Kamis, 20 Februari 2014

MARIA ASTERIA SASTRAYU RAHAJENG

Apa implikasi dari kedatangan seorang Maria Asteria? Apakah akan berdampak positif atau sebaliknya bagi Mandar bukan itu soalnya, tapi kehadiran itu telah menegaskan ketiadaan kita sebagai sebuah entitas budaya yang warisannya sendiri tak dapat lagi menjadi acuan, melainkan karam dalam genggaman standar kesempurnaan yang ditetapkan oleh orang atau kebudayaan lain. Sebuah invasi budaya terang-terangan yang beroperasi di panggung gemerlapan dan berpotensi mengancam semua rajutan budaya Mandar yang solid. Hakekatnya Maria telah menjadi boneka Barbie yang cantik dan indah, tapi ia telah tergeletak tak berdaya di ruang imajinasi dan hasrat-hasrat gila manusia konsumeris dan hedonis, justru karena ia telah menjadi refresentasi sebuah Mandar, seandainya ia tampil di ajang Miss Indonesia secara pribadi, mungkin ia tak akan tersorot tajam dan silau.

Maria yang telah dilimpahi dengan hadiah-hadiah dan pujian-puijian selangit sejatinya sedang dibanting dan dirantai, begitu juga dengan daerah yang diwakilinya. Maria dan Mandar paling tidak telah dimasukkan kedalam ranah budaya interkulturalisme yang mendasari dirinya pada paradgima “ dialog budaya yang konstan di langit globalisme”. Tapi bagaimana jika mitra dialog itu tak bermakna bagi kita, kendati bagi rezim kapitalis modern sangat bermamfaat, mengapa signifikansi budaya kita harus diturunkan dari bahasa orang-orang kaya dan diperkaya dari kebuayaan lain?

Itulah dasar keberatan kita terhadap phenomena kehadirang Maria Asteria yang cantik dan cerdas. Tapi apakah ini akan efektif dan bertahan lama dari gempuran wacana kontra? Jawabnya tergantung determinasi kita pada pertahanan budaya sendiri dari serangan imperialism budaya yang bekerja secara halus dan terselubung. Rezim global tak punya paspor untuk memasuki wilayah-wilayah budaya lain tanpa kulo nuwun dan seenak udelnya. Memungggungi kita lalu memotret produk-produk budaya yang tercerabut dari akar. Lalu merasa punya hak untuk memamerkan bahkan menjualnya ke seluruh dunia. Jika Maria dianggap telah mempromosikan Mandar atau Sulawesi Barat, lantas pada aspek mana yang bisa membanggakan itu. Seandainya Maria bisa menari Pattu’du atau makkalindaqdaq. Tapi itu juga tak ada artinya andai nanti di ajang Miss Word, Maria harus berbikini ria, ini sama saja memamerkan aurat Mandar.

Kendati ada persyaratan bahwa Miss Indonesia harus cerdas, tapi itu hanya sebuah embel-embel saja. Yang utama adalah kecantikan dan kemolekaan Miss. Bukankah ini telah memperkuat dan menularkan budaya “ Narsis” yang merata di seantero dunia. Di mana-mana wanita berlomba untuk mempercantik diri di salon, di fitness center, di spa, dan di ruang dokter oplas, dan tanpa disadari kembali jatuh dalam pelukan budaya patriarki dimana wanita hanya sekedar menjadi objek pelampiasan belaka. Yang nyata jelek ikutan narsis dengan prinsip “ biar jelek asal sombong” Yang kalah dalam perlombaan kecantikan akan membuat tuduhan-tuduhan aneh dan ngga nalar pada pesaingnya, misalnya dengan menuduhnya telah pakai susuk atau bersekutu dengan setan kecantikan, busyet!

Dari ajang miss-miss yang mis itu telah merebak juga budaya “ Hiperrealitas” alias mencari realitas semu. Nama dibagus-bagusin, gadget di tas ada lima, gonta-ganti mobil dengan memaksa suami korupsi, semua itu untuk mencari simbol status belaka agar dikira orang kaya benaran padahal dipaksakan. Maria Asteria Sastrayu Rahajeng jelas adalah sebuah realitas semu alias phenomena kebohongan yang muncul dari langit Sulawasi Barat atau Mandar. Kalau benar dia tobaine Mandar, pasti nama aslinya Cicci Lambeng atau Cicci Lamballiwang….
Oh kindo, angga’namo andiang to malolo anna manarang di Mandar de.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar