Jumat, 03 April 2015

EKONOMI CUKUP DAN KEARIFAN BAHARI


Kemaren, Rabu tanggal 1 April, di TIM berlangsung lagi diskusi buku karya budayawan Radhar Panca Dahana yang bertajuk, ‘ Ekonomi Cukup’, sebagai sessi terakhir dari rangkaian diskusi buku-buku Radhar. Sebelumnya, pada 18 Maret telah dibedah buku Radhar yang lain, ‘Agama Dalam Kearifan Bahari’. Pembicara yang kemaren membahas buku Radhar adalah S. Dillon, Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Radhar sendiri dengan moderator Riza Damanik. Dua pembicara kunci berhalangan hadir, yakni Andrianof, dan Hatta Rajasa. Menurut Radhar, menteri Andrianof berhalangan karena ada rapat mendadak di Istana, sedangkan Hatta Rajasa mengalami demam sehingga kehilangan suara. Menanggapi ketidak hadiran Andrianof, secara berseloroh, Sri Edi Swasono mengatakan bahwa sang menteri pasti dilarang oleh Jokowi.

S. Dillon, seperti biasa tampil dengan gayanya yang berani, tegas, dan cuek. Tak banyak yang bisa dicatat darinya, karena lebih banyak bernostalgia dan bicara tentang diri sendiri yang katanya telah membuat berbagai terobosan-terobosan ekonomi, politik dan kultural. Di masa lalu memang beliau yang menginisiasi dan mempopulerkan frasa ‘ Politikus Busuk’ yang pada akhirnya diadopsi oleh aktivis-aktivis NU dan Muhammadiyah. Yang menarik dari beliau adalah ketika mengatakan bahwa tak ada bangsa asing yang bisa diharap untuk membangun negeri ini, semua akan mementingkan diri sendiri, dan juga mengecam berbagai keserakahan ekonomi yang terjadi dulu dan kini. Karena beliau WNI keturunan India yang suka berkerumuk dengan blangkon ala kaum Shiknya, maka beliau mengkritk Lee KuanYew sebagai bukan satu-satunya tokoh yang memajukan Singapore, tapi juga ada Rajaratnam.

Sri Edi Swasono lebih artikulatif sekaligus ideologis, dimana beliau konsisten pada pendiriannya bahwa ekonomi Indonesia harus dibangun berdasar pada UUD pasal 33 yang berasas kekeluargaan dan kebersamaan. Yang menarik adalah pernyataan beliau bahwa ‘Proklamasi itu sejatinya adalah sebuah pernyataan kebudayan’, dimana seharusnya kita membangun dengan focus pada peningkatan kwalitas dan kapasitas manusia. Tentu saja yang dimaksud beliau adalah peningkatan mentalitas yang kompatibel dengan pembangunan yang sociable not greedy. Beliau mengkritik pemda DKI yang sekarang sibuk menggusur orang miskin bukan menggusur kemiskinan. Beliau juga masih konsisten mengkritik kapitalisme, ekonomi neo lib dan setuju pada paradigma ekonomi cukupnya Radhar. Selain membahas buku ekonomi Radhar, kedua pembicara juga mengangkat tema dan perspektif ekonomi mereka masing-masing. Memang ada benang merah yang menghubungkan teori-teori mereka, yakni, anti ekonomi predatorian yang kapitalistik.

Menantu proklamator Hatta ini sebenarnya juga hanya mengulang-ulang visi ekonomi sosial-stukturalnya yang dulu sering ditulis dalam berbagai media cetak. Salah satu artikelnya yang sempat saya baca adalah yang berjudul ‘ Daulat Rakyat versus Daulat Pasar’ yang dimuat di harian Kompas beberapa tahun lalu, dimana Sri Edi berkata ‘ Saya tidak anti globalisasi, saya ingin agar kita sadar akan peran strategis Indonesia secara mondial, kita harus proaktif ikut mendesain wujud globalisasi, dengan tetap tidak mengorbankan kepentingan nasional, menuju globalisme yang mulia, adil, sama sejahtera dan beradab. Pancasila selaras dengan paham globalisme mulia dan harus secara gigih kita pertahankan. Itulah sebabnya kita harus menegakkan Pancasila sebagai Ideologi Negara, Filsafat Bangsa, dan sekaligus Filsafat Ilmu. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan sistem ekonomi, kita harus tetap berpedoman pada paham ‘ kebersamaan dan asas kekeluargaan’, yaitu doktrin ‘ mutualism dan brotherhood’, yang dalam bahasa agama lebih kita kenal dengan nama.’Ukhuwah’
Sedangkan Radhar Panca Dahana, terpaksa harus mengulang kembali tesisnya tentang perlunya untuk kembali memperkuat budaya bahari yang inklusif, terbuka, egalitarian dan demokratis. Ini terjadi karena pertanyaan seorang mahasiswi Universitas Indonesia tentang apa yang dimaksud dengan adab maritim. Dalam buku Radhar yang bertajuk ‘ Agama Dalam Kearifan Bahari’ dijelaskan pentingnya untuk kembali kediri bangsa yang fitri, yang asli, diri yang sejati lepas dari bayang-bayang budaya kontinental, seperti India, Eropa, Arab atau China. Diri yang dekat dengan alam, menghormati bumi dengan semua isinya, natural maupun nurtural.

Dalam rangka untuk meyakinkan keaslian dan ketuan Indonesia sebagai bangsa berbudaya bahari atau maritim, diangkatnya data dan fakta-fakta yang mengesankan bahwa kebudayaan India yang pernah eksis lama di Nusantara hanyalah bentuk kolonialisme purba, karena kebudayaan India telah mencover, menindih budaya Jawa yang telah lebih dulu ada. Menurut Radhar, pada 100 tahun sebelum Masehi, sudah ada ekspedisi kapal layar dari dari Jawa yang membawa hasil-hasil bumi lokal ( emas, palawija, buah-buahan, binatang ternak.dll) ke Afrika yang akan ditukarkan dengan budak. Plinius juga mengatakan bahwa pada masa sebelum itu, sudah ada manusia dari Nusantara telah berdiam di Afrika. Konon menurut Radhar, ada beberapa penelitian yang mengungkap bahwa sejatinya para pelaut Nusantaralah yang mengajari orang India dan China tekhnologi perkapalan, bukan sebaliknya.

Sebuah paradok telah terjadi, disatu sisi Radhar begitu gandrung melihat dan membaca keaslian budaya bahari bangsa, dengan bernostalgia ke masa yang sangat jauh di belakang, disisi lain juga mengakui fakta budaya bahari kita yang inklusif, terbuka dari pengaruh budaya asing atau budaya kontinental. Masuk dan meresapnya kebudayaan dan peradaban kontinental disebut oleh Radhar, sebuah riwayat yang kian menenggelamkan realitas diri negri ini yang lebih murni, dan yang lebih purba. Radhar pun dalam jawabannya atas pertanyaan mengatakan secara eksplisit bahwa tidak sesuatu artefak budaya di Indonesia ini yang original, misalnya dengan mengatakan bahwa rumah gadang di Minang itu adalah perbauran berbagai budaya. Dan juga tentang hibriditas dari berbagai jenis dan bentuk kesenian di Nusantara.

Yang saya sayangkan adalah mengapa Radhar tidak mengangkat realitas kebudayaan negara-negara kepulauan ada di belahan bumi lain, seperti Inggris atau Jepang sebagai model atau pembanding. Kita tahu bahwa karena karakter terbuka, inklusif dua negara kepulauan tersebut, mereka bisa mencapai kemajuan yang signifikan dibidang ekonomi dan politik juga dibidang kebudayaan. Inggris dalam perjalanan sejarahnya telah menerapkan sistem pemerintahan Monarchi Konstitusional, begitu juga Jepang, yang dicirikan dengan kehidupan demokrasi yang mantap, dan kekuasaan parlemen yang kuat. Dikedua negara tsb, raja atau ratu hanya merupakan simbol negara yang tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan, kecuali sebagai kepala negara. Ini sama dengan yang dipraktekkan oleh beberapa kerajaan Islam di Nusantara pada masa lalu, seperti di Demak, Cirebon, Banten Makassar, Bugis, Mandar, Minangkabau atau Aceh. Hanya di Mataram Islam yang menerapkan monarki absolut, seperti yang dulu dipraktekkan negara-negara kontinental ; Mesir, Romawi dan China.

Inggris adalah negara kepulauan di Eropa yang punya tradisi demokrasi yang kuat dan kokoh, sehingga pernah seorang raja dipenggal karena berseteru dengan parlemen. Inggris juga negara idaman, tempat pelarian para pemikir yang disepelekan dan dipersona non gratakan di negrinya sendiri, seperti Rousseou, Voltaire, bahkan Karl Marx. Di negara maritim itulah lahir ‘Magna Charta’ yang merupakan cikal bakal lahirnya ‘ Universal Declaration of Human Right, PBB. Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan mungkin Canada, adalah negara-negara maju yang merupakan kelanjutan dari kebudayaan terbuka, demokratis, toleran, dan eksploratif dari budaya bahari dan pesisiran Inggris. Di negara yang mengadopsi metode ilmiah eksprerimen dan observasi “Islam” lewat pemikirnya Prancis Bacon inilah lahir ‘Revolusi Industri’ yang membuka peluang bagi kemajuan teknologi, informasi, dan telekomunikasi dunia yang advance dan serba canggih seperti sekarang ini.

Jepang di jaman bahari juga telah menyerap dan membaurkan berbagai elemen peradaban dan kebudayaan asing. Mereka belajar dari China, Korea dalam teknik produksi dan seni, namun kemudian mampu mengembangkan budayanya sendiri yang unik dan orisinal. Agama Budha diadopsi secara kreatif hingga melahirkan Zen Budhism yang sangat khas Jepang. Pada tahun 1868, Jepang mulai pembangunan besar-besaran dan mendasar yang dikenal dengan nama ‘ Restorasi Meiji’ yang mengambil model modernisasi Eropa dan Amerika. Dan ditengah kemajuan pesat yang telah diraihnya dengan susah payah melewati berbagai proses jatuh bangun dan perang, di dalam dan luar negeri, Jepang tetap bisa mempertahankan kehidupan budaya dan spritualnya.

Nah, mungkin kita akan punya rute yang berbeda dalam menapaki kemajuan dengan percepatan yang tentu tidak sama dengan dua negara archipelago di atas, tapi karakter yang terberi sejak kelahirannya sebagai negara kepulauan yang berbudaya bahari, maritim atau pesisiran, bisa dianggap sebagai anugrah terbesar dari Tuhan guna mencapai kemajuan dan kejayaan di masa nanti. Tentu saja dari sekarang mulai diurai lagi serat-serat dan benang budayanya yang bermutu, lalu dipintal, ditenun mengikuti pola-pola yang diinginkan untuk menjadi sebuah lembaran dan mozaik kemajuan dan keindahan yang prima. Dengan memperkuat budaya dan kearifan bahari yang penuh damai dan keterbukaan, adaptif dan inklusif, maka sebuah advance nation yang kuat religiusitas dan spritualnya akan muncul dari gelombang yang bermain dan berlarian disepanjang laut dan perairan Indonesia.
Jika benar apa yang dikatakan Radhar bahwa di jaman maritim yang paling dini, pelaut-pelaut Nusantara untuk telah menggapai negri-negri paling jauh, maka pastilah saat itu pelaut penjelajah tersebut telah punya ilmu kelautan yang tinggi, bukan sekedar berdasar pada tanda-tanda alam, naluri dan kebaikan angin belaka. Orang portugis di awal abad 16 telah mencatat bahwa pelaut-pelaut kita sudah mengenal peta untuk berlayar. Konon Abuquerque pernah mengirim sebuah peta yang bertuliskan huruf Jawa kepada rajanya. Tapi sayang kapal yang ditumpanginya tenggelam, begitu kata cerita. Tapi pelaut jujur itu sempat menerangkan bahwa peta Jawa itu itu juga mencakup daerah seberang Samudra Indonesia, dan malahan menggambarkan pantai Brazil. Jadi ada kemungkinan besar pelaut Indonesia telah mengarungi Samudera Pacifik atau Atlantik. Itulah sebabnya tak ada yang membantah bahwa pelayaran bangsa Indonesia di jaman bahari telah sampai merambah ke Madagaskar dan bermukim di sana. Konon banyak orang-orang dari Sulawesi Selatan di sana. Ini tentu karena orang Bugis telah punya peta navigasi yang maju saat itu untuk menyebrang lautan Hindia yang ganas, tentang realitas ini CCFM. Le Roux telah mengungkapkannya dalam bukunya,’ Boegineesche Zekarten van den Indischen Archipel.’

Tapi seorang sarjana barat lainnya, MAP. Meilink-Roelofsz telah menafikan pengetahuan kebaharian pelaut Indonesia tersebut. Nyonya itu berpendapat bahwa peta yang beraksara Jawa tersebut jelas berasal dari masa sebelum 1512, dibuat setelah mempelajari peta-peta Portugis yang pada waktu itu sudah mengenal pantai Brazil. Beginilah cara sarjana-sarjana barat menghilangkan pakta kecanggihan ilmu bangsa-bangsa dunia ketiga, yang tentu saja ditujukan untuk merusak identitas dan kepribadian unggul yang pernah mereka miliki. Tentang bias peradaban dan prasangka superioritas barat ini, seorang arkeolog penjelajahWilliam H. Isbel pernah mengkritik teori von Daniken yang bias barat terkait penemuan bentuk-bentuk trapesium yang memanjang di padang pasir Nasca, Peru, yang oleh von Danikem dianggap sebagai landasan pesawat terbang. William Isbel menulis sbb :
“ Lalu apa yang menyebabkan von Danikem memberikan pernyataan yang menarik itu? Rupanya ada dua faktor. Pertama, orang-orang Eropa dan Amerika Utara sangat terkesan oleh peradaban dan teknologi mereka. Mereka sangat memandang sisa dunia ini sebagai ‘ kurang berkembang’ dan menganggap bahwa kemajuan teknologi akan menyentuh daerah mereka hanya apabila penduduk aslinya diberi instruksi dalam teknologi dan peradaban barat. Dengan diberi pikiran dasar seperti ini, prestasi karya teknik dunia kuno non barat dianggap sebagai misteri yang menolak penjelasan.”
Yang kedua, von Danikem telah merampok orang-orang non barat dari warisan kebudayaan mereka. Dia gagal untuk menghargai pesan yang sebenarnya dari monumen-monumen prasejarah: keaslian ras dan kebudayaan yang luar biasa sepanjang sejarah kemanusiaan.

Jelas sudah keperluan bagi kita untuk mengenal dan kembali memperkuat budaya maritim dan kearifan bahari kita di masa lalu yang unggul, dan membacanya sebagai sebuah sejarah peradaban dan kebudayaan yang tinggi yang akan mempertegas identitas kita sebagai bangsa yang berkepribadian. Yang dalam perjalanannya juga telah mampu beradaptasi dan mengadopsi segi-segi budaya asing yang bisa mendukung visi sendiri tentang masa depan yang terbentang luas dan merekah. Sejatinya tak ada bangsa yang bisa maju di dunia ini dengan menutup diri dari pengaruh asing serta berlagak bagai katak dalam tempurung. Inggeris bisa maju setelah mengadopsi metode eksperimen dan observasi bangsa Arab Muslim serta belajar dari manusia-manusia renesan seperti Boccacio atau Petrarca. Jepang maju karena dulu belajar pada China dan Korea, serta pada orang Eropa dan Amerika. China bisa seperti sekarang ini karena telah menerapkan prinsip “ satu negara dua sistem, komunis dan kapitalis di bawah arahan Deng Xiao Ping. Bahkan Amerika pun di masa great depresion yang menentukan, di bawah komando Franklin Delano Roosevelt, telah menengadopsi sistem jaminan sosial yang sangat persaudaraan disamping tetap dengan budaya kapitalistiknya.

Sedangkan kita di Indonesia, di atas hamparan laut dengan aneka kearifan baharinya, masih bermain-main dan berekspreimen dengan berbagai sistem ekonomi, terutama sistem sosialis dan kapitalistik. Perseteruan keduanya di sini bersifat zero zum game, saling mensubversi satu sama lain, silih berganti mengambil alih komando pengembangan ekonomi. Tak pernah mau duduk bersanding, bersama-sama merumuskan apa yang terbaik buat bangsa. Ketika di awal pemerintahannya, Suharto memberlakukan tak holiday atas saran ekonom-ekonom mafia Berkeley, lalu diberantakkan oleh Hariman Siregar cs yang pro sosialis, dan begitu seterusnya, hingga kini kita masih saja memversuskan keduanya. Kalau begini terus, kita tak akan pernah bisa maju dan menjadi bangsa yang besar, kendati kita sudah mempunyai modal budaya dan sosial yang canggih, yaitu kearifan bahari.

Tapi ketuaan sejarah kebudayaan suatu bangsa sejatinya tak ada hubungannya dengan kemajuan yang dicapai bangsa tersebut sekarang. Kecuali China yang dikenal sebagai salah satu bangsa berperadaban tertua dan yang telah mencapai kemajuan yang significan sekarang karena telah mengkonsolidasi dan memobilisasi idea of progress yang lama tergelatak dalam kebudayaannya. Mesir, India, atau negara-negara di Timur-Tengah, yang juga adalah masuk barisan negara-negara berkebudayaan tua, masih begitu-begitu aja dan jalan di tempat. Termasuk bangsa Indonesia yang agaknya baru menyadari identitas dan sejarahnya yang tua, yang adalah berbudaya bahari dan maritim yang tinggi dan canggih. Penemuan dan kesadaran diri sebagai bangsa yang berbudaya unggul dan tentu punya harga diri tinggilah yang akan menjadi penyebab utama dan pendorong untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan di masa depan.

Sejarawan Yunani kuno, Hesiodus, mengatakan” Sejarah adalah perjalanan panjang yang menampilkan regresi secara progresif. Semakin jauh perjanan itu, semakin parah terjadinya regresi dan degradasi. Pemikir Romawi, Horatius juga berkata bahwa perjalanan waktu akhirnya mengakibatkan keausan nilai kehidupan kita. Namun dalam nada sebaliknya, Arnold Toymbee justru tidak memandang sejarah sebagaim proses regresi dan degradasi. Toynbee cenderung memandang proses sejarah sebagai serangkaian tantangan dan tanggapan, dan teorinya ini telah cukup lama berpengaruh dalam usaha menerangkan kelangsungan sejarah kebudayaan dan peradaban manusia.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar