Rabu, 24 September 2014

FUJUKO SANG DAN FELIXIA YEAP

Dalam roman karya Nasyah Djamin, Gairah Untuk Hidup Dan Untuk Mati, dikisahkan pertemuan seorang gadis Jepang bernama Fujuko dengan seorang pemuda Indonesia Husen di Tokio Jepang. Dengan setting kehidupan masyarakat industrial modern Jepang yang telah mengalami anti klimaks titik pencapaiaan pembangunan materialnya, roman itu melukiskan betapa manusia mengalami kesepian dan stress dengan stressor dari segala penjuru yang susah sungguh untuk diatasi oleh batas kemampuan individu sebagai mahluk eksistensial. Merasa sendiri dalam keramaian, hidup seperti diburu-buru dan bersifat mekanistis, perangkap opini budaya dan sosial yang memberhalakan sukses-sukses material belaka, telah merebakkan fenomena bunuh diri yang meluas ke semua kalangan dengan beraneka ragam sebab atau pemicunya.

Dalam suratnya kepada Husen, sebuah sketsa yang mewakili jamannya, Fujuko menulis, “ Sering aku bertanya-tanya dalam hati, bisakah manusia mempertahankan kemurnian hati dan jiwanya? Terutama perempuan sebagai aku, sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri di alam kota besar? Di mana setiap orang hidup sebagai salah satu bagian mesin untuk terus menjalankan mesin besar industry. Kekantor, kepabrik, keperusahaan, dan malam hari pulang letih layu di kamar masing-masing menunggu hari esok yang sama. Dimana pintu-pintu pelepasan hanya tempat hiruk pikuk di bar, night club, di tempat-tempat peristirahatan yang penuh dengan manusia-manusia yang sama lusuh dan hausnya. Hidup ini bukan kepunyaan kita sendiri lagi, sebab kita harus mengerahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menjalankan mesin besar dan mekanis itu….”

Ada paradoks yang mencuat dari masyarakat Jepang yang digambarkan di atas. Disatu pihak manusia mengalami kemudahan dan kebebasan dari keharusan kerja keras dengan kemudahan dan kenyamanan yang diperoleh dari kemajuan ilmu dan tekhnologi. Dilain pihak manusia merasa terbelenggu dan sesak dalam kelimpahan dan kebebasan tersebut. Inilah yang disebut oleh mbahnya kaum eksistensialis, Jean Paul Sastre, “ hukuman untuk memperoleh kebebasan “ ( condemmed to be free ). “ Manusia kesepian, kata Sastre, dicampakkan ke bumi ini di tengah-tengah begitu banyaknya tantangan, tanpa ada yang menolong, juga tidak terhadap arah hidupan, oleh orang lain, kecuali dirinya sendiri, dengan tiada orang lain akan berbagi nasib kecuali dirinya sendirilah yang menempa di bumi ini.”

Memang roman Nasyah Djamin itu bernada filsafat eksistensialis, tipikal jamannya, serupa dengan Khairil Anwar, Iwan Simatupang atau Sitor Situmorang. Eksistensialisme adalah corak pemikiran yang merespon dunia modern dan technologis yang telah merefresh dan mereduksi manusia sampai menjadi hanya sekedar sekrup dalam dunia industri yang mekanistik. Kaum esistensialis ingin mencuatkan kembali sisi kemanusiaan dari orang-orang yang telah terlempar hingga nyaris menyerupai benda dan barang belaka di alam yang penuh persaingan dan benturan , jadi eksistensialisme adalah filsafat ‘ humanisme”.

Roman yang ditulis di tahun 60 an dengan permasalahan eksistesial manusia terlanjur itu, sejatinya masih relevan dan beroleh gaungnya hingga saat tulisan ini dibuat. Dan respon manusia terhadap masalah eksistensialnya berbeda-beda. Ada yang tidak melihat Tuhan dalam situasi nelongso itu, atau “ putus hubungan dengan Tuhan’ ketika menghadapi tantangan dan masalah hidupnya. Ada yang justru kembali atau menyerahkan jawaban masalahnya pada solusi ketuhanan. Mukmin atau yang beralih ke Islam akan berprinsip ‘ Aslamtu wajhi Ilaika “ dengan berserah sepenuhnya pada kehendak Allah. Inilah yang terjadi pada Felixia Yeap (28 thn ) warga negara Malaysia yang adalah mantan seorang model majalah porno Playboy. Berkat hidayah Allah SWT, Felixia yang sempat karam dalam kehidupan tak menentu dan tanpa pegangan, terjerumus pada pergaulan anak muda yang suka minum-minum, merokok dan narkoba, kini telah jadi muslimah dan mantap mengenakan hijab. Alih-alih melakukan bunuh diri atau karam dalam keputusasaan seperti yang terjadi di Jepang atau di bagian dunia lain akibat tekanan dunia modern dan proses industrialisasi, Felixia malah bangkit menjemput cahaya dalam kegelapannya, “ aku merasa dilahirkan kembali “ tulis Felixia dalam akun Facebooknya.

Dalam majalah Hidayah edisi September 2014, Felixia bercerita, “ Saya terlibat hampir 10 tahun dalam dunia modeling. Saat itu saya masuk dalam gemerlap kehidupan manusia. Orang-orang disekelilingku beranggapan bahwa kemewahan adalah kebahagiaan.” tuturnya.

Orang di sekelilingnya kebanyakan mengukur kebahagiaan dengan memiliki pasangan. Gonta-ganti pasangan adalah hal yang biasa. Umumnya mereka memahami kebahagian dengan kemewahan dan kebebasan yang semu. Akhirnya Felixia berpikir bahwa itu adalah anggapan yang salah. “ Itu bukan kemewahan yang saya cari. Sebab apa gunanya punyai kemewahan tapi hidup rasanya kosong, tidak bermakna, dan bergelimang dengan dosa? Itu bukan kebahagiaan yang saya cari.” Tutur Felixia.

Kemudian Felixia mencari Tuhan, dan mencoba mencarinya pada berbagai agama. Akhirnya apa yang dicarinya ketemu dalam Islam. Sebagai muslim ia katanya merasa lebih tenang, damai dan telah membawanya pada kehidupan yang lebih sederhana. Uang dan kemewahan tidak lagi menarik perhatiannya, seperti sebelumnya. Kerjanya sekarang lebih banyak berdoa dan bermunajat minta pengampunan dosa dari Ilahi. Dengan koneksi dan kedekatannya pada Tuhan, maka Felixia Yeap mencapai kesempurnaan secara jasmani dan rohani. Tambah cantik, memukau dan bercahaya, paling tidak Felixia telah menjadi lilin bagi terang generasinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar