Jumat, 19 September 2014

MUHAMMAD IQBAL DAN BAHARUDDIN LOPA


Hamba tanah liat ini membangun
Rumah berhala perdamaian dunia…
Namun ketika perang datang
Ia campakkan cadar pura-puranya
Lalu tegak bangkit
Sebagi musuh yang haus darah

Sajak Muhammad Iqbal di atas adalah kecamannya terhadap keberadaan Liga Bangsa-Bangsa yang dianggap sebagai lembaga perdamaian yang justru melanggengkan perang dan membagi mandat kekuasaan kepada pendirinya untuk menguasai separo dunia. Para pemrakarsa lembaga dunia yang didirikan di tahun 1920 pasca Perang Dunia I, terutama Inggeris dan Perancis , oleh Iqbal dianggap sebagai “ para pencuri kain kafan yang memilah-milah kuburan dunia”

Mazheruddin Siddiqi pada sebuah artikelnya dalam The Image of the West in Iqbal, mengutip Iqbal yang mengatakan bahwa Liga Bangsa-Bangsa adalah persatuan maling untuk membagi-bagi sesama mereka kuburan bangsa-bangsa yang ditaklukkan. Nasib Abbesinia, Yordania, Palestina, Suria, Iraq dan negara-negara Arab lain yang dicaplok dan dibagi-bagi oleh LBB kepada negara-negara sponsornya telah membuat Iqbal menulis :
Kalian telah menjarah kekayaan kelana gurun pasir
Kalian telah mengikis habis harta benda mereka yang berarti
Kalian telah merampas rumah dan pekarangan petani
Kalian telah merenggut mahkota dan tahta
Perampokan dan pembunuhan atas nama peradaban
…….

Apa yang dulu menjadi kecaman dan keprihatinan Iqbal juga telah dialami dan dirasakan pula oleh Baharuddin Lopa, pendekar hukum dari tanah Mandar, Indonesia. Jika Iqbal mencemooh Liga Bangsa-Bangsa di masanya, maka Lopa mengkritik tajam kinerja Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara barat terkait dengan kasus pelanggaran HAM di Bosnia dan Chehnya. Dalam hal itu Lopa menulis “ Umat di mana-mana masih menderita. Lihat saja di Bosnia, di Chehnya, dan bagian tertentu lainnya di dunia, umat Islam terus menerus ditekan. Kalau kita mendengar cerita bagaimana pemberontak Serbia memperkosa wanita-wanita muslim Bosnia setelah suami /ayah mereka dibunuh, rumah-rumah ibadah dihancurkan, sungguh semuanya itu menyayat hati kita. Demikian juga di Chehnya, pasukan Rusia membantai orang-orang muslim Chehnya, membom kota-kota dan desa-desa, sehingga di jalan dan lorong-lorong bergelimpangan mayat wanita dan anak-anak…”

Secara retorik Lopa bertanya, “ mengapa tragedi yang merupakan pelanggaran HAM yang sangat mencolok ini, meskipun sudah berlangsung sudah cukup lama. Tidak ada yang dapat menghentikannya.” Lopa kemudian menjawabnya sendiri dan berkata “ Salah satu penyebabnya adalah karena negara-negara besar tidak konsekwen menegakkan hak asasi manusia. Contohnya Amerika Serikat. Negara ini tidak jelas pendiriannya dalam menghadapi umat Islam, khususnya di Bosnia dan Chehnya. Setidaknya mereka tidak bersungguh-sungguh menghentikan kekejaman kaum aggressor terhadap kedua negara tersebut. Memang ada pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB) yang ditempatkan di Bosnia. Tapi mereka tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan baru-baru ini ratusan diantara mereka ditawan oleh pemberontak Serbia, namun tidak ada reaksi baik dari pihak Nato maupun dari PBB sendiri.

Sedikit pejabat negara Indonesia yang berani bersuara keras terkait pelanggran HAM oleh negara-negara barat dan kinerja PBB yang mandul di saat masih menjabat dan aktif di pemerintahan. Artikel Lopa yang berjudul “ Pelanggaran HAM Dan Kekuatan Sendiri “ ditulis saat beliau masih menjabat sebagai Sekjen Komnas HAM. Malahan Lopa seperti meniru Iqbal atau Jamaluddin Al Afgani dengan menghimbau untuk menguatkan barisan dan kekuatan Islam dalam menghadapi kesewenang-wenangan barat serta sifat double standard Amerika Serikat, dalam rangka itu Lopa menulis “ Dari pengalaman-pengalaman pahit yang dialami oleh golongan muslim di Bosnia dan Chehnya dewasa ini, maka cara yang terbaik ditempuh untuk keluar dari lingkaran malapetaka ini adalah memupuk kekuatan umat Islam itu sendiri di seluruh dunia. Sebab, kekuatan persatuan di kalangan umat Islam sendirilah yang dapat menolong dirinya sendiri dan dapat membendung kekuatan-kekuatan kaum aggressor…..Tapi, sekali lagi perlu diingat bahwa kuncinya pada kekuatan ( persatuan ) umat Islam sendiri. Sebab, selama negara-negara Islam tidak mengakhiri sifat-sifat mereka yang suka bertengkar, bahka berperang satu terhadap yang lain – seperti Libya yang tidak pernah rujuk betul dengan Arab Saudi. Irak masih bersitegang dengan Kuwait yang didukung negara-negara teluk, sementara kini sedang hangat-hangatnya sengketa antara Mesir dengan Sudan dan sebagainya, tidak akan banyak yang dapat kita harapkan dalam mengakhiri kemelaratan umat Islam tersebut.”

Seruan ala Pan Islamisme Jamaluddin Al Afgani oleh Lopa itu, agaknya di era kontemporer ini beroleh gaungnya dan sangat relevan sekali. Kemelut di negara-negara Islam, fenomena Arab Spring yang setengah jadi, perang saudara di Siria, munculnya ISIS di Iraq yang memecah belah umat, pembantaian yang terus berlangsung di Gaza Palestina oleh Zionis Israel, memang semua itu sangat menggambarkan secara keseluruhan apa yang menjadi keprihatinan dan harapan seorang Baharuddin Lopa. Tapi pemimpin-pemimpin negara Islam sampai saat ini belum tergerak hatinya untuk secara serius mau menangani berbagai kemelut itu terutama mau duduk bersama membahas krisis Gaza yang telah menewaskan lebih dari 2000 orang serta melukai hampir sepuluh ribu orang, padahal pemimpin-pemimpian dunia terutama dari negara-negara Amerika Latin telah mengecam keras tindakan genocida Israel di Gaza. Mereka adalah, Presiden Nicaragua, Daniel Ortega, presiden Bolivia Eva Morales, dan presiden Brazilia Dilma Rousseff. Bahkan Daniel Ortega menilai serangan brutal Israel di Gaza sebagai bentuk genocida yang sebanding dengan tindakan Nazi pada Perang Dunia Kedua.

Jika G.P. Polinskaya, seorang Indolog dari Rusia mengatakan bahwa Iqbal adalah salah seorang penyair dan pemikir terbesar dari anak benua India yang telah dengan berapi-api menentang penindasan dan ketidak adilan. Atau oleh Anwar Ibrahim disebut sebagai pencetus sesungguhnya Renesans Asia dan kebangkitan Islam. Maka saya atau kita dapat mengatakan bahwa Baharuddin Lopa juga seorang yang pantas disebut sebagai pejuang anti penindasan dan ketidak adilan yang sangat konsisten secara teori dan praktek. Juga seorang pejuang Islam yang istiqomah, konsekwen dan tanpa kompromi. Dalam banyak tulisannya di Koran-koran atau majalah nasional, Lopa tak pernah lupa menyodorkan preskripsi-preskripsi ke Islaman atau senantiasa tanpa tedeng aling-aling menunjukkan visi ke Ilahiannya, hal yang kerap dihindari atau disembunyikan oleh banyak pejabat-pejabat negara ketika masih in office. Diantanranya adalah, Ali Sadikin, AH Nasution, ZA Maulani, dan banyak lagi. Barulah ketika lost office, mereka mau bicara tentang Islam.

Sebagai Islamis, Lopa tampak lebih sebagai sosok ulama atau sufi katimbang intelektual atau modernis Islam. Visi keislaman beliau tidak berbelat-belit, atau penuh dengan gaya bahasa dan wacana abstrak. Beliau lugas dan tegas dalam membahasakan fiqih dan syariat. Mungkin karena beliau adalah seorang praktisi hukum atau birokrat yang penuh dengan kerja pengusutan dan penegakan hukum secara pasti dan kongkrit, sehingga tak punya banyak waktu untuk berleha-leha dengan pemikiran yang abstrak guna melahirkan konsepsi-konsepsi besar seperti pada seorang Iqbal. Persamaan Iqbal dengan Lopa, adalah bahwa keduanya suka menulis, Iqbal dalam bentuk Puisi, sedangkan Lopa dalam bentuk Prosa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar