Sabtu, 20 September 2014

BAHASA HATI

Malilu sipakainga (lupa saling mengingatkan), adalah sikap antisipatif dan preventif orang Mandar terhadap kemungkinan masalah yang muncul dalam pergaulan sosial dan ranah pribadi. Sikap Itu berangkat dari sebuah compassion atau bela rasa yang telah digariskan dalam sistim nilai orang Mandar bernama Sibali Parri dan Siri. Kata lain dari compassion adalah solidaritas penderitaan dalam relasi antar suami dan istri. Jadi sibali parri tak sekedar mencuat dalam urusan dunia materi dan kerja, tapi juga berada dalam wilayah solidaritas batin, di mana yang satu dengan yang lain mesti saling mengingatkan agar senantiasa mau juga saling mengasihi ( siammasei), kemudian saling bantu ( sirondo-rondoi ).

Salah satu makna Siri’, yaitu Siri’ lita’, Siri pa’banua (hilang martabat negri, hilang martabat rakyat), hanya bisa tegak dan terimplementasi dengan baik jika kita mau untuk selalu saling mengingatkan atas kekeliruan dan ketersesatan. Dalam bahasa agamanya adalah ‘ amar ma’ruf nahi mungkar’ ( mengajak pada kebaikan dan mencegah yang mungkar). Hanya saja dalam praktek, niat baik kita untuk mengingatkan sering salah kita mengerti dan dimengerti orang. Sering terjadi orang yang diberi tahu balik berkata pada kita, ‘ sangga pau’ dan ketika ini terjadi kita akan tersinggung lantas menarik diri serta bermasa-bodo alias apatis.

Di sinilah kita perlu melakukan reorientasi terhadap semua maksud baik kita untuk melakukan peringatan atau sipakainga. Harus muncul kesadaran bahwa kendati masalah yang tampak pada kita dari orang lain tak dapat kita kuasai, setidaknya ia tidak berada “ diluar hati kita”. Sehingga kritik, nasehat ataupun dakwah lisan kita tidak menjadi sekedar suatu ‘pembenaran diri’. Dengan menaruh hati pada setiap masalah, atau bersikap sungguh dan tulus ikhlas, maka pendekatan baik kita pada orang lain akan diterima sebagai sebuah masukan yang positif.

Kita tidak membuta tuli pada realitas orang lain, lantas beranggapan bahwa kita adalah tuan pendapat yang pasti selalu benar. Lebih baik kita berempati dengan menempatkan orang lain di atas kaki dan masalahnya, katimbang menyodorkan ilusi-ilusi kita tentang kebenaran, di mana kita berpretensi bisa menguasai keadaan, jika yang kita tawarkan adalah sekedar pembenaran diri, maka segera kita akan ditinggalkan, kecewa dan merasa frustasi, seolah menjadi pujangga yang tak difahami dan pahlawan yang dilupakan.

Masalah tidak terletak pada buruknya preskripsi atau nasehat kita, tapi ia tak berangkat dari perasaan yang mendalam dan mencuat dari kemurnian hati. Kita hanya dilecut oleh pikiran-pikiran dan khlayalan kita sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Kita tak mau mendengar suara-suara yang muncul dari kebersihan batin kita berupa penderitana orang lain. Dus, kita gagal menyadari bahwa derita mereka adalah derita kita juga. Apa yang disebut nilai-nilai universal berarti juga merupakan nilai pribadi kita sendiri, di mana semua orang harusnya saling berbela rasa terhadapnya, bukannya saling mendominasi dan memamfaatkan.

Sebuah pembenaran diri sejatinya adalah penonjolan keakuan yang sangat problematis dalam setiap relasi horizontal kemanusiaan dan vertikal ketuhanan. Dengan mengatakan bahwa kita adalah yang paling bertanggung jawab pada derita orang lain dan manusia pada umumnya, dan paling tahu jalan yang terbaik, maka kita sebenarnya sedang menciptakan sebuah dinding atau hijab guna mengalirkan udara atau atmosfir kasih sayang yang genuine dari setiap insan. Martin Heidegger, Sartre, Tolstoi, Albert Camus atau Khairil Anwar, dalam kecuekan mereka terhadap solusi –solusi siap pakai dan dunia praktis, mereka justru mampu membuat pembacanya tercerahkan untuk memahami nilai-nilai kehidupan, dan mengalami transformasi jiwa atau revolusi mental.

Solusi awal bagi kemelut kemanusiaan, adalah bahwa kita mau “ berdamai dengan hati atau diri sendiri” Itu tidak berarti kita menurunkan mahkota kepribadian kita, tapi kita hanya berhenti memberhalakan diri sendiri dengan segala atribut-atributnya ; pikiranku, kekayaanku, mobilku, bangsaku, kotaku, bajuku, BBku, gadgetku, dll. Proses peniadaan diri bukanlah sesuatu yang kontraproduktif seperti banyak yang dikatakan orang. Mereka mengatakan bahwa sikap zuhud, asketik adalah sikap pasif dan nrimo yang akan mematikan setiap cabang-cabang kemajuan sosial. Sufisme adalah anathema dalam masyarakat modern progresif yang sedang membangun dan membina diri.

Para salik dan orang-orang saleh yang tenggelam dalam keheningan oleh kedekatannya pada Tuhan, justru adalah orang-orang yang paling mengenal manusia dan semua deritanya. Mereka adalah juru bicara kemanusian yang paling kompeten dan pembersih jiwa yang paling mujarab, karena tanah air meraka adalah Hati. Yang telah mengenal diri dan Tuhan ( makrifat), tentu mengenal pula sebab-sebab kejatuhan dan kesengsaraan manusia. Dengan pengenalan yang mendalam pada segala kotoran hati, maka sebuah tanggapan yang tepat dan pas bisa didapat dan diterapkan. Dengan “Bahasa Hati” atau Dakwah kulturalnya, para Wali Songo berhasil mengislamkan seluruh Jawa dengan tanpa hambatan yang berarti dan banyak tumpahan darah.

Makanya di Mandar kita juga diajarkan untuk selalu saling menjaga perasaan yang terdalam ( sianaopa’mai ), berbicara dari hati ke hati, berkomunikasi batin sehingga setiap masalah yang timbul bisa dicarikan jalan keluarnya dan tidak menimbulkan amuk sosial atau “ mate siri “. Prinsip malilu sipakaingan memang kadang tidak popular dan disukai, tapi harus tetap dilakukan untuk menjaga peradaban. Kesan bahwa kita suka mengajari orang itu lebih baik katimbang kita tak saling tegor dan mengacuhkan satu sama lain. Sebuah botol bahan cair berbahaya yang tak dilabeli kata Racun akan diminum banyak orang dan membuatnya mati. Seorang bijak pernah berkata :

” Kalau orang masih dikuasai oleh kebiasaan-kebiasaan lamanya yang jelek, dan toh dapat mengajar meskipun hanya dengan kata-kata, biarlah dia mengajar….sebab mungkin karena dipermalukan oleh kata-katanya sendiri, akhirnya dia akan mulai melakukan apa yang diajarkannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar