Selasa, 24 Maret 2015

ERNEST HEMINGWAY, LAUT DAN MANDAR

Seorang seniman, pengarang, atau sastrawan, punya persepsi dan perasaan terhadap sesuatu yang berbeda dengan orang biasa. Pada realitas yang sederhana, kecil dan biasa saja, mereka biasanya menanggapinya secara berlebih yang mengikutkan segala perhatian dan kecintaannya. Sehingga batu, kerikil, rumput, ilalang, daun luruh, genangan air, comberan, jeroan, kuman, lumut, butir hujan dsb, bisa masuk dalam wilayah penciptaannya dengan menjadikan hal lumrah itu sebagai sasaran belaian dan rasa kasih atau sebagai hal yang bisa mewakili perasaann dan mimpinya. Apatah pula pada sesuatu yang besar, seperti matahari, bulan bintang, bumi, gunung, sungai, daratan atau laut. Pada hal-hal ini akan dipandang secara berlebih, dimistifikasi, dipuja dan dipuja, pusat orientasi atau sebagai objek kecintaan atau mungkin kebencian.

Ernest Hemingway, sastrawan Amerika penerima nobel dan hadiah pulitzer, dalam karyanya, The Old Man and the Sea ( Lelaki Tua dan Laut ), telah mengungkapkan dirinya lewat Santiago, nelayan tua yang tak kunjung mati semangatnya dalam mengarungi lautan untuk mencari kehidupan dan kecintaannya, Ikan dan tentu saja keadaan mengambang di laut itu sendiri. Di bawah ini adalah petikan dari novelnya itu yang telah mendapat Hadiah Pulitzer, terjemahan Sapardi Joko Damono :
Dalam gelap itu si lelaki tua merasakan pagi yang tiba dan sambil mendayung didengarnya suara bergetar ikan terbang yang melesat dari air dan desis sayap-sayapnya yang kaku ketika ikan-ikan itu melayang menembus kegelapan. Ia senang pada ikan terbang sebab ikan-ikan itu sahabat-sahabat karibnya di samudra. Ia suka kasihan pada burung-burung, terutama sekali burung laut yang berbulu hitam dan tampak lembut yang senantiasa terbang dan mencari-cari dan hampir tak pernah mendapat apapun, dan ia berpikir, “ Burung-burung itu hidupnya lebih berat daripada hidup kita kecuali burung rampok dan burung-burung yang besar dan kuat. Kenapa burung-burung diciptakan begitu lembut dan indah seperti misalnya burung layang-layang laut sedangkan samudra kadang begitu kejam? Laut memang baik hati dan indah. Tetapi ia bisa sangat kejam dan itu tiba-tiba saja datangnya sedangkan burung-burung yang terbang menukik ke air dan berburu, dengan suara lirih dan sedih adalah terlalu lembut untuk laut.”
Ia selalu menganggap laut sebagai La Mar yakni nama yang diberikan orang-orang dalam bahasa Spanyol kalau mereka mencintainya. Kadang-kadang mereka yang mencintainya suka mencaci makinya tetapi semua itu diucapkan seperti kepada seorang perempuan. Beberapa nelayan yang lebih muda, yang menggunakan pelampung pada tali pancingnya dan yang memiliki perahu motor yang dibeli dengan uang hasil penjualan hati ikan hiu menyebut laut sebagai El Mar yakni berjenis laki-laki. Tetapi lelaki tua itu selalu menganggapnya sebagai perempuan atau sebagai sesuatu yang memberi atau menyimpan anugrah besar, dan kalaupun laut menjadi buas atau jahat, itu karena terpaksa saja. Bulan berpengaruh atas perangainya seperti halnya atas perempuan, pikir lelaki tua itu.

Sentimentalisme dan romantisme pada laut , ikan, atau burung dari Ernest Hemingway lewat nelayan tuanya, Santiago, bisa disejajarkan dengan kecintaan pada laut dan isinya oleh orang Mandar. Secara spasial, laut bagi orang Mandar adalah halaman rumahnya, secara gender, orang Mandar dalam berbagai ekspresinya tentang laut, telah memperlakukan dan menganggap laut juga sebagai perempuan atau La Mar. Ada kehati-hatian atau kelembutan bahasa alias eufemisme yang digunakan pelaut Mandar jika berhadapan dengan laut serupa bila berjumpa dengan wanita atau kekasihnya. Jika dalam motannganga ada bau yang busuk, atau bosi, diganti dengan istilah masarri. Cappuq atau habis, atau ciccoq alias sedikit diganti dengan maseppo atau murah. Di saat itu tak boleh buang air besar bahkan air kecil. Menaiki perahu juga tak boleh dipaksakan, yakni ketika perahu dalam keadaan haluannya diposisi rendah dari posisi buritan yang sedang bergoyang oleh ombak, jadi harus menanti anggukannya bak anggukan seorang wanita yang telah bersedia untuk ditempati ruang hatinya. Bahkan ikan terbang sering dipanggil maraqdia, tentu saja yang dimaksud maraqdia tobaine. Dalam buku tentang Sandeq karya Ridwan Alimuddin, terungkap sebuah ungkapan dari potangnga yang ditujukakan kepada ikan terbang alias tuing-tuing, “ Endui maraqdia”

Keselamatan di laut juga akan senantiasa dihubungkan dengan sikap dan keadaan batin seorang wanita atau istri. Dipercayai bahwa saat yang tepat untuk berangkat melaut adalah ketika istri sedang memegang dada dan meraba matanya. Ussulnya karena kedua bagian tubuh tersebut adalah bagian paling vital bagi manusia, bagian yang paling berisi. Tak boleh pergi jika istri sedang menggaruk kepala sebab dalam keadaan bingung dan gelisah. Seorang perempuan tak boleh ikut berperahu, harus berdua, jika ternyata hanya satu yang harus ikut karena suatu keperluan yang mendesak, maka gantinya adalah ayam betina. Bahkan buaro, atau bubu yang masih dalam taraf pembuatan diuasahakan agar dipegang terlebih dahulu oleh wanita yang sedang hamil. Karena apa yang mereka cari, ikan terbang dan telurnya adalah hasil dari hubungan seksual, dan apa yang ada dalam kandungan wanita hamil itu adalah telur.

Masih banyak lagi bukti yang bisa ditampilkan bahwa laut dan usaha mencari ikan terbang dan telurnya, atau ikan jenis lain, adalah sangat terkait atau dipengaruhi oleh keberadaan seorang perempuan. Itulah sebabnya bagi nelayan Mandar, semua hasil yang didapat dari laut, seolah akan dipersembahkan untuk Sang Perempuan yang telah dengan sabar menantinya di daratan. Setibanya di Pantai, perempuanlah yang punya hak selanjutnya untuk menangani atau mengolah ikan, apakah akan dimasak, dikeringkan atau dijual ke pasar. Jadi bagi nelayan Mandar, laut dan segala isi serta implikasinya adalah perempuan dan untuk perempuan - ada istilah angin janda - . laut memang dipandang bersifat perempuan atau La Mar, makanya laut dicintai sampai ke hati dan sampai mati oleh orang Mandar. Mungkin serupa orang Jawa yang memuja dan mencintai perempuan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar