Selasa, 24 Maret 2015

MENARI DALAM TUHAN

Setiap buku yang berbicara tentang aneka tarian sebuah bangsa, daerah atau tari tradisional, pasti akan diawali dengan pembahasan tentang aspek-aspek spritual, kosmologi atau Ketuhanan. Jalaluddin Rumi pernah berkata, “ Siapapun penari itu, di dalam dirinya bersemayam Tuhan, bagi sang pemuja, menari adalah jalan untuk melebur diri dengan Tuhan.” Memang Rumi adalah pengikut sekte Islam maulawiyah yang gemar menari atau Sama’ untuk mencapai semacam ecstase religiusitas dan spritual untuk sampai pada Tuhan.

Di alam pra Islam, semasa masih di langit, di alam kedewaan, orang Mandar bahkan telah punya tradisi menari. Hal ini dideskripsikan dalam cerita rakyat, “ Tonisesseq di Tingalor” ( Orang yang dibedah dari perut ikan Tingalor). Disebutkan bahwa Raja Langit mempunyai tujuh orang putri yang sama cantik dan jelitanya. Menjelang pesta resmi kerajaan, putri keempat, Imandarraq, sangat bernafsu berlatih tari ( tuqdu), tapi orang tuanya belum mengijinkannya untuk memakai kain emas, padahal ia telah memakai subang, bakkar, potto, dali dan aksesoris tari yang lain. Dalam kecewa, Imandarraq berlari kesana-kemari di ruang istana sampai ke tanah, sampai ke titian langit. Tatkala meniti, kakinya terpeleset dan jatuh ke bumi.

Menurut sebuah sumber resmi, di tahun 2000 saja telah diidentifikasi ada sekitar 300 ratusan tarian traisional di daerah Sulawesi Selatan. Di Bugis ada 98 tarian, di Makassar 66, di Toraja 36, dan terbanyak adalah tari yang ada di Mandar, yakni 116 jenis tarian. Salah satu tarian yang di dalamnya mengandung aspek Tuhan adalah tari “ Tuqdu Denggo” . Tari ini muncul sejak Islam masuk ke Mandar. Biasanya di tujuh orang penari dengan sendok di tangan, dengan iringan rebana dan nyanyian yang syairnya berbentuk kalindaqdaq, “ Bismillah urunna elong / Bungasna pau-pau / Alla, salamaq nasang / Ingganna mairrangngi.....Manuq- manuq di suruga / Saicco pole boi/ Alla, mappettulleang / To sukku sambayanna .

Tentu saja Tuqdu Denggo dapat diasumsikan sebagai sarana dakwah Islam di masanya, dan ini memang terjadi di berbagai wilayah kerajaan di nusantara, di mana berbagai cabang seni telah menjadi sarana dakwah, seperti wayang dan gamelan di Jawa, syair-syair atau tari Zapin di wilayah-wilayah kerajaan berbasis budaya melayu, di Sumatra, Kalimantan.

Dua orang seniman tari Sulawesi Selatan, Halilintar Lathief dan Ninik Sumiani, dalam buku tentang tari di Sulsel yang ditulisnya, telah menguraikan inti pola koreografi tari tradisional di Sulawesi Selatan. Tentang tarian Mandar, dikatakan mempunyai pola bulat dan melingkar pada disain rias, busan dan pola lantainya. Hiasan dan warna dominan yang mentradisi adalah warna putih dan berunsur angin, dengan karakter dasar yang sering tak terduga, mengalun terus, sejuk, merupakan kebulatan dan bernada tunggal. Sifatnya sufiah, tenang dan bersifat kalem seperti sahabat rasul, atau khalifah ke empat, Saidina Usman.

Entah mengapa kedua seniman itu sampai pada kesimpulan bahwa tari di Mandar berunsur angin, Makassar api, Bugis air dan Toraja tanah. apakah telah ada penjelasan dan kesepakan budaya terhadapnya, yang tentu saja mesti berdasar pada kesepakatan seniman-seniman dan budayawan setempat. Tapi sebuah tari atau budaya akan mengalami proses pemaknaan yang bersifat arbitrase dan dinamis, simbol-simbolnya yang memang erat berhubungan dengan alam dan kehidupan bisa didekati secara semiotik dengan berbagai kemungkinan makna yang justru bisa memperkaya kebatinan sebuah budaya atau tari. Apalagi jika sebuah satuan budaya dalam beberapa aspek ekspresi seninya belumlah mempunyai suatu standar yang solid, mengakar dan mentraidisi.sehingga menjadi acuan bagi pengembangan budaya yang telah ada dan akan tercipta. Seperti pada tari-tarian Hindu yang senantiasa mengacu pada pilosofi yang tertulis pada kitab seni Natyashastra. Kontinuitas tradisi dalam seni Hindu memang selalu dijaga kelestariannya. Seniman India, Sunil Kothari mengatakan “ Sepanjang prinsip-prinsip itu masih diterima sebagai suatu bentuk keimanan. Begitu kepercayaan terhadapnya mulai goyah, tradisi akan segera runtuh atau mengalami desintegrasi.

Melibatkan empat unsur alam, tanah, api, udara / angin dan api, adalah suatu yang sejak dulu dilakukan manusia dalam menelusuri genesis kepercayaan dan kebudayaannya. Orang Yunani kuno bahkan telah menjadikan unsur-unsur alamiah itu sebagai dasar bagi kehidupan dalam tinjauan pilosofis dan spritualnya. Thales mengatakan bahwa kehidupan berasal dari satu anasir, yaitu air. Semua yang di dunia berasal dari air, baik itu pangkal, pokok maupun dasar ( prinsipe) dari semua barang dan akan kembali ke air. Anaximenes mengatakan bahwa anasir dari segala sesuatu itu adalah udara atau angin. Daru udara dunia diikat jadi satu. Sementara Heraklitos menyebut bahwa asal segala sesuatu itu adalah api. Api dalam hal ini merupakan kiasan untuk menggambarkan bahwa segala sesuatu itu bisa bergerak karena ada sesuatu peristiwa atau kejadian atau peristiwa. Segalanya berpanta rei, alias berubah.

Dan pemangku kepentingan, para ahli serta koreografer tari di Sulselbar, saya yakin pastilah akan menghubungkan teori empat anasir dasar pada tarian bugis, Mandar, Makassar dan Toraja dengan ideologi dasar bagi seni-seni Islami, yakni sarana kenaikan untuk penyaksian Tauhid atau keesaan Tuhan. Konsep-konsep itu niscayalah bersifat spritual, sebuah kontinum dari alam pra Islam yang animis dan dinamisme yang penuh dengan perlambangan dan makna gaib, ke alam tauhid ke Islaman. Tak ada lagi subjektifitas dan lokalitas sempit di sana, tapi suatu suatu pengungkapan signifikansi universal yang benar-benar baru dan kreatif. Tarian dimaksudkan untuk penyingkapan rahasia, atau penciptaan ( recreating) yang tak terbatas, wujud universal, kedalam diri individual. Melalui penciptaan ini seniman, penari atau penghayat berusaha mendekati Tuhannya untuk meraih kebahagiaan yang sempurna. Seorang seniman tak ubahnya sosok pemuja yang tak jemu-jemu menatap takjub Wajah Tuhan yang bermanifestasi pada alam dan dirinya, Nabi Muhammad bersabda, “ Allah menciptakan manusia dari empat unsur : air, tanah, api dan udara....” lalu berusaha menciptakan kembali kesadaran puncak itu lewat teknik-teknik dalam seni dan tariannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar