Jumat, 03 Februari 2017

SAYA BERPIKIR MAKA SAYA ADA


Sepertinya siapapun sulit membantah kebenaran adagium abadi dari Descartes yang berbunyi “ Saya berpikir maka saya ada “.( Cogito Ergo Sum ). Paling tidak kerja berpikir itu merupakan modus untuk menjadikan manusia tidak sekedar mengada-ada, tapi mengada secara ‘otentik, atau adanya itu sebagai ‘manusia, bukannya adanya benda-benda, seperti yang diteorikan Sastre. Jadi orang atau kelompok orang yang tak berpikir akan jatuh derajatnya menjadi sekedar barang, angka-angka atau kerumunan yang rentan digebyah-uyah dan dimanipulasi oleh ide-ide atau pikiran yang yang ideologis dan egoistis,

Di tubuh bangsa dewasa ini tengah berlangsung upaya –upaya untuk mencegah orang untuk berpikir dan berakal sehat. Entah karena ketakutan yang bersifat material atau rohaniyah, dimunculkanlah aneka kambing – kambing hitam untuk mencegah atau membatasi orang mau berpikir secara kreatif dan bebas. Kambing-kambing yang dicap sangat hitam itu ada yang bernama hoax, anti pancasila, anti keragaman, atau counter penistaan agama penistaan agama yang terkesan dicari-cari, dll, dll Akibat paling buruk dari semua itu adalah antar sesama anak bangsa saling tuding, saling melapor dan saling menggugat. Gara-gara hoax yang sejatinya tak berarti dan angin lalu itu, pemerintah telah menggempur internet dengan aneka senjata, seperti pemblokiran dan spionase yang menurut saya hanya membuang energi dan biaya, malahan menimbulkan kesan paranoid, suatu ketakutan tak berdasar.

Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah meneliti hoax-hoax itu oleh siapa dan dengan tujuan apa, tanpa gembar-gembor. Dengan adanya peta hoax yang terang dan benar, maka akan diketahui di mana hulu dan hilirnya. Seperti sebuah sungai,maka yang banyak pasti hilirnya, sedang hulunya hanya satu. Nah, hulunya itulah yang diberangus, sedang hilir-hilirnya kembalikan saja ke jalan yang benar dengan pendekatan yang lebih ngewongke dan berwibawa. Jelas itu lebih baik dari marah-marah dan ngedumel melulu sehingga bertiindak ngawur dan bernada otoritarian. Ini bisa jadi bumerang buat pemerintah. Anggap saja para hoaxer itu telah kehilangan akal sehatnya, yang perlu diterapi dengan sehat. Jangan malah ikutan kehilangan akal sehat, siapa nanti yang akan mendokteri. Baik-buruknya keadaan masyarakat, adalah tanggung jawab pemerintah. Sebab untuk itulah dipilih rakyat dan diberi mandat untuk mengurus dan melayani rakyat, bukan untuk menguasai dan menggembalakannya secara semau-maunya.

Jika pemerintah berpikir bahwa rakyat sudah tak bisa berpikir sehat lagi maka perlu terus diawasi dan diancam, maka itu berarti rakyat sudah tak ada lagi dong, seperti nada nyanyian Descarter di atas. Kalau rakyat sudah tak ada, apa pmerintah juga masih bisa dianggap ada? Bukankah esensi negara demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi jika perintah dengan mudah dan sering membuat peraturan, undang-undang, perppu, atau dekrit yang bercorak diktatorial, karena alasan keamanan dan ketertiban negara dan masyarakat, ini akan menimbulkan kesan dan akibat buruk secara jangka panjang. Jangan karena kepentingan sesaat, dan hasrat pragmatisme kekuasaan, rakyat dimatikan kretifitas dan kegembiraannya berpikir.

Siapapun berhak untuk berpikir dan berpandangan, dan menuliskan pikirannya itu secara pribadi atau dipublikasi di media-media. Tapi siapapun tak berhak mengklaim bahwa pemikirannya itu yang paling benar. Jika toch ada yang bersikap mau benar sendiri, maka kita semua bisa menilai bahwa orang atau kelompok tersebut telah salah besar. Atau telah jauh dari kebenaran, karna pemikirannya hanya sebuah ‘ rasionaliisasi’ yang memaksakan mimpi, keinginan dan keyakinannya sendiri secara subjektif. Cara berpikir tak kreatif yang jauh dari kebenaran dan objektifitas itu adalah cara berpikir anak-anak yang selalu menonjolkan keakuan dengan kata-kata berakhiran ‘KU’ : ibuku, bukuku, kotaku, mobilku, kucingku, bangsaku, negaraku, agamaku, dsb, dsb dsb, jadi untuk apa takut pada cara berpikir anak-anak tersebut yang kebetulan sedang jadi trend.

Pada dasarnya kita dalam keseharian dan tugas selalu berpikir dan berpikir. Tapi jarang yang mau berpikir secara kritis dan kreatif. Paling banyak berpikir jenis ‘ngalamun’ atau ngelantur. Ini terjadi ketika kita mengikuti begitu saja jalan pikirannya kita kemana dia mau. Biasanya akan selalu mengarah kepada kesenangan-kesenangan kita, keinginan, rasa suka atau kecewa yang telah kita alami. Kita akan selalu mengingat-ingat pujian atau celaan orang. Pokoknya berpikir begini adalah tanpa arah, narsis dan tak produktif. Oleh James Harvey Robinson, berpikir secara spontan ini disebut ‘ Reverie’ : We allow our ideas to take their own course and this course is determined by our hopes and fears, our spontaneous desires, their fulfillment, or frustation, by our likes and dislikes, our loves and hates, and resentments. Pokoknya tak ada yang lebih menarik selain milik dan diri sendiri.

Berikutnya adalah kita berpikir ketika harus membuat satu keputusan, atau memilih apa-apa yang harus kita lakukan alam kehidupan sehari-hari. Msalnya apakah akan ke kantor pakai mobil, angkot atau kereta. Ini adalah berpikir praktis yang mesti kita lakukan tanpa mengingat lagi beban-beban moral yang mungkin ada. Seterusnya adalah cara berpikir yang selalu membenarkan diri sendiri, pendapat dan opini atau apa saja yang kita yakini, dll. Cara berpikir kekanak-kanakan inilh yang paling banyak dilakukan oleh kita, mennggejala dan jadi favorit di masyarakat. Kita sering tak terima bahkan emosi jika pendapat dan keyakinan kita dikritik dan dipermasalahkan orang. Memang secara bawaan,manusia akan senantiasa membela dan mempertahnkan apa saja yang dimilikinya dari serangan-serangan, termasuk pemikiran dan ide-ide, serta keyakinannya. Tapi jika ‘self mechanical defence itu berlebihan, maka akan terjadi hal-hal seperti yang dilakukan Ahok, di Pulau Seribu dan di depan Pengadilan. Yang telah menimbulkan reaksi dan respon keras secara luas.

Mending sekarang kita memperbanyak berpikir kritis dan kreatif, sebab berpikir beginilah yang akan membawa kemajuan bagi bangsa. Mencapai cita-cita bersama, bukannya saling gontok-gontokan, saling hujat dan saling melapor. Berpikir secara kreatif terjadi ketika kita begitu tertarik pada sesuatu yang indah dan berguna, merasa takjub dan heran lalu melupakan segala prakonsepsi serta keinginan diri yang sempit. Dan pada akhirnya akan berkata, wow,....ini dia yang benar, sungguh luar biasa!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar