Minggu, 29 Maret 2015

AGAMA, BUDAYA BAHARI DAN KEKERASAN

Pada tanggal 18 Maret, di Taman Ismail Marzuki ( TIM ), didiskusikan buku ‘Agama Dalam Kearifan Bahari ‘ karya Radhar Panca Dahana. Sebagaimana biasa dan sudah menjadi klise bahwa setiap kali ada diskusi yang menyangkut agama, maka yang selalu mengemuka adalah pandangan bias atau kecurigaan pada agama tertentu. Lihat saja gagasan yang terformulasi dan dianggap sebagai keprihatinan bersama, yakni, “ Agama-agama di Indonesia tumbuh dalam tradisi bahari yang inklusif serta beradaptasi dengan keberagaman budaya dan masyarakat Nusantara. Kearifan tersebut perlu terus diperkuat demi menangkal radikalisme, kekerasan, atau terorisme atas nama agama yang kian menggejala dalam kehidupan sehari-hari.” ( Kompas, 19 Maret ).

Lebih jauh Radhar menyaran dalam bukunya agar penyikapan terhadap agama bisa sesuai dengan kenyataan terkini. Bahari merujuk pada kata bahasa Arab, bahr yang berarti ‘laut’. Makna itu dikaitkan dengan budaya pesisir yang inklusif di Nusantara. Hal ini dibenarkan dan dipertegas pembicara Asyumardi Azra yang mengatakan “ Islam bahari berarti Islam dengan kearifan bahari. Indonesia adalah satu-satunya negara mayoritas Islam yang hidup di alam bahari, benua maritim. Corak Islamnya khas, berciri terbuka. Itu terjadi sejak Islam berkembang masif pada akhir abad ke 13 dan terpusat dipesisir. Islam Indonesia bersifat kosmopolit, mendunia. Dahulu Islam masuk melalui kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan internasional. Situasi itu membentuk pemehaman agama yang terbuka, inklusif, dan akomodatif. Ini berbeda dengan Islam di Timur-Tengah.”

Pokoknya sebuah gong telah bertalu, dan seolah gayung telah bersambut diantara para pembicara bahwa agama-agama, khusunya Islam mesti membaca lagi pada budaya bahari atau maritimnya sebagai dasar untuk toleransi, salimg memahami dan pengertian antar agama. Politik identitas dirubuhkan, jangan ada sekat antara golongan kami dan golongan mereka. Yang berbeda jangan dianggap musuh dan harus dihancurkan. Keislaman di Nusantara itu hadir pertama-tama pada sifat merangkul orang lain. Inilah Islam yang afektif, hakikat,” begitu kata Masdar F. Mas’udi.

Sebenarnya kedatangan Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari Ideologi Islam yang Inklusif dan kosmopolit di Timur-Tengah. Justru yang merubah konsepsi tentang ruang dan waktu masyarakat Nusantara di masa lalu adalah Islam. Hal ini jelas telah merubah cara pandang dan orientasi dunia yang ada. Tidak lagi berpusat di bumi atau kampung sendiri, tapi mulai meluas dan melihat dunia lain dan segala aspek sosiologis dan kebudayaannya. Sebagaimana yang dikutip Ridwan Saidi, adalah seorang sejarawan Islam, Profesor. Dr. Denys Lombard, dalam bukunya, ‘Le Carrefour Javanais’ yang mengatakan bahwa kedatanga Islam di Jawa pada abad 14 dan 15 telah membawa perubahan dalam sistem mentalitas orang Jawa. Karena jawa sebagai persimpangan jalan, maka perubahan sistem mentalitas itu juga melanda kawasan Nusantara, yakni kerajaan-kerajaan yang berbahasa Melayu, dan tentu juga termasuk kerajaan di bagian timur Nusantara, seperti, Makassar, Bugis, Mandar, atau yang ada di Maluku dan Nusa Tenggara, bahkan Papua, dalam hal ini Fak-fak.

Sebelum kedatangan Islam, waktu lebih dilihat sebagai sesuatu yang mengandung nilai tertentu, ada hari baik dan ada hari yang sial. Tapi Islam membawa konsep waktu yang bersifat linear, jadi ada hari kemaren, hari ini dan hari esok. Dengan memandang waktu sebagai garis linear, maka ada progres. Ini merupakan sendi yang amat penting untuk melakukan modernisasi. Jadi sejak itu masyarakat mulai bersifat dinamis, tidak statis atau jalan ditempat, mulai ada penjadwalan kegiatan dan perencanaan tentang hari depan yang lebih baik dan cerah. Waktu tak lagi dilihat sebagai sesuatu yang subjektif bisa membawa celaka jika diperlakukan salah, tak ada lagi ketakutan pada datangnya saat-saat naas yang tak bisa ditanggulangi kecuali dengan melakukan ritual atau pengorbanan tertentu. Tapi telah dipasrahkan pada Tuhan sebagai penguasa Sang Waktu. Demi masa, orang mulai saling berwatawasau bil haqqi dan wa tawaashau bissahbr, jika tidak insan akan merugi, Indah bukan?

Ruang bagi masyarakat Jawa, dan kerajaan agrasis lain di Nusantara berpusat di keraton atau Istana. Keraton sebagai pusat merupakan gambaran kosmos yang sederhana dalam sistem mandala agrasis, atau menjadi ‘ Axis Mundi’. Sedangkan Islam menempatkan Mekkah sebagai pusat. Perubahan konsep ruang ini mendorong berkembangnya kebudayaan pesisir, dan membudayanya peta geogravis dan navigasi. Menurut Lombard, dari abad ke 16 sampai abad 18 telah terjadi proses sosialisasi konsep-konsep modernisasi yang intens di Jawa dan kawasan sekitar. Hanya saja sukar dipungkiri bahwa telah terjadi juga upaya konservasi warisan lama pra Islam atau tradisionalisasi atau feodalisasi konsep ruang dan waktu di Jawa yang berlangsung hingga kini. Itu terlihat dengan adanya konsep-konsep raja sebagai Paku Buwono, Hamengku Buwono, Paku Alam, Mangku Alam, Mangku Bumi dsb. Dan juga pada adanya konsep ramalan tentang neptu hari dan pasaran di Jawa atau kotika di kerajaan yang ada di Sulawesi.

Bisa dikatakan bahwa sosialisasi dan penyebaran konsep-konsep modernitas, kosmopolitan dan inklusifitas Islam tidak berjalan dengan normal dan lancar di Nusantara. Perdagangan yang sejatinya adalah jalan damai untuk saling bertukar kebutuhan antar kerajaan dan warga, telah berubah menjadi ajang persaingan dan monopoli. Di sini, ekonomi dan perebutan sumber-sumber telah menghalangi terintegrasinya masyarakat bahari atau pesisir ke dalam sebuah tamadudun berorak Islam yang universal dan mondial tapi histosis, kongkrit dan adaptif ( rahmatan alamin ). Kedatangan Portugis dan Belanda dengan organisasi dagangnya ( VOC) telah memecah belah kerajaan-kerajaan Islam yang bercorak inklusif dan modern di Nusantara. Kearifan lokal yang bersifat bahari dengan karakter lapang dan luas telah berkembang secara tidak normal atau telah dibongsai oleh kepentingan untuk memperbesar volume, scala ekonomi pendatang dari barat. Untuk itu mereka bermain politik dan kekuasaan dengan jalan “ pecah dan kuasai ( devide et impera ). Jadi sistem kolonialisme dan imperialisme harus dianggap yang bertanggung jawab pada matinya berbagai kearifan lokal yang ada di Nusantara di masa kebudayaan bahari atau maritim. Dan tentu sekarang yang berpotensi mengerdilkan atau memojokkan karifan bahari ialah pemerintah jika maunya terlalu dominan dan menutup segala aspirasi atau inspirasi dari bawah dan lokalitas.

Dengan penetrasi Barat yang monopolistik dan ekslusif, maka matilah berbagai kearifan bahari yang inklusif dan penuh damai. Budaya kerajaan-kerajaan Islam yang penuh dengan petuah, pepatah-pepitih dan kearifan tinggal kenangan yang kini menghiasi dunia khayalan belaka. Hanya tampil dan diamalkan dalam lagu-lagu, sandiwara dan cerita-cerita dongeng, dan nina bobo. Anak-anak sekarang memang kerap menyanyikan lagu tentang nenek moyangnya yang gagah berani sebagai pelaut, atau Iyet Bustami mendendangkan ‘ Laksamana Raja di Laut’, tapi tak satupun yang tertarik jadi nelayan atau pelaut, apalagi mau mengembangkan industri kelautan yang tangguh. Akibatnya pelayaran dan laut dikuasai oleh kapal-kapal barang dan nelayan asing. Nelayan daerah satu dengan daerah yang lain, malahan saling berebut tangkapan dan bentrok satu sama lain. Provinsi Sulbar dan provinsi Kalsel saling berperkara untuk mendapatkan pulau yang katanya banyak mengandung minyak dan gas alam. Sejatinya kearifan bahari berbasis agama itu tak akan jalan jika kemaruk ekonomi atau politik tidak dihentikan. Jika semua daerah, dan pesisir di Indonesia kini yang berbasis budaya bahari rentan bentrok karena masalah wilayah tangkapan ikan atau pelayaran, betapa akan bisa menjadi mengembangkan budaya bahari yang inklusif dan toleran pada perbedaan latar belakang, suku dan agama.

Kearifan bahari yang berbasi Islam di Nusantara dulu, sejatinya telah melahirkan etos kerja tinggi dengan kearifan yang menghargai pluralisme. Para pedagang yang juga adalah pelaut yang berbudaya bahari, adalah manusia-manusia berani yang menghargai budaya-budaya pesisir yang didatanginya. Tipologi mereka adalah : bekerja sebagai pedagang perantara, punya kearifan menyelesaikan sengketa di tempat yang didatangi, punya tekad keberanian mengarungi samudra, adab dan budi bahasa serta sopan santun yang halus. Di samping itu, inklusivitas budaya bahari juga terlihat dengan jelas pada artefak-artefak religius, kesenian atau benda-benda keperluan lainnya.

Musik gamelan Jawa, gambang kromomg Betawi, kolintang, gong kebyar, orkes melayu, dangdut, bahkan sayang-sayang Mandar adalah penanda budaya hibrid yang multikulturalis. Di sana bercampur unsur-unsur budaya asli, Islam, China, Barat, Hindu/Budha, India atau Persia. Detail pembauran tentang seni bisa dilacak sendiri di internet jika tak percaya. Yang menarik adalah inklusifitas dan prinsip pluralisme dalam rumah ibadah. Mesjid-mesjid di sepanjang pesisir atau juga yang telah nyusup kepedalaman, banyak yang merupakan monumen perpaduan antar budaya sebagai bukti keterbukaan dan penerimaan dengan hati lapang. Masjid terbesar di Asia Tenggara, Istiqlal, diarsiteki oleh seorang kristen, F. Silaban dimana bentuk, dekorasi interior ataupun ekstreriornya tampak sudah jauh dari citra mesjid ala Mekkah, Turki atau Persia. Mesjid Demak yang dulu merupakan pusat penyebarab Islam di Jawa olah para Wali Songo. Dibangun dengan mengkombinasikan unsur-unsur budaya Jawa, Islam, Hindu dan China.

Atap Mesjid bertingkat tiga ( tumpang tiga ) dengan menggunakan sirap dan berpuncak mustaka, jelas adalah pengaruh budaya asli Jawa. Tiang-tiang di serambi yang kadang juga disebut ‘ tiang Majapahit’ karena bercorak seni ukir Hindu. Sedangkan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan pada pintu masuk, adalah dekorasi bercorak klasik dan keramik China. Dan tentu sebagian besar Mesjid tersebut bercorak Islam atau Timur-Tengah.

Jadi jelaslah bahwa sejak kedatangannya di Nusantara, Islam tidak ada masalah dengan kekerasan, radikalisme apalagi terorisme. Memfungsikan budaya bahari adalah hal lain, sedang Islam adalah hal lain lagi. Jangankan antar agama, dalam intra agama juga sering terjadi kekerasan jika sudah menyangkut soal ekonomi, politik atau harga diri kesukuan. Saya pernah melihat sendiri saudara-saudara kita dari etnis Papua dan Manado yang sama-sama berbudaya pesisir saling bermusuhan dan kadang bentrok. Ada terjadi pada satu masa, Jika kapal penumpang Pelni ‘Umsini’ masuk pelabuhan Bitung, warga Papua dilarang untuk turun ke dermaga. Begitu juga warga Manado jika ada diperairan Papua sangat menghindari untuk turun ke pelabuhan. Belum lagi bicara bentrok antar etnis di Ambon, Poso dan Kalimantan. Apakah agama ada di sana?

Laut sebagai teks keraifan lokal yang me-Nusantara atau kamus perdamaian, kemajuan, persaudaraan yang meliputi dan mencakup, religiusitas dan spritualitas bisa diwakili oleh syair Melayu di bawah ini :
Syair Perahu

Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah iktikad diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akherat juga kekal diammu

Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu juga kerjakan
Itulah jalan membetuli insan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar