Selasa, 10 Oktober 2017

WARISAN BUDAYA


WARISAN BUDAYA


Sungguh beruntung bangsa Indonesia terutama generasi muda, karena ia mendapat warisan beraneka rupa dan ragam budaya yang tak ternilai dari nenek moyangnya. Warisan budaya dari berbagai daerah dalam jumlah ratusan bahkan ribuan itu sejak tahun 2013 telah diseleksi.dipromosi dan dipentaskan pada chalayak. di Gedung Kesenian Jakarta, pada tanggal 4 Oktober 2017 yang baru lalu, perhelatan tahunan yang penting itu kembali diselenggarakan sekaligus memberi sertifikat penghargaan kepada para Gubernur dari daerah yang terseleksi warisan budayanya.Diantaranya Gubernur Sulawesi Barat, Ali Bal Masdar. Tahun ini yang masuk kategori warisan budaya Sulbar adalah Lipa’ Sa’be atau kain tenun sutra Mandar.

Sutra Mandar atau Gubernur Sulbar memang layak beroleh penilaian yang tinggi. Begitu juga semua warisan budaya bangsa dari daerah lain. Pada intinya, semua kontestan punya warisan budaya yang pantas dan layak diwariskan kepada pewarisnya. Hanya yang sedikit jadi batu sandungan adalah masalah bagaimana mewariskanya dan siapa yang akan mewarisinya, apakah tidak akan disia-siakan dan diterlantarkan warisan budaya yang telah diterimanya. Keprihatinan ini muncul tersebab kian jauhya kaum ahli waris dan calon ahli waris dari nilai-nilai tradisi dan budaya inti masyarakatnya, malahan kian karam dalam nilai-nilai asing yang terakses kini begitu mudah lewat mas media dan gaya hidup. Padahal core budaya adalah fondasi, pengarah dan tujuan dari setiap karya. Kerja dan karsa suatu masyarakat atau etnis.

Sebagai contoh budaya ‘Siri’ adalah core kebudayaan Mandar atau Sulawesi Barat. Ketika budaya Siri yang bermakna ‘malu kalau berprilaku berlebihan’ atau malaqbi kedo, malu jika tak punya kain sutra di rumah yang sesuai dengan strata sosialnya sudah tak diigubris lagi, maka eksistensi kain sutra Mandar juga terancam, ia akan perlahan menghilang. Jika kaum muda sudah tak malu lagi pergi kluyuran dari pagi sampai pagi lagi, maka siapa yang mau lagi mau berbetah-betah dan bersabar – ria menenun kain Mandar atau manette. Atau tidak malu kalau main gadget sepanjang hari, maka alat-alat menenun atau Parewa Tandayang akan segera berkarat atau lumutan.

Apalagi jika makna siri atau malu itu sudah dibolak-balik misalnya oleh kaum hawa, malu jika pakai kain sutra ke pesta perkawinan karna nanti dianggap kampungan, jadi mending pake kain transparan atau yang kurang bahan biar dianggap modern atau up to date. Dengan hasrat besar orang Mandar dewasa ini untuk menjadi pegawai negri, pedagang atau buruh, maka semakin banyak saja yang malu menjadi panette atau memakai kain sutra Mandar secara konsisten.

Setiap tradisi budaya akan sangat terkait dengan dasar filosopi atau cara hidup masyarakatnya. Secara fungsional suatu tradisi atau ritual menyatu dengan struktur masyarakatnya bak sebuah organisme. Ia menjamin terpenuhinya kebutuhan bersama. Tradisi manette di jaman dulu menjamin keperluan upacara adat dan kebutuhan hidup komunitas Mandar, jadi manette bisa dan harus tetap berlangsung.Tapi kini kebutuhan itu sudah dianggap tidak urgen lagi. Mengenakan kain atau baju sutra Mandar hanya sebatas himbauan saja jika ada acara pernikahan adat atau perayaan kantor dan hari-hari besar nasional. Orang lebih suka mengenakan stelan jas dengan celana, kemeja plus dasi.

Tidak semua budaya daerah mengalami inkoherensi antara budaya tak benda dengan dinamika inti kebudayaannya. Budaya jawa dengan core ‘Sinkretismenya’ justru telah memperkaya dan mengembang biakkan cipta.rasa dan karsa orang Jawa. Sinkretisme yang ditandai dengan kerelaan untuk melakukan gaul budaya dan saling share itu telah memperkaya dan memperindah budaya Jawa, khususnya di lapangan kesenian atau seni pertunjukan. Seperti tak habis-habis khasanah budaya mereka. Maka tak heran pada perhelatan kemaren Daerah Istimewa Yokyakarta sebagai eksponen budaya Jawa, telah tampil dengan 19 warisan budaya, paling banyak dari daerah lain. Bandingkan dengan Sulbar atau Sumatera Barat yang hanya tampil dengan satu warisan budaya.

Jadi bukan salah bunda mengandung jika program pewarisan budaya pemerintah kurang mendapat respon dan keras bergema di hati manusia Indonesia millenium terutma yang muda-muda, yang langkahnya sudah nyaris mengacak-ngacak langit dan segala yang kita anggap bernilai dan sakral. Mestiya antara seni pertunjukan atau satu warisan budaya dan segala prinsip, makna, ide serta wacana yang dikandungnya ada keterjalinan yang saling melengkapi. Itu yang disebut Meta-Performative atau Meta-Factitive. Eloknya waktu pementasan Wayang Garing dari Banten misalnya, ada prolog tentang narasi dan nilai budaya yang menginisiasinya, sehingga para ahli waris faham dan mafhum bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar seni untuk dperhatikan, dijaga dan dianut, demi kehidupan yang lebih baik.

Bagaimana mengembalikan generasi millenium kepada inti budaya leluhurnya untuk dihormati dan ditaati adalah kerja terberat dan harus dilakukan sejak dini disemua jenjang pendidikan dan kehidupan. Karena ini menyangkut mentalitas atau kepribadian yang tak mudah merubahnya jika sudah terlanjur sesat. Untuk itu apresiasi dan kepedulian budaya yang tinggi dari Pak Menteri Muhajir Effendi, para Gubernur termasuk gubernur Sulawesi Barat, Ali Bal Masdar, patut disyukuri, karena ditangan beliau terletak harapan yang lebih besar demi kemajuan budaya bangsa kedepan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar