikmati dan menghayati semua aspek kekunoan dan kesejarahan di sana, ketika bertanya pada seorang ibu pengelola cafe kecil di halaman belakang gedung tua tsb, tentang waktu buka yang singkat itu. Si ibu dengan polos menjawab bahwa “ jika dibuka sampai malam, musium akan menjadi “ mesum” karena jadi ajang indehoi para remaja. Pada siang aja mereka pada berani pelukan, bahkan ciuman, apalagi kalau dibuka sampai malam.” Dalam hati terasa miris sekaligus membenarkan dan menyesali situasi itu.

Saya sendiri melihat, banyak remaja bahkan orang dewasa yang berfoto di depan benda-benda seni atau artefak bersejarah yang ada. Seorang gadis remaja yang difoto pasangannya, berpose santai dan tersenyum sangat manis di depan lukisan Sujoyono yang berukurana 3 x 10 meter, yang menggambarkan peperangan antara pasukan Mataram melawan tentara VOC Belanda. Ketika mereka kusindir dengan mengatakan mengapa tidak berpose seolah ada dalam perang, misalnya dengan bermimik sedih, marah, geram atau takut. Kedua remaja malah bertanya, “ emang itu gambar apa pak?... “ beginilah motivasi dan ke-dablegan sebagian remaja atau pemuda yang datang ke musium bersejarah tersebut.

Tapi kebijakan pengelola musium itu sudah tepat dan bijak, dengan membatasi waktu kunjungan dan menghindari waktu dan suasana kelam serta romantis di senja atau malam hari bagi remaja untuk berasyik-masyuk di musium. Bukan dengan melarang para sejoli untuk datang berkunjung, dan bertanya tentang motivasi mereka untuk datang. Dengan membiarkan interaksional simbolik alias pertukaran makna yang saling mengpengaruhi di musim, lama-lama yang berniat konyol tadi akan mulai belajar dari kalangan yang mengerti dan terpelajar di musium untuk menghayati dan menikmati keberadaan musim dan isinya secara benar dan bertanggung jawab, bukan dengan memamfaatkan dan mencemarinya.

Setelah berkeliling melihat-lihat, saya berhenti pada sebuah lukisan konte karya Auguste van Perr yang dibuat pada tahun 1920 an, judulnya ‘ Penjual Mainan”. Di bawah sebuah pohon rindang, seorang tua penjual mainan bersama dua orang bocah yang tampak sangat tertarik dengan mainan-mainan sederhana yang dijajakan itu; ada mobil-mobilan dari kayu, kincir angin dll. Menurut keterangan di samping lukisan itu, penjual mainan saat itu sangat menolong menghibur anak-anak yang orang tuannya bekerja sebagai budak Belanda. Tapi penjual mainan itu selalu diawasi oleh mata-mata Belanda. Tidak dijelaskan apa sebab penjual mainanpun dicurigai dan diawasi begitu rupa. Mungkin Belanda takut mereka agen provokator gerakan yang menuntut kemerdekaan. Atau takut jika mereka meracuni pikiran anak-anak yang masih lugu dan lolos itu dengan pikiran-pikiran tentang persatuan bangsa. Atau ngeri kalau-kalau penjual maian itu membawa bom atau menebar perasaan kebencian dan sikap anti pemerintah.

Rupanya pemerintah Hindia Belanada saat itu begitu “ Paranoid” hingga tidak merasa cukup dengan pemberlakuan Wetboek van Srafrecht van Nederlands-Indiie ( kitab Hukum Pidana) tahun 1918, untuk pemprevensi dan merepresi kalangan yang dianggap kaum ekstremis dan anti pemerintah. Padahal dalam kitab itu sudah ada pasal-pasal “ Haatzai Artikelen atau pasal-pasal karet ( pasal2 tentang penyebaran kebencian) yang bisa diperluas maknanya secara semau gue, dan mengancam hukuman berat pada siapapun yang dianggap menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda, atau terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk Hindia Belanda yang dikonservasi ( pasal 154, 155, 156 dan 157).

Saya berpikir, alangkah kerdil dan sumpeknya hati kaum penjajah itu. Sehingga penjual mainan saja harus dicurigai. Ketakutan yang berlebihan itu ( paranoid) seperti menunjukkan rapuhnya sistem kekebalan tubuh pemerintah kolonial-otoritarian dan sistem remedinya. Jika yang diawasi manusia-manusia sekelas Tirtohadisuryo, HOS Cokroaminoto, atau Haji Samanhudi, yang adalah wartawan dan pentolan-pentolan Sarekat Dagang Islam ketika itu, masih wajar. Karena mereka mereka memang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam perdagangan lewat organisasi dan penerbitan. Waktu itukan pemerintah Hindia Belanda mempraktekkan usaha monopoli yang tidak fair. Walau globalisasi dan sistem pasar bebas kapitaliistik sudah menggejala, tapi tetap saja memberi proteksi dan penunjukkan mitra dagang pada golongan tertentu dan golongan sendiri.

Saya jadi ingat pada pemerintahan Saudi Arabia dibawah raja barunya, raja Salman, yang belum lama ini menghukum dua perempuan dengan tuduhan tindak teroris, karena mengendarai mobil. Juga menghukum seorang blogger yang mengkritik sifat otoriter pemerintah, atau katanya menghina “ Islam” dengan hukuman 10 tahun penjara, seribu kali cambuk, dan denda 266.066 ribu dollar ( Tempo, 8 Februari, 2015).

Dewasa ini pemerintah Indonesia, yang dipimpin presiden pilihan rakyat yang suka blususkan, Joko Widodo, juga sepertinya mulai mengarah kepada kesukaan menghentikan langkah kaum yang dianggap bisa merusak sistem dan pembangkang. Hanya saja masih dalam taraf, memperjahat, memecat, mensomasi, menyensor atau memfilter saja katanya. Misalnya, pemblokiran terhadap 22 situs Islam yang dianggap radikal. Tapi intinya sama saja, ada ketakutan yang berlebihan pada sesuatu yang belum pasti amar bahayannya. Entah punya agenda tersendiri atau telah masuk dalam arus globalisasi ideologi tertentu yang tidak memberi peluang bagi ide dan pemikiran alternatif untuk hidup. Jadi apa arti demokrasi, pluralisme dan inklusifitas yang sering kita dengung-dengungkan, serta preskripsi-preskripsi dialog peradaban dan komunikasi antar budaya. Hari ginie, masih saja ,mau memaksakan kultur atau makna untuk diseragamkan. Nggap boleh ada kritik apalagi pembangkang yang memungkinkan kita untuk mengaca diri. Kapan majunya kite bro, jika selalu berprinsip “ Muka buruk cermin dibelah.

Jika kita berpatokan pada pemikiran-pemikiran kaum tercerahkan, seperti Rossseou, John Locke, atau John Stuart Mill, maka sikap paranoid itu takkan mungkin mengemuka. Keyakinan kaum demokrat tulen adalah bahwa “ Kekuatan demokrasi tidak pernah lebih besar daripada kemauan rakyat untuk mempertahankannya.” Lebih lanjut Mill memperingatkan mereka yang bersedia menekan kebebasan individu untuk kepentingan mendirikan negara yang kuat, bahwa harga sebuah negara tidaklah lebih tinggi daripada harga para warganya. Apabila negara memperkecil orang-orangnya dan menurunkan derajatnya menjadi alat-alat yang patuh, akan didapatinya kalau “ dengan orang-orang kecil tidak akan dapat dilaksanakan hal-hal besar dengan benar-benar. “

John Stuart Mill dalam ‘On Liberty; and Thoughts on Parliamentary Reform, 1859 mengatakan :
“ ....This then, is the appropriate region of human liberty. It comprises, first, the inward domain of consciousness; demanding liberty of conscience, in the most comprehensive sense; liberty of thought and feeling; absolute freedom of opinion and sentiment on all subjects, practical or speculative, scientific, moral, or theological. The liberty of expresing and publishing opinions may seem to fall under different principle, since it belongs to that part of the conduct of an individual which concerns other people; but, being almost of as much importance as the liberty of thought itself, and resting in great part on the same reasons, is practically inseparable from it. Secondly, the principle requires liberty of tastes and pursuits; of framing the plan of our life to suit our own character; of doing as we like, subject to such consequences as may follow: without impediment from our fellow creatures, so long as what we do does not harm then, even though they should think our concduct foolish, perverse, or wrong. Thirdly; from this liberty of each individual, follows the liberty, within the same limits, of combination among individual; fredom to unite, for any purpose not involving harm to others: the persons combining being supposed to be full age, and force or deceived.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar