Jumat, 18 Februari 2011

CELOTEH TENTANG SENI


Celoteh Seni. Fenomena yang paling menonjol dalam kehidupan budaya artistic negri ini sejak reformasi adalah maraknya amatirisme. Mungkin hal ini adalah bagian dari perubahan kebiasaan dan cara pandang terhadap seni dan budaya yang diakibatkan oleh proses globalisasi.. Realitas ini disimbolkan oleh fakta bahwa presiden kita, SBY adalah musisi bahkan seorang penyair. Sedang pendahulunya Gus Dur, adalah seorang kolumnis, penulis esei, sastrawan, dan bahkan pernah menduduki posisi penting di kesenian sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Para pejabat mulai dari gubernur, bupati sampai lurah seperti telah jadi kewajiban untuk bisa – bukan pandai – bernyanyi. Akibat dari pemaksaan diri untuk bisa nyanyi, pernah dalam suatu acara pertemuan para bupati, 5 bupati yang didaulat untuk unjuk gigi menyanyikan lagu yang sama; Angin Malam!. Amatirisme didunia musik begitu masif hingga dapat dikatakan semua anak muda negri ini sepertinya ingin jadi musisi . Itu distimulir oleh kian banyaknya tempat dan peluang untuk aktualisasi.. Lihat saja acara2 di televisi, bukan saja conten musik semakin banyak, tapi waktu tayang juga sudah tak mengenal waktu. Baru bangun tidur kita sudah disuguhi musik dan celotehan asal bunyi para presenter yang kesemuanya rata – rata amatir dan bernuansa selera pasar. Di gang-gang, di lorong – lorong kota2 besar dan kecil negri ini, ribuan anak2 muda yang baru bisa main instrumen dan bernyanayi alakadarnya, sibuk membuat demo untuk disodorkan ke label2 top lalu bermimpi jadi seleb dan meraup dalam sekejap uang milyaran rupiah.. Di dunia seni rupa setali tiga uang, prestasi para pelukis diukur dari berapa banyak uang dihasilkan dari lukisannya. Di sini amatirisme juga menonjol dengan seringnya ada pameran lukisan dari para seleb, artis, sosialita, dan nyonya2 petinggi. Sekarang ini kita sudah tidak bisa membedakan teater dari sinetron. Semuanya sama saja, pertunjukan semakin ’shoothing’ ( manis dan lembut ). Teater telah mengarah seperti apa yang pernah dikatakan Thornton Wilder, ’ The tragic had no heat; the comic had no bite; the social criticism failed to indict us with social responsibility’. Jarang juga kita temui metode-metode pertunjukan kreatif seperti pada era ATNI, Rendra, atau Arifin C Nur. Panggung teater dewasa ini dipenuhi dengan objek2 specipik yang melokalisasi teater sehingga teater kehilanga vitalitas dan tilikan universalnya. Dengan metode produksi seperti itu, menurut Thornton Wilder ” The characters are all dead before the action starts”. Sejatinya hakekat hidup dan keindahan yang tersirat dan tersuruk dalan segala bentuk seni tidak dapat kita gapai dengan uang dan materi belaka. Banyak contoh kehidupan seniman sejati heroik, dimana demi seni dan kebudayaan mereka menolak diperhamba materi yang memandulkan kreativitas dan memalingkan hati dari hakekat hidup dan kebenaran. Bethoven ketika mendengar Napoleon Bonaparte telah berubah menjadi seorang diktator, merobek-robek partitur lagu yang tadinya akan dipersembahkan untuk idolanya itu. Ini adalah salah satu contoh dari banyak seniman yang memegang teguh prinsip2 seni, kehidupan, dan kebenaran dalam hidupnya. Memang hanya seniman2 yang berjiwa besarlah yang akan menjaga keruntuhan kebudayaan dan peradaban bangsanya dan menjadi ’ Obelisk ’ diatasnya. Salam Jakarta 19 Februari 2011 Syafiyullah Pilman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar